Febiana Aditya. Wanita cantik dengan segala arogansinya, tetapi memiliki latar belakang suram itu, masih tidak menyangka bahwa hidupnya akan serumit saat ini. Ia yang awalnya mengagumi Edward Sinclair lantaran pria itu mampu mempertahankan keagungan Sinclair Real Estate sejak pertama kali menjabat, lalu perasaan kagumnya yang berubah menjadi obsesi dan kebencian dengan tekad ingin mengalahkan pria itu, tetapi kini ia justru terjebak dalam perasaan cinta dan nyaris jatuh ke pelukan pria itu.
Sementara Edward Sinclair yang notabene adalah sang tamu di apartemen itu juga memikirkan hal yang sama. Pria berparas Eropa, berambut agak pirang, bertubuh kekar, serta pemilik netra biru yang menyilaukan itu, tidak pernah menyangka, bahwa ia akan begitu mencintai Febiana. Meski awalnya ia terus menolak dan berupaya menganggap perasaannya sebagai rasa rindu pada sang mantan kekasih. Dan kini saking senangnya, ia justru bersedia datang ke tempat tinggal Febiana, bahkan rela menjadi koki pribadi wanita itu.
Febiana menghela napas sembari melipat kedua tangannya ke depan. "Edward, kenapa kamu mengetahui di mana aku tinggal, sementara seingatku aku sama sekali tidak pernah memberi tahu tentang alamat rumahku padamu," ucapnya lantaran cukup penasaran.
Edward lantas menghentikan kesibukannya dalam mengolah beberapa bumbu dapur. Detik berikutnya, ia menoleh dan tersenyum pada Febiana yang berlagak layaknya majikan. "Aku mengikutimu. Sore tadi, kamu tidak mau aku antarkan, dan memilih berjalan agak jauh dari rumah kayuku agar Sekretaris Rio menjemputmu. Karena khawatir dan mengira kamu tinggal bersama kedua orang tuamu, jadi aku ikuti saja demi melindungimu nantinya. Dan ternyata kamu singgah di gedung ini dan masuk ke dalam apartemen ini," jelasnya.
Hati Febiana berdesir aneh, darahnya pun seolah mengalir sederas guyuran hujan lebat. Rasa haru dan terenyuh juga singgah, membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Namun bukan Febiana namanya jika kalah pada rasa memuakkan itu. Ia menghela napas dan kembali memasang wajah tegas, agar terlihat tidak terpengaruh pada ucapan Edward.
"Kamu sangat berlebihan, Edward. Aku akan baik-baik saja, meskipun aku pulang ke rumah orang tua, dan lagi sikapmu itu sangat mengganggu privasiku," ucap wanita itu dengan dingin.
Edward tetap tersenyum. "Tidak, aku pikir kamu jauh dari kata baik-baik saja. Sudut bibirmu terluka, pipi kamu merah memar. Dan ruang tamu tempat ini sangat berantakan, pecahan guci dan barang apa pun menjadi acak-acakan. Aku juga sempat bertemu kedua orang tuamu, dan aku rasa mereka sempat mampir atau memang berniat mampir ke tempat ini sejak awal. Aku hanya tidak mau kamu terganggu, sehingga aku pura-pura mengabaikannya saja."
"Ka-kamu bertemu kedua orang tuaku?" Mata Febiana melebar dan ia mengabaikan segala penjelasan Edward karena takut jika pria itu bertemu dengan Edwin Aditya serta Madam Trisia. "Tidak. 'kan?"
Edward meletakkan pisau dapur yang sejak tadi ia genggam. Kemudian ia berangsur menghampiri wastafel yang tidak jauh dari posisinya, serta mencuci kedua tangannya setelah itu. Sekian detik berikutnya, ia berjalan menghampiri Febiana yang saat ini sudah tampak kebas dengan mata memancarkan harapan besar. Ia tahu bahwa wanita itu tidak menginginkan pertemuan dirinya dengan Edwin maupun Madam Trisia, sekalipun dalam keadaan tidak disengaja.
Edward meraih jemari Febiana dan lantas menggenggamnya. "Tidak, Dear," ucapnya. "Kami tidak bertemu. Aku melihat mereka dan segera bersembunyi di balik dinding. Aku juga tahu, jika orang tuamu melihatku hendak menemuimu, mereka pasti akan semakin senang."
Febiana menghela napas lega. "Terima kasih, Edward," ucapnya.
"Sudahlah, jangan memikirkan hal itu lagi. Aku akan membereskan segalanya. Kamu duduk di sana, mau kuobati dulu lukamu?"
Febiana menggeleng. "Tidak, kamu harus menyelesaikan aktivitasmu. Aku sangat lapar, aku bisa mengobatinya sendiri."
"Kamu yakin?" Tangan Edward beralih ke pipi Febiana yang masih memerah sekaligus tampak bekas darah di sudut kanan bibir wanita itu. Ia berkedip beberapa kali, sekaligus merasa tidak tega melihat wajah cantik yang tengah terluka. "Aku salah, seharusnya aku nekad mengurus lukamu, daripada berpura-pura. Seharusnya aku mengabaikan makanan itu terlebih dahu—"
"Tidak! Kamu tidak salah, keputusanmu sudah benar, Edward. Tatapan ibamu padaku saat ini sangat melukai harga diriku, seharusnya kamu tetap berpura-pura abai saja. Sudahlah, lanjutkan saja, aku bilang aku sudah lapar. Aku bisa mengurus wajahku sendiri."
