Chereads / Mr. Sinclair and Miss Arrogant / Chapter 39 - Rencana Licik Saat Edward dan Febiana Bahagia

Chapter 39 - Rencana Licik Saat Edward dan Febiana Bahagia

Davin Sinclair tengah duduk di tepian ranjang mewah bersama istri tercintanya. Sementara sang putra yang masih balita, sudah tertidur meski malam belum terlalu larut. Dan sepasang suami istri itu hendak merundingkan sesuatu mengenai Edward Sinclair.

"Sayang, apa kamu akan menyerah begitu saja? Setelah Kak Edward menikah dengan Nona Febiana, Kakak pasti bisa membawa Sinclair Group menjadi lebih besar dengan adanya merger bersama Big Golden. Dan kamu benar-benar akan kehilangan kesempatan emas itu," ucap Clara dengan cemas.

Davin menghela napas. "Aku tahu. Tapi, Nona Febiana sudah menolak. Aku mendengar percakapan Ayah dengan seseorang melalui sambungan telepon. Setidaknya, kita masih memiliki waktu untuk mencegah adanya pernikahan Edward dan wanita itu," jawabnya.

"Kamu pernah menemui Nona Febiana dan—"

"Dia tidak menganggapku ada, Sayang. Dia hanya memanfaatkanku saja. Setelah aku gagal menjalan misi, dia tidak akan pernah melihatku lagi, kecuali nanti saat dia sangat memerlukan bantuanku."

Clara mendesah kecewa. "Aku pikir, setidaknya dia ada di pihak kita."

"Entah. Tapi kurasa Febiana Aditya, wanita itu hanya akan memanfaatkan apa yang memberikan keuntungan bagi dirinya sendiri."

"Uh!" Clara merebahkan tubuhnya di atas kasur yang empuk. "Dan rumor cinta mereka semakin menguat saja. Aku bosan mendengar pertanyaan dari teman-teman sosialitaku, mereka bertanya apakah Kak Edward benar-benar menjalin hubungan dengan Febiana. Dan yah, aku pikir mereka merasa kecewa, sebab Kak Edward merupakan idola semua orang! Ah! Seandainya aku ... ah, lupakan!"

Clara menghela napas, dan kembali mengembuskannya secara kasar. Ada sesal, ada kemarahan. Seandainya ia mendekati Edward ketika masih muda, sudah pasti ia akan menjadi nyonya yang penuh kuasa. Dan ia marah ketika harus bersuami-kan seorang Davin Sinclair yang payah dan bahkan gagal menjadi pewaris utama perusahaan milik Javier Sinclair.

Kini yang bisa Clara lakukan demi mencapai tujuan agar menjadi seorang ratu di dalam Sinclair Kingdom adalah berusaha untuk melengserkan kakak iparnya itu dari tahta. Wanita berkarakter picik tersebut terus memacu otaknya agar bekerja dan lantas menemukan cara.

"Sayang!" pekik Clara yang kemudian membangunkan diri. Ia mencengkeram lengan Davin dan mengerlingkan mata genit pada suaminya itu. "Ada sesuatu yang aku pikirkan!"

Davin mengerutkan dahi. "Benarkah? Apa itu?"

"Kamu ingat seorang selebriti yang sempat mengejar Kakak?"

"Mm?" Mata Davin menatap langit-langit kamar, sementara benaknya tengah sibuk mengingat-ingat seseorang yang dimaksud oleh istrinya. "Ya, aku ingat. Nama panggungnya kalau tidak salah Mirabel, hanya wanita itu yang bersikeras mendapatkan hati Edward."

"Ya! Bagaimana kalau kita hubungi dia saja?"

Davin mendesah. "Mau apa? Tak mungkin Mirabel bersedia, lagi pula sudah sangat lama dan aku pikir dia sudah menyerah pada Kakak. Ada kemungkinan juga dia sudah menikah, atau memiliki pacar."

"Dicoba saja dulu. Kalau tidak mau mengejar Kakak lagi, sepertinya dia juga tetap bersedia untuk membalas dendam atas rasa sakit hatinya. Setidaknya, Mirabel bisa merusak hubungan Kak Edward dan Nona Febiana. Perjodohan pun menjadi batal, dan paling fatal Sinclair Group dan Big Golden akan berperang. Kita bisa menikmatinya diam-diam, lalu kamu akan menjadi raja dan aku akan menjadi ratunya."

"Memangnya, seandainya Mirabel bersedia, dia bisa membantu kita sampai mencapai tujuan itu?"

Clara melipat kedua tangannya, serta mengangkat dagu. "Tentu saja, Mirabel itu seorang selebriti terkenal, meski masih dalam masa vakum. Jika dia sudah berniat membalas dendam pada Kak Edward untuk sakit hatinya, sudah pasti dia bisa menjebak Kak Edward dalam skandal baru. Lalu, nama kakakmu itu akan menjadi semakin buruk, perjodohan dengan Nona Febiana juga akan batal."

