Chereads / Mr. Sinclair and Miss Arrogant / Chapter 41 - Rumor Tentang Masa Lalu

Chapter 41 - Rumor Tentang Masa Lalu

Jari-jemari Edward terus diadu dengan papan mejanya. Sebenarnya ia tengah termenung membayangkan penderitaan wanita yang ia cintai. Ia merasa gelisah dan terus didera rasa khawatir mengingat Febiana selalu berjuang sendiri selama ini. Tentang bagaimana wanita itu berusaha sekuat mungkin dan tidak ingin terlihat lemah di mata orang lain. Namun bersyukur beberapa waktu terakhir yang dilewati bersama, setidaknya Febiana sudah berangsur memberikan kepercayaan dan bersedia mencurahkan segala cerita padanya.

Suara ketukan pintu membuat Edward terpaksa menyudahi ketermenungan. Ia lantas bersikap seolah sedang mengerjakan sesuatu di dalam laptop pribadinya. Sampai tak lama kemudian, Ibnu—sekretaris pribadinya—masuk dan menghampiri meja kerjanya.

"Tuan, Nyonya Besar datang," ucap Ibnu memberi tahu. "Beliau ingin bertemu Tuan Edward."

"Bawa masuk saja, Nu," jawab Edward.

Dan setelah mendapatkan persetujuan dari sang atasan, Ibnu kembali berbalik badan. Ia berjalan tegak demi mencari Belinda yang masih menunggu di depan ruangan Edward, lantaran takut jika menganggu.

Tak berselang lama, Belinda mulai tampak di netra biru milik sang putra pertama yang telah menunggunya. Edward mengulas senyuman, kemudian merentangkan kedua lengannya untuk memeluk sang bunda.

"Edward?" ucap Belinda tertegun sekaligus heran, sebab sikap Edward mendadak tampak penuh kehangatan.

Edward abai, kecuali menggerakkan sepasang kaki panjangnya untuk berjalan menuju sang bunda. Ia lantas memberikan pelukan erat di tubuh Belinda, kemudian berkata, "Lama tak bersua, Ibu. Maafkan Edward jarang pulang ke rumah."

Belinda masih terdiam. Namun hatinya merasakan keharuan yang luar biasa. Sudah lama, sejak tujuh tahun silam, Edward tak pernah menampakkan senyum indah padanya. Kehangatan lalu pelukan yang diberikan secara suka rela oleh putra pertamanya itu nyaris tidak pernah ia terima sebelum saat ini terjadi.

Tanpa sadar, melainkan insting murni dari lubuk hati seorang ibu, kedua jemari Belinda terulur ke depan dan lantas menangkap wajah Edward yang tampan. Ia sampai menitikkan air mata karena keharuan yang bercampur sedikit rasa heran.

"Kamu baik-baik saja, Nak?" tanya Belinda.

"Tentu saja, Ibu, Edward baik-baik saja. Mm ... memangnya ada apa? Ah, benar." Edward berangsur mengusap air mata yang menodai pipi ibunya tersebut. "Maafkan Edward, Ibu, atas kesalahan Edward selama ini. Ayolah kita duduk, kaki Ibu sudah cukup renta tampaknya, jangan terlalu lama berdiri. Edward juga ingin tahu kenapa Ibu sampai datang ke kantor."

Edward memapah tubuh Belinda dengan lembut dan sarat akan kasih sayang. Lantas, keduanya duduk saling berdampingan di salah satu sofa panjang yang tersaji di dalam ruang kerja yang megah tersebut.

Dan selama beberapa detik, mata Belinda masih saja menatap wajah Edward. Ia merasa sangat bersyukur jika saat ini putra pertamanya itu bisa benar-benar sembuh dari luka lama. Akan lebih bagus jika Edward segera menikah, tetapi Belinda tidak mau terlalu mendesak dan merusak situasi yang sudah lebih baik daripada tujuh tahun terakhir.

"Edward," ucap Belinda kemudian berangsur menggenggam jemari Edward yang besar. "Ibu hanya sangat rindu padamu, Nak. Semenjak diadakannya pertemuan dengan keluarga Aditya, kamu jarang berkunjung lagi."

Edward tersenyum tipis. "Edward hanya sedang sibuk saja, Ibu. Bukan karena ada masalah kok," jawabnya berharap dapat meredakan kekhawatiran di hati sang bunda.

"Lalu Nona Cantik itu bagaimana? Apa kamu sudah bertemu dengannya lagi?"

Edward terdiam bingung. Meski pada kenyataannya sudah sangat dekat dengan Febiana, mengungkapkan kebenarannya pada orang lain sekalipun ibundanya sendiri, belum cukup tepat untuk dilakukan saat ini. Sehingga pada akhirnya Edward hanya mampu menggelengkan kepala.

"Be-belum, Ibu," jawab Edward.

"Benarkah?" tanya Belinda sedikit tidak percaya.

"Mm ...."

"Seseorang melihatmu sedang berada di kawasan gedung milik Big Golden, Nak."

Edward menelan saliva. "Ya." Ia menggusap tengkuknya dan berlagak malu-malu. "Edward sempat berusaha mengejar Febiana, tapi gagal. Dia terlalu keras, lantaran tidak mau dianggap sebagai alat bisnis. Dia tampak sangat menderita. Dan yah, Edward mendapatkan penolakan tegas dan saat mengakui fakta ini sangat memalukan, Ibu."

"Kamu menyukainya?"

"Iya, Ibu. Tapi, Edward rela pergi jika Febiana telah menolak, apalagi jika sampai membuatnya menderita. Edward tidak mau mengulangi kesalahan untuk kedua kalinya."

