Chereads / Mr. Sinclair and Miss Arrogant / Chapter 36 - Tertangkap Basah

Chapter 36 - Tertangkap Basah

Malam kian meninggikan kegelapan. Jam dinding semakin mempercepat detak jarum melewati batas kepantasan. Namun, pria berparas Eropa itu tak sekalipun merasa jengah atau setidaknya sungkan. Edward Sinclair. Pria itu masih saja betah berada di dalam apartemen wanita pertama yang ia sukai setelah tujuh tahun terbelenggu kisah suram di masa silam.

Bahkan, Edward tak merasa pegal setelah nyaris satu jam memandangi wajah Febiana yang terbalut kapas serta plester pada bagian pipi. Nyatanya, wanita itu masih saja terlihat cantik di matanya. Setiap kali menghela napas, merengut, atau melontarkan kata sebal, baginya Febiana justru semakin imut. Sepertinya, Edward memang sudah gila karena luapan asmara yang sejak bertahun-tahun lamanya hanya terpendam di dalam dada.

Febiana jengah, berangsur menghela napas kemudian mendengkus. Mata bulatnya menatap lekat pada pria bermanik mata biru itu. "Apa kamu tidak bosan melihatku terus? Apa matamu tak sedikit pun merasa perih?!" Suaranya meninggi ketika bertanya dan bercampur semua rasa kesalnya itu.

Edward menggeleng santai. "Tidak, tidak sama sekali. Rasanya justru semakin ingin memandangimu, bahkan jika harus menghabiskan waktu satu malam pun, aku akan sanggup," jawabnya tanpa rasa bersalah.

"Apa?! Satu malam? Waaah! Yang benar saja, Edward! Dan lagi ini sudah jam setengah sebelas, apa kamu tak berkenan untuk segera undur diri dari hadapanku?!"

Lagi-lagi, Edward menggelengkan kepalanya. "Aku berniat menginap, Nona."

"Jangan gila, Edward! Itu tidak pantas! Aku, kamu, masih lajang. Negeri ini tidak mengizinkan hal seperti itu di saat kita bahkan masih merasakan hawa panas akan permusuhan. Dan meskipun aku sudah menyatakan perasaanku, bukan berarti aku menerima dirimu dengan lapang—"

"Tak perlu panjang lebar menjelaskannya, Febiana," potong Edward. "Arti dari perkataanmu hanyalah sebatas 'kita belum menikah, menginap itu tidak pantas'. Begitu, 'kan?"

"Ti-tidak, menikah—"

"Bagaimana kalau kita menikah diam-diam saja? Agar aku juga bisa segera menginap di rumahmu."

"Edward Sinclair!" Febiana berdiri serta berapi-api.

"Ya, Nona?"

"Pulang sekarang juga!"

"Tidak mau!"

"Astaga ...."

Febiana kembali menjatuhkan dirinya, merasa pasrah pada kenyataan yang ada sekarang. Namun sejujurnya, di sisi lain ia merasa aman. Ia senang karena keberadaan Edward, bahkan berharap pria itu menemaninya di sepanjang malam.

Ada beberapa tempat nyaman untuk pria itu tinggal dan tidur. Sofa yang mereka duduki pun sangat empuk, ada pula cadangan ranjang di kamar lain, karena apartemen itu memiliki tiga kamar, karena memang merupakan kelas atas dan diperuntukkan oleh mereka yang sudah berkeluarga. Namun entah mengapa, dulu Febiana menyukai tempat besar itu.

"Aku pikir ada beberapa ruang yang bisa aku tempati malam ini, Nona," celetuk Edward yang dimaksudkan untuk menggoda.

Febiana menelan saliva, matanya bergetar, perasaannya kalut serta malu. "Kuharap kamu bisa segera pulang, Edward. Tak ada alasan tepat untuk kamu tinggal di sini lebih lama."

"Ada!" Edward berdiri. Ia yang berada di sofa lain berangsur menghampiri Febiana. "Aku khawatir, kamu kesepian, menangis sendirian, pipimu." Ia melepas kapas dan plaster Febiana, sesaat setelah duduk di samping wanita itu. "Kamu tampak tidak baik-baik saja, Dear."