"Waaah! Istriku memang cerdik!"

Davin mengusap pipi merah milik Clara yang saat ini tampak menggoda. Detik berikutnya, ia menarik tengkuk istrinya itu lebih dekat dengan wajahnya. Tak lama kemudian, keromantisan pun mulai berlangsung dan mengobarkan panasnya bara asmara bercampur hasrat gila.

***

Febiana tidak menyangka, malam ini ia harus kembali menyambut tamu yang merupakan seorang pria blasteran Perancis. Tubuhnya sampai terpaku, bibirnya terkatup bisu. Entah segila apa perasaan Edward padanya, sampai-sampai pria itu rela datang lagi dan lagi.

"Aku tidak mengizinkan kamu masuk ke dalam, Edward! Aku lelah dan sangat ingin segera tidur!" tegas Febiana marah.

Edward tersenyum. "Tidak mungkin seorang wanita pengidap insomnia tidur di malam tanggung seperti ini, Nona. Aku tidak percaya," tandasnya.

"Aku tidak butuh kepercayaanmu. Dan sadarlah, Edward, selama lima hari berturut-turut kamu datang bagaikan pemilik tempat ini. Aku ... ah! Rasanya hampir gila untuk menghadapimu!"

"Aku juga hampir gila jika menahan rindu padamu terlalu lama, Nona."

"Edward!"

"Aku akan mengajak kamu kencan malam ini, jadi bukan untuk mampir atau menginap. Kamu tenang saja, Dear!"

Febiana mengumpat dengan suara pelan, tetapi masih terdengar di telinga Edward. "Edward?" Ia menghela napas, kemudian menegakkan badannya. "Kumohon pulanglah, aku sangat lelah. Pekerjaanku juga sangat banyak dan perlu aku tangani. Aku ingin istirahat lebih awal, sehingga besok bisa bekerja lebih awal pula."

Edward tertunduk lesu dan kecewa. Ia tidak bisa menepis rasa rindunya terhadap Febiana. Ia ingin memeluk wanita angkuh itu dan mendapatkan obat penawar. Namun, Febiana berkeras hati menginginkan dirinya angkat kaki. Malam menjadi semakin muram, di saat akhirnya Edward menyerah dan berbalik badan. Ia pergi dengan langkah gontai sekaligus lemah.

Febiana menatap punggung pria itu yang menjauh dengan lambat. Ada rasa iba yang berangsur melesak ke dalam sanubarinya. Sikap Edward yang lesu membuatnya merasa tidak tega.

"Ais! Dia jauh lebih merepotkan daripada bayanganku? Monster dingin? Sebutan yang benar-benar tidak cocok untuknya! Astaga!" Febiana tertunduk gamang dan gelisah. Bahkan, ia kembali mengumpat serta mendesah lelah.

Hanya selang beberapa detik, Febiana mengarahkan pandang pada punggung Edward yang masih tampak berjalan lambat. "Mr. Sinclair!" serunya.

Mendengar namanya disebut lantang, Edward menghentikan langkah kaki. Senyum picik mengembang menarik kedua sudut bibirnya. Dugaannya perihal Febiana yang tidak akan tega menatap dirinya pergi dengan lunglai, benar-benar kejadian.

Dengan gemulai lemah dan wajah bertampang masam, Edward memutar badan. Manik mata birunya menatap sendu pada wanita yang ia puja itu.

"Iya?" ucap Edward lirih dan tentu saja tidak dapat didengar oleh Febiana.

Namun, lantaran dapat melihat gerak bibir Edward, Febiana tahu bahwa pria itu sudah merespon seruannya.

"Tunggu aku sebentar!" ucap Febiana.

Edward tersenyum. "Tentu saja, Nona!"

Sesaat setelah Febiana hilang dari pandangan matanya, karena masuk ke dalam tempat tinggalnya itu, Edward lantas melompat girang. Lagaknya yang lemah dan tampak iba, sukses membuat pertahanan hati Febiana hancur.

Hanya sekitar lima menit lamanya, Febiana mempersiapkan diri. Wajahnya yang ayu hanya terpoles riasan ringan dan natural. Balutan dress putih membungkus tubuhnya yang ramping, didukung dengan selempang mahal berwarna hitam, serta high heels setinggi tiga centimeter. Dan penampilannya itu berhasil membuat Edward takjub dan terkesima.

"Aku mau kamu membawaku ke restoran paling mahal di kota ini, serta membayar apa yang akan aku pesan nanti. Baru-baru ini aku sadar bahwa aku hanya wanita miskin, jadi aku tidak mau boros apalagi banyak mengeluarkan uang," ucap Febiana.

