Chereads / Mr. Sinclair and Miss Arrogant / Chapter 40 - Fakta Menyesakkan

Chapter 40 - Fakta Menyesakkan

Edward Sinclair dan Febiana Aditya mengistirahatkan kaki dengan duduk di sebuah kursi yang tersaji. Latar keberadaan mereka adalah taman yang menyajikan pemandangan danau buatan.

Edward mengajak Febiana untuk singgah dan memutari area taman demi berjalan-jalan. Ia rela membelikan sepasang sepatu kets mahal secara dadakan agar kaki Febiana merasa lebih nyaman. Lalu, kini setelah kurang lebih lima belas menit memutari tempat itu, mereka duduk bersama sembari menatap danau yang berkilauan.

"Kamu lelah?" tanya Edward pada wanita itu.

Febiana menghela napas. "Tidak, hidupku jauh lebih melelahkan daripada berjalan kaki beberapa menit," jawabnya.

Edward menarik perlahan kepala Febiana, meski awalnya tangannya ditepis. Namun ia tetap bersikeras dan akhirnya Febiana mengalah. Wanita itu terpaksa menyandarkan kepalanya di pundak Edward dalam keadaan hati yang gelisah.

"Rileks saja, aku tidak akan mengolok dirimu, Nona," celetuk Edward mengetahui keresahan wanita itu. "Lagi pula, aku sudah dapat percayai. Lantas, apa lagi yang membuat kamu ragu untuk mengandalkan diriku?"

"Aku hanya tidak terbiasa dengan seorang pria, Edward."

Edward tertawa kecil. "Setelah kita melalui beberapa momen romantis, tapi kamu masih saja belum terbiasa? Padahal kamu tampak menikmatinya."

"Jangan menggodaku!" Febiana bersikap tegak kembali. "Dan lagi, perlu diralat bahwa aku sama sekali tidak menikmatinya!"

"Well, yah, tapi ketika kamu tidak menolaknya, mana mungkin tidak menikmatinya?"

Febiana menelan saliva dengan getir. "A-aku mau pulang saja!" Ia bangkit dan hendak pergi lantaran sudah terlanjur kalah dari Edward.

Namun sebelum mengambil dua langkah ke depan, lengan Febiana justru ditarik paksa oleh pria itu. Pada akhirnya, mau tidak mau Febiana kembali terduduk di bekas posisinya. Ia menghela napas sembari melipat kedua tangannya ke depan. Ia berusaha abai dan tidak ingin membahas sesuatu hal yang sangat memalukan.

Dan Edward sama sekali tidak mengindahkan apa yang wanita itu rasakan. Edward justru semakin gencar dalam memberikan godaan. Ia mengerlingkan mata genit, lalu berbisik, "I love you, i love you, i love you."

"Berhenti bersikap konyol, aku sudah sangat muak, Edward!" tegas Febiana.

Edward masih mengabaikannya, selain justru merengkuh pinggangnya dari belakang. "I love you, Nona angkuh!"

"Edward! Diam! Semua orang mendengarmu! Apa kamu tidak malu?"

"Biar saja! Memangnya kenapa? Ini adalah sebuah fakta bahwa aku mencintai dirimu, Nona. Aku ingin semua orang tahu akan hal itu."

"Astaga ...." Febiana menepuk dahi, kemudian menunduk menyembunyikan wajahnya dari orang-orang yang melihat. "Aku sangat lega, karena tidak ada orang yang mengenaliku. Tapi, sungguh, aku sama sekali tidak mengerti kenapa aku bisa menyukai pria gila ini," gerutunya.

Edward tergelak ketika mendengar gerutu lirih yang dilontarkan oleh Febiana. Tak ada sedikit pun rasa bersalah setelah ia sukses membuat Febiana menderita rasa malu. Nyatanya, ketika ia terus melontarkan kata rayu, secara perlahan Febiana mengulas senyuman. Wanita itu bahkan bersedia tertawa lebar.

