CEKLEKK
Belum sempat Kiya memegagang gagang itu, pintu sudah lebih dulu terbuka.
"Mati gue!" Kiya mengumpat dalam hati, merutuki hidupnya yang miris.
"SIAPA?"
suara teriakan dari dalam ruangan terdengar diiringi langkahan kaki yang semakin mendekat ke arah Kiya. Namun dia lebih terkejut melihat seseorang dibalik pintu itu. "Ra—ka ?"
Raka terdiam ditempat dengan tangannya memegang ponsel yang bertengger ditelinga. Suara dari ujung telepon itu terdengar memanggil namanya berulang kali.
"Kamu udah sadar?"
Suara dari balik punggung Kiya menginterupsi, membuatnya membalikkan badan. Dilihatnya buka penjahat, namun membuat wajah Kiya memucat. Kiya berbalik, dengan langkah cepat dia berlari hingga menabrak pundak Raka yang berada di depannya.
Diujung telepon, suara Alan kembali terdengar. "WOY! Lo denger gue gak sih? Kiya belum balik dari semalem Rak,"
"Dia ... ada sama gue." Raka menutup telepon itu. Tangannya dengan cepat menangkap lengan Kakaknya yang hendak mengejar Kiya."Kenapa ada dia di sini?"
"Lo kenal dia?"
"Jawab gue!"
"Nanti gue jawab setelah gue bawa itu cewek balik ke sini. Oke?" Kata Tara. Dia langsung berlari mengejar Kiya yang mulai menjauh dari pandangannya.
Kiya berlari menuju lift dengan napasnya yang tersenggal. Pintu list terbuka, dengan cepat Kiya masuk ke dalamnya. Buru-buru menekan tombol agar pintu dengan cepat tertutup. Namun, tangan besar menahan pintu list yang hendak tertutup. Muncul Tara dengan raut wajahnya yang khawatir.
"Ki—ya?"
BRUK!!!
Tubuh Tara tersungkur ke lantai dikarenakan dorongan yang kuat dari tangan Raka. Raka menatap Kiya yang mematung di dalam lift sebelum akhirnya pintu lift benar-benar tertutup.
Sedangkan Kiya bernapas lega di dalam lift, membawanya menjauh dari dua pria itu.
"Sorry gue gak sengaja." Ucap Raka. Tangannya terulur membantu Tara bangun.
"PARAH LO YA!"
Tara kembali berlari ke arah tangga darurat. Tapi dengan cepat, Raka menahan lengannya lagi. Menghentikan langkah kaki Kakaknya itu.
"APA LAGI SIH?"
"Lo gak liat tadi anak orang sampai ketakutan gitu?"
"Itu urusan gue. Bukan urusan LO!"
"Lagian kok bisa ada Cewek di apartemen lo?"
Tara berbalik, berjalan dengan putus asa, meninggalkan Raka dan pertanyaannya.
"Lo bukan penculik kan?" Raka berjalan mengikuti langkah Tara.
"BERISIK LO!" Tara membanting pintu kamar apartemennya saat dia sudah masuk ke dalam. Meninggalkan Raka di luar dengan rasa penasaran yang begitu dalam.
****
Kiya melangkah dengan cepat meninggalkan Apartemen terkutuk itu. Dia mengusap wajahnya gusar. "Gue harus telpon Kak Doni." Dia merogoh saku celana levisnya berharap menemukan ponselnya di sana.
"Mana ponsel gue?"
Dia menepuk jidatnya saat teringat ponselnya yang berada di dalam slinbag. Merutuki dirinya sendiri yang terlalu panik hingga membuat dia meninggalkan barang-barang berharganya di dalam kamar apartemen itu. Jika sudah begini, bagaimana caranya Kiya bisa kembali ke rumah?
Dengan sisa tenaga yang ada, Kiya memutuskan untuk berjalan kaki walaupun harus menempuh ratusan kilo meter. Dari pada kembali lagi ke apartemen, itu adalah keputusan yang paling bodoh semasa hidupnya. Cewek itu berjalan dengan lesu, menyusuri trotoar jalanan sambil sesekali mengusap tengkuk dan keningnya yang mulai berkeringat akibat sinar matahari pagi yang seakan membakar kulitnya. Rambutnya yang tergerai dia bawa ke dalam satu ikatan dan menggulungnya, membentuk sebuah sanggul.
TIIN ... TIINN ...
Suara klakson kendaraan membuat Kiya semakin pening di buatnya.
TIINNN ... TIINNN ...
Masih melangkah, Kiya sambil menggerutu menyumpahi si pemilik mobil yang tidak ada hentinya mengklakson, padahal jalanan di daerah itu senggang.
TIIINNNN ... TIIINNNN ...