Edward mengangguk mantap. Detik berikutnya, ia menarik pinggang Febiana, meski wanita itu tampak tidak setuju. Dengan menggunakan elevator, keduanya menuju basemen di mana mobil Edward terparkir.

Sebagai pria pemuja yang baik serta peka, dengan sigap Edward membukakan pintu mobilnya teruntuk Febiana. Dan setelah memastikan Febiana aman dan nyaman, ia bergerak menuju ruang kemudi. Tak berselang lama, ia melaju kendaraan pribadinya itu dengan tujuan ke salah satu restoran paling mahal.

"Mm, apa Sekretaris Feline sudah dapat sesuatu mengenai Madam Trisia, Febi?" tanya Edward hendak membuka perbincangan di dalam perjalanan itu.

Febiana menggeleng lemah, kemudian menunduk. "Sama seperti hari kemarin dan nyaris satu minggu ini, usaha kami nihil. Informasi masa lalu ibu dan ayahku seolah dipendam dalam-dalam," jelasnya.

"Sabar saja, mungkin belum bertemu saat yang tepat untuk mengungkap kebenaran."

"Mm ...." Febiana menoleh ke arah Edward. "Edward, sebenarnya kamu tidak perlu sampai seperti ini. Aku ... aku sudah mempercayaimu, dan aku pikir kamu tak perlu terlalu keras dalam membuktikan diri. Kamu tahu, 'kan, jika tipikal diriku memang seperti ini. Aku kaku, membosankan, dan arrogant, tapi aku sudah mempercayaimu."

Edward menatap sekilas. "Kata siapa aku sedang membuktikan diri, Nona?"

"Entah, tapi aku berpikir kamu sedang melakukan hal itu. Lima malam, kamu terus datang dan menjagaku hingga larut. Aku pikir selain khawatir, kamu juga sedang—"

"Ya aku khawatir padamu, dan aku sangat merindukanmu. Aku bisa gila kalau tidak datang, makanya aku ingin sekali segera menikah denganmu."

Febiana menghela napas. "Jangan berharap terlalu tinggi, Edward. Pernikahan di antara kita itu belum tentu terjadi."

"Akan terjadi!"

Edward berangsur memperlambat laju mobilnya. Kemudian, ia benar-benar menghentikan kendaraan itu di tepi jalan raya. Ia menatap Febiana dengan mata memancar penuh kecewa.

"Aku akan menikahimu setelah kita bisa mendapatkan perusahaan itu. Atau jika misi ini gagal, aku ... aku akan membangun perusahaan sendiri dan membawamu pergi dari sangkar emas berisi penderitaan itu. Lagi pula, aku sudah berinvestasi atas nama pribadi pada proyek bersama Mr. Hector. Dan pembangunan gedungnya akan dimulai dua bulan lagi, 'kan?"

Febiana menelan saliva. Sesak terasa menyiksa dada serta batinnya. Ia menatap Edward, kemudian meraih salah satu jemari pria itu.

"Aku akan terus mencari tahu apa yang terjadi di dalam keluargaku. Dan meskipun aku akan menghabiskan banyak waktu, Edward. Kamu hanya akan menjadi tua jika menungguku, aku tidak akan menikah jika belum benar-benar tahu siapa ayah dan ibuku, serta merampas Big Golden dari mereka," jelas Febiana.

Edward meremas jemari Febiana. "Kita bahkan belum memulai apa pun. Lagi pula, ini baru lima hari sejak kamu berencana mengorek masa lalu mereka, jadi belum tentu aku akan menjadi tua untuk menjadi suamimu." Ia menghela napas. "Aku rasa umur 40 tahun pun tidak terlalu tua untuk wanita berusia 33 tahun. Dan lagi, ketampananku sangat abadi kok, kamu jangan khawatir!"

Febiana tertawa kecil mendengar kalimat narsistik dari bibir Edward. "Baiklah, baiklah," ucapnya. "Tapi, ... bagaimana jika ada wanita lain yang datang? Yang jauh lebih cantik, pintar, lembut, dan berlatar belakang bagus. Serta, tentunya tak seangkuh Febiana?"

"Aku lebih suka wanita yang angkuh seperti dirimu dan—"

"Kimmy Devina?"

"Cantik! Dan cantik seperti dirimu! Kenapa malah bawa-bawa nama Kimmy?" Edward gelagapan pasca Febiana menyahut serta menyebut nama mantan kekasihnya.

Melihat kepanikan Edward, tawa Febiana yang jarang dikeluarkan kembali menggema mengisi seluruh kabin mobil. Wanita itu tampak berbeda. Lebih lugu dan manusiawi. Membuat hati Edward berdenyut lega. Ia bertekad ingin membuat Febiana tertawa lebih banyak lagi, dalam hal kebahagiaan bukan keangkuhan, apalagi penderitaan.

***