Merasa lelah, Edward menghentikan aksi bisik-bisik manisnya itu. Ia bersandar dan kembali memfokuskan arah pandang pada air danau yang berpendar indah karena pantulan lampu warna-warni. Tak berselang lama, ia melirik wajah Febiana yang kembali masam. Rasa prihatin meliputi hati Edward seketika itu juga.

Febiana menghela napas. "Ada sesuatu yang aku temukan," ucapnya.

"Sesuatu?" tanya Edward terperangah dan lantas mendekatkan wajahnya pada Febiana.

"Soal ibuku." Febiana mendorong wajah Edward agar sedikit menjauh. "Tadi siang aku mampir ke rumah Ayah."

"Hah?! Ka-kamu tidak dimarahi lagi, 'kan? Kamu baik-baik saja, 'kan?"

"Mm, aku baik-baik saja. Aku datang setelah Pak Zaenal memberi tahu bahwa Ayah dan Ibu sedang keluar."

Dahi Edward berkerut samar. "Pak Zaenal?"

"Iya. Sopir Ayah, tapi beliau sangat menyayangiku dan sudah bertahun-tahun bekerja di sana."

"Oh, begitu. Lalu?"

Febiana mendongak sembari mengembuskan napas kasar melalui mulutnya. "Ibu lulus dari Aussie satu bulan sebelum aku dilahirkan. Dengan kata lain, selama dua tahun setelah aku lahir, ada kemungkinan Ibu ada bersamaku. Meski Ibu tidak memiliki foto bersamaku saat usia satu sampai dua tahun, belum tentu Ibu tidak ada."

"Hmm ... itu cukup melegakan, Nona."

"Tapi, Edward, apakah mungkin di Aussie Ibu dalam keadaan sedang mengandung? Itu yang membuat aku resah, tanggal kelulusannya dan tanggal lahirku hanya berjeda satu bulan saja. Hal itu sama sekali tidak melegakan."

"Astaga ... benar juga."

Wajah Edward langsung kebas. Kenyataan yang ada sama sekali tidak melegakan. Benar kata Febiana, tak mungkin Madam Trisia menempuh pendidikan dalam keadaan hamil besar. Satu bulan sebelum Febiana lahir, jika Madam Trisia adalah ibu kandung Febiana, sudah pasti wanita paruh baya itu memiliki perut besar ketika sedang menempuh pendidikan.

Ternyata alasan Febiana ingin beristirahat lebih awal karena ada beban pikiran yang tidak main-main. Edward merasa menyesal karena tidak membiarkan wanita itu untuk memiliki waktu tenang.

"Saat aku berusia lima tahun, Ibu memperlihatkan bukti lulus itu. Dan dia sangat bangga. Tapi, setelah hari itu, berkas tersebut tak pernah lagi terlihat. Aku pikir Ibu menyadari kecerobohannya dan segera menyembunyikannya," jelas Febiana.

"Lalu, bagaimana kamu bisa menemukannya lagi?" tanya Edward heran.

Febiana menelan saliva. "Aku meminta Pak Zaenal mencari tahu password brankas yang tertempel di dinding ruang kerja pribadi Ayah selama lima hari ini. Dan siang tadi, Pak Zaenal berhasil dengan menggunakan kamera kecil yang diletakkan pada tempat aman dan bisa mengintip gerak tangan Ayah ketika sedang membuka brankas tersebut."

"Febi, itu sangat berbahaya."

Febiana tertunduk. "Aku tahu dan aku sudah melarang. Tapi, Pak Zaenal bersikeras. Karena sejak awal bekerja sebagai sopir Ayah, dia memang sudah menaruh curiga. Dia ingin membantuku lantaran sangat menyayangiku layaknya putrinya sendiri."

Edward lantas memeluk erat tubuh Febiana. Sebab lubang besar atas luka baru kembali menganga di hati wanita itu. Kenyataan yang menyesakkan tak pernah terbayangkan ada di dalam hidupnya, tetapi kini justru membelenggu diri wanita yang ia cintai. Edward khawatir, iba, dan sangat prihatin.