"Ih berisik banget si tolol!" Kiya menoleh ke sumber suara itu bersiap untuk memaki-maki si pemilik mobil.
Kaca mobil yang terbuka menampilkan wajah Raka didalamnya dengan senyuman manis. Melihat itu, bukannya mendekat, Kiya justru langsung berlari meninggalkan Raka. Dengan cepat Raka turun dari mobil dan mengejar Kiya. Raka dengan mudah mengejar Cewek itu karena Kiya sudag kelelahan dan tidak memiliki tenaga lebih untuk menghindar.
Raka berhasil menangkap pergelangan tangan Kiya dan menariknya. Dia membawa tubuh gadis itu ke dalam pelukannya. "Syukurlah kamu baik-baik aja. Maaf ya aku biarin kamu pergi sendiri semalam."
Kiya mendorong tubuh Raka. Melepaskan peluk dan jarak di antara keduanya.
"Gak usah modus ya lo!"
"Gakpapa lah sama pacar sendiri."
"Ih gila lo! Sejak kapan status kita berubah dari musuh jadi pacar?"
"Makanya kamu resmiin dong!"
Kiya menggeleng tak percaya. Makhluk macam apa yang sekarang sedang berdiri di hadapannya. Percaya dirinya tinggi melebihi langit.
"Aku antar pulang ya?" tawar Raka.
"ENGGAK!"
Raka berkacak pinggang. "Oke deh!" sambil mengangguk dia berucap, "Aku balik dulu kalau gitu." Dia sudah siap berbalik kembali ke mobilnya.
"Eh tapi ini kaki gue agak sakit sih di bawa jalannya. Terus matahari juga kayaknya makin deket nih. Nanti kulit gue belang, gak cantik lagi deh."
"Terus?"
"Ya boleh lah gue nebeng nanti sebutin aja ongkosnya." Kiya berjalan melewati Raka. sedangkan Raka masih mematung di tempatnya, memandang Kiya dengan keheranan.
"Cepetan Woy! Panas nih!" Dia sudah berada di depan mobil Raka lalu dengan cepat memasukinya, tidak butuh persetujuan dari si pemilik mobil itu.
Raka tertawa kecil melihat gengsi Kiya yang begitu tinggi. Dia buru-buru menyusul Kiya sebelum di amuk oleh Cewek galak itu lagi.
****
Suara klakson mobil-mobil terdengar nyaring di lampu merah. Seakan pengemudi tidak sabar saat lampu sudah berganti ke warna hijau. Sedangkan didalam mobil Raka, hanya ada keheningan.
"Sayang ..." Raka memecahkan keterdi
aman di antara mereka.
"Jangan mulai deh!" Kiya seakan memperingati.
"Aku bingung harus memulai dari mana pembicaraan ini."
"Gak usah lo mulai lah. Diem aja udah."
"Kali ini aku serius, Kiya."
Raka membanting setir ke arah kiri. Memberhentikan mobilnya dengan mendadak. Kiya yang berada di sebelahnya hanya membeku di tempat. Raka langsung membuka seatbeltnya dan menghadap ke arah Kiya dengan tatapan mata yang begitu serius dan mengintimidasi. Tidak mau kalah, Kiya membalas tatapan mata itu, tidak kalah menusuk.
"Ape lo?"
Raka terdiam.
Kiya menghembuskan napas panjang sebelum akhirnya berbicara. "Gue rasa lo gak perlu tau tentang apapun itu," Kiya mencoba meyakinkan Raka. "Lagipula gue juga enggak pernah mau tau segala urusan lo."
Raka menaikkan sebelah alisnya. Tatapannya semakin dalam, memaksa Kiya untuk jujur.
"OKE!" Kiya mulai membenarkan posisinya, pandangan matanya mengarah kedepan. "Seinget gue semalam itu gak jauh dari panti, gue lagi nunggu taksi. Tapi, yang muncul malah cowok-cowok rese."
"Terus? Kamu gak di apa-apain kan?"
"Ya engga lah. Gila aja kali. Gue hajar tuh semua cowok-cowok rese itu."
Raka tepuk tangan dengan tatapan kagum. "Berarti mereka semua kalah tuh?"
"Ya enggak juga sih."
"Tapi kamu menang kan?"
"Ya .... enggak juga!"
"Yah, berarti jagoan Kiya kalah, dong."
"Eh! Sejago-jagonya orang. Kalo dia di keroyok ya mati."
"Tapi superhero menang. Padahal banyak musuhnya." Raka tidak mau kalah.
"Ya udah lo hidup aja di Negeri dongeng. Jangan di Bumi!" Ucap Kiya ketus. Dia makin geram dengan Cowok yang duduk dibangku kemudi.