Febiana pulang. Bukan ke apartemen pribadi, bukan pula ke kantor, apalagi aset pribadi milik Edward. Ia datang ke rumah Edwin Aditya. Ia datang tanpa sungkan dan sudah mempersiapkan diri apabila nanti akan mendapat cerca dan hinaan dari kedua orang tuanya.
Karena tidak mau terbelenggu rasa penasaran terus-menerus, Febiana telah mengumpulkan sisa keberanian yang sempat hilang. Di depan pintu sebuah ruang pribadi yang selama ini dijadikan tempat bercumbu oleh Edwin dan Madam Trisia, serta tidak boleh dimasuki oleh siapa pun, Febiana menghentikan langkah kakinya.
Ruangan itu tertutup rapat, tidak ada tanda-tanda keberadaan seseorang di dalamnya. Dan nyaris seluruh ruang rumah itu memang senyap, kecuali dapur dan area belakang yang diisi oleh beberapa pelayan.
"Mereka tidak ada di rumah? Lantas, ke mana?" gumam Febiana bertanya-tanya.
Mata Febiana masih terpaku menatap lekat pada knop pintu ruangan itu. Ada rasa bimbang yang menyeruak, lantaran bingung hendak membuka paksa atau lekas pergi saja. Ia ingin sekali tahu apa yang ada di dalam ruangan itu selain tempat bercumbu. Febiana yakin bahwa ada rahasia lain, sehingga ayahnya selalu memberikan larangan pada siapa pun untuk masuk ke dalam, kecuali bagi pelayan yang sudah ditunjuk untuk membersihkan kotoran di dalamnya.
"Aku ingin tahu apa yang ada—" Sebelum berhasil menyudahi ucapannya, Febiana dibuat terkejut oleh suara tapak yang terdengar tengah menaiki tangga rumah itu.
Tak lama kemudian, suara percakapan turut menyusul. Obrolan bersarat pertentangan itu didengar oleh Febiana, dan ia yakin bahwa orang-orang tersebut adalah Edwin dan Madam Trisia. Lantas, ia segera mencari celah untuk bersembunyi. Ia hanya tidak mau dicurigai oleh ayah dan ibunya karena terpaku di depan pintu ruangan terlarang.
"Ayolah, Sayang, jangan marah lagi. Sudah aku bilang, aku akan membereskan semuanya." Suara Edwin terdengar sedang memohon-mohon pada istri tercintanya.
Dan dari mata Febiana, Madam Trisia tampak menghentikan langkah kaki tepat di depan ruang terlarang tersebut. Wanita paruh baya itu menghela napas kemudian mendesah lelah. Sepertinya ia tengah terlibat pertengkaran dengan Edwin Aditya.
Madam Trisia menatap manik mata suaminya dengan nanar. "Membereskan semuanya? Jika sebelum semuanya beres, bagaimana kalau rahasia kita terbongkar, Edwin? Dan apa kamu tidak ingat kalau surat wasiat itu mengatakan bahwa—"
"Ayolah, Trisia!" potong Edwin.
"Wasiat?" lirih Febiana masih bertahan di balik dinding menuju tempat lain. Sementara benaknya kini dibuat bertanya-tanya mengenai kata 'wasiat' yang keluar dari mulut Madam Trisia. "Sial! Ibu belum sempat menyelesaikan ucapannya, karena Ayah langsung memotong," gerutunya.
Edwin tampak meraih jemari sang istri dan memasang ekspresi memohon. "Dia tidak akan berani melawanku, Trisia. Dan surat itu tidak akan pernah tersampaikan selama aku dan kamu masih hidup!"
"Jadi setelah kamu mati, semuanya akan menjadi miliknya?" Madam Trisia mengambil satu langkah mendekati Edwin. Detik berikutnya, ia mencengkeram kerah baju suaminya itu. "Setelah semua kejahatan yang kamu lakukan, kamu berniat akan mati? Tidak, Edwin, tidak untukku. Aku tidak akan pernah mati."
"Ya, benar. Setidaknya usia hidup kita masih panjang. Kamu masih muda. Lalu, jika bukan dia pewarisnya, lantas siapa? Kamu tidak bisa memberiku keturunan, Trisia. Lebih tepatnya, tidak mau."
Bak tersambar petir di siang bolong, perasaan Febiana langsung syok, jantungnya berdetak lebih cepat, dan matanya membulat nyaris keluar dari rongganya. Bagaimana tidak, untuk sesuatu hal yang sangat ia takuti, tetapi justru harus terjadi. Barusan, Edwin mengatakan bahwa Madam Trisia tidak bisa memberinya keturunan dan ungkapan itu sudah menjadi bukti bahwa ibu yang selama ini dianggap sebagai orang tua kandung oleh Febiana, ternyata bukan!