"Maafkan aku, Edward. Seharusnya aku tidak membuat usahamu untuk menyenangkanku menjadi sia-sia," ucap Febiana.

"Tak apa, tidak apa-apa, Febi. Aku paham, jika aku ada di posisimu sekarang, aku belum tentu sekuat dirimu," jawab Edward.

Febiana menggigit bibirnya. "A-aku ingin menginap di rumah kayu."

"Rumah kayu? Di tempatku saja, bagaimana? Di sana lebih nyaman."

"Itu terlalu berbahaya untuk keadaan kita sekarang, Edward. Bagaimana jika salah satu relasi atau rekan kerjamu mengetahui kebersamaan kita? Kamu datang ke apartemenku bisa dijelaskan dengan pengakuan bahwa kamu sedang mengejarku, tapi aku yang sebagai pihak penolak tidak memiliki alasan apa pun jika ketahuan."

Edward tersenyum kecut. "Kamu wanita yang sangat detail dan berhati-hati, serta jauh lebih cerdas daripada diriku. Baiklah, kita ke rumah kayu saja."

Karena waktu semakin larut, Edward lantas mengajak Febiana untuk undur diri dari tempat itu. Ia tetap berhati-hati dalam melangkahkan kaki dan melindungi wajah Febiana agar tidak dikenali oleh siapa pun. Namun tempat biasa yang diperuntukan oleh orang-orang biasa, sepertinya cukup aman untuk tempat bersinggah kedua CEO besar tersebut.

***

Napas Madam Trisia tampak tersenggal-senggal setelah mengamuk dan memberantaki isi kamarnya sendiri. Bagaimana tidak, ketika Edwin Aditya sering memojokkannya sejak tadi. Ia disalahkan dan tak didengar.

"Apa perlu aku buka fakta sebenarnya sekarang, Edwin?!" ucap Madam Trisia berapi-api. "Bahwa aku bukan Trisia yang itu?" Matanya membulat, tetapi mengerikan.

Edwin menelan saliva. "Maafkan aku, dan kamu tidak perlu membuka kenyataan itu, Sayang," jawabnya menyesal.

Madam Trisia tergelak. "Why? Kamu takut? Kamu selalu menyalahkanku terus-menerus. Sementara kamu begitu konyol dengan menyerahkan jabatan itu pada Febiana! Apa kamu lupa bahwa kamu juga bukan—"

"Trisia! Berhentilah!" potong Edwin. "Jika kamu berkenan memiliki seorang anak, semua akan berjalan lancar."

"Lagi? Kamu menyalahkan aku lagi? Setelah aku bersedia menerima pinanganmu dan hidup sebagai Trisia yang lain? Astaga ... bukankah kita sudah sepakat sebelumnya, Edwin? Aku tidak mau memiliki anak yang bisa merusak tubuhku!"

Edwin menghela napas dan meluruhkan amarahnya. "Tak penting memikirkan masa lalu, Sayang. Kita harus mencegah adanya kecurigaan Febiana lebih dari ini. Aku masih ayahnya yang ditakuti, dan aku tidak akan membiarkan semua usahaku dalam menyingkirkan orang-orang itu menjadi sia-sia."

"Ayah? Hahaha." Madam Trisia tergelak. "Cari saja sendiri, Edwin. Aku lelah dengan sikap gadis yang menjadi putrimu itu! Lakukan dengan benar jika tidak mau segala fakta menjadi terbongkar!"

Madam Trisia segera berlalu meninggalkan suaminya itu sendirian. Ia yang sudah dipenuhi api amarah serta ketakutan, tak memiliki selera untuk bersama Edwin lebih lama. Dan sepeninggalan istri tercintanya, Edwin hanya bisa mendesah pasrah untuk sekarang. Namun ia terus memacu otaknya agar bisa mencari cara guna meredam kecurigaan Febiana.

***