"Kamu benar-benar sudah sembuh, Nak. Kejarlah jika kamu memang menyukainya, atas nama ketulusan dan buktikan bahwa perasaanmu memang tak direkayasa. Ibu akan membantumu dan mendesak ayahmu agar membatalkan rencana perjodohan itu. Jika kamu benar-benar menyukai Febiana, maka buatlah dia seperti wanita berharga atas nama cinta, bukan bisnis.

Edward mengembangkan senyuman selebar daun pisang. Ia mencengkeram kedua lengan Belinda, lalu memberikan pelukan hangatnya lagi. Memang sudah lama, ia mengabaikan ibunya yang notabene sangat menyayangi dirinya.

Belinda telah sukses menjadi ibu yang baik, tanpa embel-embel perusahaan, harta, ataupun jabatan. Belinda menjadi satu-satunya orang yang menyesalkan keterpurukan Edward selama tujuh tahun terakhir. Namun karena hati Edward yang membeku, segala kebaikan Belinda menjadi tidak tampak. Namun kini, ketika sesuatu yang telah lama hilang tiba-tiba kembali muncul pasca merasa jatuh cinta pada Febiana, Edward sadar bahwa ibunya adalah orang penting yang selama ini sangat ia butuhkan.

Bahkan sampai beberapa kali, Edward membisikkan kata maaf dan penyesalan. Terima kasih pun tak lupa ia utarakan teruntuk segala pengertian ibunya tersebut. Pun pada dukungan yang diberikan oleh Belinda ketika ia mengakui bahwa hatinya telah jatuh pada sosok Febiana. Dan Belinda berniat membantunya membatalkan adanya perjodohan bisnis, untuk membuatnya dapat meraih diri Febiana secara terhormat dan atas nama cinta yang murni. Ah, bahu seorang ibu memang menjadi tempat bertumpu paling tepat.

"Ibu, mm, terima kasih," ucap Edward lagi.

Belinda menepuk bahunya. "Ibu sudah puas mendengar kata itu, Nak,"sahutnya.

"Ah iya," kata Edward sembari menggaruk tengkuknya. "Mm, ada sesuatu yang ingin Edward tanyakan, Ibu. Bukan soal kedatangan Ibu atau bagaimana kondisi rumah dan Edward harap Ibu bisa merahasiakannya, lantaran hanya Ibu yang saat ini bisa Edward percayai."

"Iya, Ibu berjanji tak akan mengatakannya pada siapa pun, Nak. Tanyakan saja, dan Ibu akan menjawabnya jika bisa."

"Begini." Edward menggenggam jemari sang bunda. "Ini seputar Big Golden di saat Edward masih kecil ataupun masih belum ada di kursi pimpinan. Edward ingin tahu rumor apa saja yang sempat muncul menyerang Big Golden."

"Entah." Mata Belinda menatap langit-langit ruangan, menandakan ia sedang berpikir sesuatu hal. "Big Golden pernah menjadi perusahaan terbesar kedua setelah Sinclair Group. Beberapa tahun yang lalu, kamu masih kecil."

Edward langsung antusias. "Be-benarkah?"

"Ya. Nyaris mengalahkan perusahaanmu ini, Nak. Ibu lupa siapa nama pemimpinnya, lantaran itu sudah lama sekali."

"Atmaja Diraja?"

"Ya! Itu dia!"

"Keluarga Diraja, tapi kenapa sekarang atas nama Aditya? A-apa ada masalah akusisi?"

"Tidak, tidak ada. Hanya saja, dulu istri dari Tuan Edwin memang terlibat kecelakaan. Tapi kabar mengatakan Madam Trisia dalam keadaan baik-baik saja, hanya saja sang sopir meninggal dunia. Madam Trisia satu-satunya putri Tuan Atma yang jarang terekspos lantaran bertahun-tahun hidup di luar negeri."

"Hidup di luar negeri? Aussie?"

"Ibu lupa, Nak. Coba kamu cari tahu di internet. Kalau setahu Ibu memang beliau lulusan dari salah satu kampus di Aussie. Hanya saja ...."

"Ha-hanya saja?" Edward tampak mendesak.

"Rasanya seperti bukan di sana."

"La-lalu? A-apa Ibu pernah dengar sesuatu?"

"Rumor keluarga Diraja, mm, seputar masalah Madam Trisia ya?" Belinda terus mengorek ingatan di masa lalunya yang samar ada di benak maupun telinga. "Ada rumor lain jika Madam Trisia tidak pernah tinggal di luar negeri semenjak lulus SMA, melainkan diasingkan oleh keluarganya karena sebagai putri tunggal dia telah merusak nama baik keluarga Diraja. Tapi, mengenai rumor itu Ibu sama sekali tidak tahu. Karena setelah insiden kecelakaan, selang dua tahun kemudian Madam Trisia menghadirkan diri bersama Tuan Edwin dan putrinya. Dan saat itu pertama kalinya Ibu melihat wajah cantik Madam Trisia."

Ada yang aneh, pikir Edward. Rumor yang disebutkan oleh Belinda cukup menganggu pikirannya. Dan ia bertekad mengorek lebih dalam lagi mengenai kabar tersebut. Meski tidak lengkap dan penuh keraguan, tetap saja penjelasan Belinda sudah cukup dalam membantu penyelidikan Edward.

Namun untuk saat ini, demi menghalau kekhawatiran berlebih ibunya itu, Edward tidak berkenan membahas lebih lama lagi. dan karena waktu hampir mendekati jam makan siang, ia menawarkan diri untuk mengajak Belinda santap siang bersamanya.

***