Ingin sekali Febiana berlari menghampiri Madam Trisia dan menanyakan fakta sebenarnya. Ingin sekali ia meminta penjelasan sebanyak mungkin pada Edwin detik itu juga. Namun, ia berusaha tetap tegar dan menahan rasa penasaran yang sarat akan kepiluan. Febiana tidak mau terburu-buru. Ia tidak ingin dihancurkan oleh fakta, sebelum memikirkan sebuah rencana.
"Edwin!" Suara Madam Trisia terdengar kembali dan memaksa Febiana untuk memasang telinga lebih seksama, sekaligus hati dan jantungnya agar lebih menguatkan pertahanan. "Andai kamu tahu apa yang terjadi sebenarnya pada tubuhku, kamu tidak akan terus menyalahkanku seperti ini!"
Edwin menghela napas. "Aku tidak menyalahkanmu, Trisia! Sejak awal aku sudah meminta maaf, tapi kamu masih saja keras kepala. Aku juga punya batas kesabaran, Sayang. Dan aku juga tidak memiliki pilihan lain, selain menyerahkan Big Golden pada Febiana. Karena aku—"
"Karena kamu menyayanginya, 'kan?"
Edwin terdiam bingung. Namun sebagian dirinya membenarkan dugaan istrinya mengenai rasa sayang yang ia berikan pada Febiana. Sementara, separuh dirinya lagi, ia menyembunyikan fakta lain, yang membuatnya harus menyembunyikan kebaikan hati pada Febiana. Dan hal itu membuatnya bimbang, memilih antara menerapkan rencana yang sudah ada, atau ....
"Sudahlah, aku lelah bertengkar. Jika Febiana tahu bahwa kita terlibat pertengkaran seperti ini, dia akan bertambah curiga, Sayang," bujuk Edwin lagi.
Madam Trisia mendesah lelah. Dan saking letihnya, ia sudah segan memberikan sanggahan baru. Lantas, ia masuk ke dalam ruangan itu sesaat setelah membuka kuncinya. Edwin pun sama, ia masuk dan menyusul sang istri.
Selepas kedua orang tuanya, yang saat ini salah satu di antara mereka ternyata seorang ibu palsu itu masuk, Febiana lantas keluar dari persembunyian. Ia melepas sepatu tingginya demi mencegah adanya bunyi tapak kaki yang keras. Ia berjalan lambat dan telah memutuskan untuk pergi tanpa pamitan.
Bersama luka dari keterkejutan itu, Febiana melangkah untuk menjauh. Bersama air mata yang menodai kedua pipinya dan hancurnya hati karena fakta gila yang barusan ia dengar, ia ingin segera pulang. Hidup memang penuh teka-teki. Namun, Febiana tidak pernah menyangka ia harus menerima takdir yang sangat menyakitkan.
Kilat tiba-tiba menyambar, suara menggelegar mengisi semesta yang tiba-tiba menjadi gelap. Mendung datang tepat ketika belati tajam menyayat-yayat hatinya. Wanita itu melesakkan diri ke dalam kabin sebuah mobil yang disebut dengan nama taksi. Ia menangis sesenggukan tanpa peduli atas rasa malu. Ia tidak peduli bahwa sopir taksi itu mungkin akan heran dan lantas menertawainya. Ia sudah terlalu kesulitan dalam mempertahankan rasa sabar di atas kesedihan.
Nestapa itu Febiana bawa sampai ke rumah kayu milik Edward. Ia singgah di sana demi meredam duka, kecewa, sekaligus lara hatinya. Ia ingin menghirup udara mendung yang segar, tanpa peduli perihal pekerjaan ataupun berbagai kewajiban. Berharap kelegaan segera datang, setelah menumpahkan luapan emosi pilu itu dalam bentuk air mata.
Di sebagian hatinya yang lain, ia berharap Edward bisa hadir. Namun ia tidak mau egois dan mengganggu pria itu lagi. Terlebih ketika ia harus berada di situasi bak sebatang kara. Ayahnya tak peduli, lalu ibunya bukan orang tua asli.
Febiana sangat malu jika nanti Edward mengetahui fakta itu. Ia tidak mau bersama Edward lebih lama, jika pada akhirnya latar belakang aslinya semakin bertambah suram saja.
Edward punya banyak kesempatan untuk memiliki wanita baik-baik, terhormat, cantik, dan terutama memiliki kejelasan identitas. Bukan seperti Febiana yang selama 30 tahun hidup bersama orang lain, bukan ibu kandungnya. Ia akan melepaskan pria itu, jika nantinya dirinya justru akan memberikan rasa malu dan paling parahnya muncul sebuah mala petaka.
"Nona Febiana sedang menangisi hal apa, sampai sekacau itu?" Dirman yang melihat Febiana murung sembari duduk di kursi kayu milik rumah kaca itu, menjadi bertanya-tanya.
Dan karena rasa khawatir sekaligus iba mendatangi hatinya, Dirman berinisiatif untuk menghubungi sang tuan.
***