Febiana tertegun, tubuhnya menegang, sementara jantungnya berdebar-debar. "A-aku baik-baik saja, Mr. Sinclair," ucapnya sembari memalingkan wajah.

"Ini pasti sangat sakit. Aku minta maaf," ucap Edward sembari mengusap lembut sudut bibir Febiana yang lebam. "Seharusnya aku menahanmu lagi sore tadi, sehingga kamu tak harus menderita luka ini."

"Sudah aku katakan aku baik-baik saj—"

Edward merengkuh Febiana ke dalam pelukannya. Ia membelai halus rambut wanita itu. Ia merasa prihatin dan iba. Dan sesakit apa pun luka serta hatinya, Febiana tetap saja mengokohkan pertahanan hati dan keangkuhan. Cangkangnya bak terbuat dari besi yang bahkan sulit dihancurkan oleh api. Febiana tak bisa menangis, meskipun sangat ingin. Edward tahu, Edward paham dan juga merasa sangat cemas.

Setiap kali, Febiana hendak melepaskan diri, Edward menguatkan pelukannya. Ia berbisik, agar Febiana bersedia menumpahkan air mata. Sekali ini saja, agar perasaan wanita itu bisa lega. Tak perlu banyak, meskipun hanya sebulir pun tak apa.

"Menangislah, jangan ditahan, Febi. Aku tak melihatmu, aku akan pura-pura tuli dan buta untukmu. Jadikan aku sebagai bantal empuk jika memang perlu," ucap Edward.

Jemari Febiana mencengkeram lengan Edward dengan sekuat tenaga, sampai kuku jarinya membuat kulit Edward merasa perih. Ia hanya berupaya menahan air mata, dan tanpa sadar jika sikapnya itu membuat Edward meringis kesakitan. Pun pada Edward yang berpura-pura tak merasakan. Meski lengannya perih, ia hanya mampu menggigit bibir tanpa melawan.

Sekian menit kemudian, suara isak terdengar dari bibir Febiana. Bahkan, tangisan wanita itu disertai rintihan memilukan, dan semakin kencang di sepanjang detik yang berjalan. Febiana tak bisa bertahan. Pelukan hangat Edward membuat dinding balok dingin di dalam hati melebur dan mencair menjadi air mata yang keluar dari pelupuknya. Pipinya ternodai tumpahan kesedihan itu. Saat ia teringat bagaimana Edwin memperlakukannya, termasuk Madam Trisia. Ia merasa dirinya tak berguna, meski sudah sekeras apa pun berusaha.

Nyatanya benar, musuh sesungguhnya bisa jadi mereka yang dekat dengan dirinya, sementara teman terbaik bisa datang dari musuh yang kasat mata. Orang tuanya adalah musuh terbesar, sementara Edward, pria yang ia musuhi tanpa alasan, justru menjadi pendengar, pelindung dari segala ketidakadilan di dalam hidupnya. Kini, Febiana paham.

"Aku ingin mempercayaimu, meski sedikit. Aku ingin menyerahkan hatiku padamu, meski seperempatnya saja, tapi aku takut. Aku takut, kamu mempergunakanku, Edward. Kamu hanya orang luar, sementara orang tuaku yg paling dekat saja, jahat sekali padaku," ungkap Febiana.

"Tidak, Dear. Aku bisa menjaga segala hal yang kamu berikan padaku dan aku akan membuktikan bahwa diriku bisa kamu percayai. Tapi, jika itu berat, tak apa, aku bisa memberimu waktu. Kupikir tadinya kamu hanya akan sekadar dimarahi saja, tapi ternyata kamu dihajar oleh mereka. Sungguh, ini di luar dugaanku. Ternyata, mereka tak bisa disebut sebagai manusia, mereka monster," jawab Edward.

"Entah, aku dengar kamu sendiri juga monster."

"Tidak," tandas Edward. "Aku bukan monster. Tapi, ya, mungkin ayahku. Aku selalu berbisnis dengan baik, berdiskusi dengan baik. Bahkan, ketika kamu merebut lahan dan kerja sama itu, aku hanya mengajakmu berunding dengan sedikit ancaman. Tapi, tidak, setiap ancaman tak pernah ada yang aku lakukan."

Febiana menghentikan tangisannya dan berangsur menatap Edward. "Tapi, ...? Kudengar beberapa pengusaha takut padamu, mereka ditindas olehmu."

Edward menggeleng. "Bukan aku," jawabnya sembari mengusap pipi Febiana yang basah oleh air mata. "Mr. Javier tahu segalanya, meski aku tidak pernah melaporkan apa pun padanya. Ancamanku hanya sebatas kata-kata saja, aku tidak pernah memberikan tindakan buruk jika tidak diserang duluan. Sama halnya denganmu kala itu, aku terpaksa menyerangmu lantaran fobia yang kamu ciptakan itu tidak benar.

"Maaf," ucap Febiana sembari menundukkan kepala.

Edward menghela napas, kemudian tersenyum. "Aku sudah membalasmu, dan rumor cinta itu nyatanya menjadi kenyataan sekarang. Tapi, Nona, perihal perjodohan aku sama sekali tidak tahu. Yah, Ayah pernah mengatakannya dan aku menolak. Tak kuduga, ternyata Ayah tetap menjalankannya. Ya, ayahku, dia jauh lebih kejam dan dalang di balik adanya ketakutan para pengusaha lain. Dan aku, aku hanya sebatas orang dingin yang takut wanita, aku hanya takut menyakiti mereka layaknya aku menyakiti Kimmy. Aku bukan orang kejam."

"Edward ...."

Edward menggenggam kedua jemari Febiana. "Kini, setelah tahu bagaimana orang tuamu, aku tidak akan memaksamu menjadi kekasihku lagi. Aku tidak ingin semakin membebanimu, Dear. Tapi, sampai kapanpun aku bertekad ingin menjagamu, aku ingin menunggumu sampai hatimu siap mempercayaiku. Dan sekarang, aku ingin kita berdua bersatu mengalahkan mereka. Mr. Javier dan kedua adikku, serta Tuan Edwin dan Madam Trisia. Kita harus mengambil alih Sinclair Group dan Big Golden!"

Febiana termangu, mencermati paras Edward sedetail mungkin. Otaknya terpacu untuk memahami setiap perkataan yang Edward katakan barusan. Ia ingin percaya, sangat ingin percaya.

"Edward, aku akan—"

"Febi, Febi, Febi!" Suara seorang wanita terdengar tiba-tiba, membuat ucapan Febiana terhenti detik itu juga. Sudah pasti Feline yang datang dan sialnya Febiana tak menyadari bahwa wanita itu tengah membuka pintu apartemennya.

Sesampainya di hadapan Febiana dan Edward yang masih saling berpegang tangan, Feline tercengang. Ipad di tangannya jatuh, seiring rahang dan mata yang terbuka lebar.

"Febiana?" ucap Feline di detik berikutnya. Matanya bergeser menatap Edward. "Mi-mister Sinclair ...?"

"Feline! Astaga! Aku bilang pelan-pelan saja!" Michael datang menyusul, menggerutu pada Feline yang sempat menjepit tubuhnya di pintu setelah dihempas oleh wanita itu, tepat ketika ia baru melangkahkan salah satu kaki di apartemen Febiana. "Feline, kenapa?"

"I-itu?" Tangan Feline terulur, ia menunjuk Febiana dan Edward yang tampak bermesraan.

Michael menoleh. "Waaah! What the hell?!" celetuknya antusias. "Febiana, dan mm, Mr. Sinclair?"

Febiana gelagapan, ia segera mendorong tubuh Edward sampai pria itu nyaris tersungkur di lengan sofa. Ia menunduk, gemetar, serta malunya tidak karuan. Ia melupakan perihal Feline yang mengetahui password pintu apartemennya. Dan sekarang ... astaga! Bagaimana ia harus menjelaskannya pada Feline?

"A-aku harus menghubungi Tuan Edwin," ucap Feline.

"Jangan!" seru Febiana, Edward, bahkan Michael secara bersamaan.

Feline menghentikan rencananya. Ia menatap bingung pada mereka bertiga. Padahal, ia pikir apa yang terjadi pada Febiana dan Mr. Sinclair saat ini akan menyenangkan hati Edwin serta Madam Trisia. Dengan begitu, Febiana tak perlu mendapatkan hukuman lagi, seperti yang Edwin katakan beberapa saat lalu padanya via telepon. Namun, mengapa mereka bertiga justru menentang?

***