Febiana menepis jemari Edward yang masih meraba wajahnya. Sesaat setelah memberikan senyum tipis, ia berlalu dari hadapan pria itu dan bergegas masuk ke dalam kamarnya. Langkah Febiana tampak terburu-buru, dan memang ia sengaja seiring dengan detak jantung yang kian cepat. Ia meluruhkan badannya setelah sampai di dalam kamar itu serta menutup pintu rapat-rapat.
Febiana menutup wajahnya yang semakin merah, lantaran merasa sangat malu. Bukan malu karena harga dirinya dilukai, tetapi perihal malu ketika asmara yang disebabkan oleh Edward kembali meletup dan membuatnya kerap kali salah tingkah.
"Edward gila, apa dia sengaja membuatku seperti ini?" gumam Febiana gelisah. "Wahai jantung jangan berdetak seperti ini, kalau bisa berhenti saja daripada membuatku terus didera rasa malu. Uh! Aku bisa gila kalau seperti ini terus! Dan lagi, kata orang Edward Sinclair adalah pria yang dingin, tapi sekarang? Dingin apanya?! Sial!"
Kalau saja tidak ditunggu oleh Edward, sudah pasti Febiana meringkuk di atas ranjangnya sembari bersembunyi di bawah selimut tebal. Namun ia harus segera bangkit dan mengurus luka di pipinya, kemudian kembali ke luar.
"Apa-apaan ini? Ayah!" ucap Febiana kesal ketika mendapati wajah cantiknya justru tampak berantakan. Lebam membuat pipinya sedikit bengkak, darah masih membekas di sudut bibir dan ia merasa sangat tidak cantik. "Wajahku sangat buruk, dan sejak tadi aku berbicara dengan Edward dengan keadaan seperti ini? Ya Tuhan, Febiana, hancur sudah reputasimu!"
Lantaran semakin dirundung rasa malu, Febiana sampai merintih-rintih, meskipun tidak sampai menangis. Ia merasa jauh lebih hancur ketika berhadapan dengan Edward dengan wajah buruk, daripada menghadapi ayahnya yang buas seperti singa lapar. Seandainya ia menyadarinya sejak tadi, sudah pasti ia akan segera mengurus diri. Ia akan menutupi lebam itu dengan tipuan make-up. Namun jika melakukannya sekarang, semuanya sudah terlambat! Edward justru akan menilainya sengaja berdandan demi pria itu sendiri.
Butuh waktu satu jam, Febiana menghabiskan waktu di dalam kamarnya karena segala kebimbangan yang sempat mendera. Dan akhirnya, ia terpaksa keluar demi menghampiri Edward dengan penampilan yang jauh lebih buruk. Ia menutupi pipi lebamnya dengan kapas dan obat peredam nyeri.
Mata Febiana membelalak pasca mendapati ruang tamu apartemen itu telah bersih dan rapi, ceceran pecahan guci sudah tak ada. Sementara Edward masih sibuk di meja makan dan tampak menyiapkan hidangan.
"Ka-kamu membersihkan semuanya?" tanya Febiana sembari melangkahkan kaki menghampiri pria itu.
Edward menatapnya, kemudian mengangguk. "Kamu sangat lama dan sembari menunggu hidangan malam matang, aku membereskan semuanya," jawabnya. "Ah! Jangan marah, apa yang aku lakukan karena disebabkan oleh dirimu sendiri yang sangat lama di dalam kamar."
"Tidak kok," jawab Febiana lirih. "Aku berterima kasih."
Edward tersenyum, kemudian ia berjalan menghampiri wanita itu. Ia mencengkeram kedua pundak Febiana dari belakang dan menggiring wanita itu untuk ke ruang makan. Ia menarikkan salah satu kursi, kemudian meminta Febiana duduk di sana. Hidangan khas Indonesia telah tersaji di meja makan, aroma lezatnya pun menguar, membuat selera makan Febiana tergugah detik itu juga.
"Kamu bisa masak? Hidangan negara ini lagi, bukan Eropa, terutama Perancis. Bahkan ketika kamu membantuku mengusir sisa mabuk, kamu bisa membuat sop," ucap Febiana.
"Ya, tentu saja, aku pernah hidup mandiri di Italia. Dan karena selalu rindu dengan negara ini, terutama masakan ibu, aku belajar. Dan kemampuan ini awet sampai sekarang. Lagi pula, saat ini pun aku hidup sendiri, aku tidak memperkerjakan pelayan, selain untuk membersihkan ruangan," ungkap Edward sembari menyiapkan porsi makan untuk Febiana.
Febiana menatap wajah bulenya lekat-lekat. "Edward?"
"Ya?"
"Kenapa kamu bisa menyukaiku? Aku wanita yang sombong dan sejatinya tak memiliki apa pun. Meskipun karakterku sama seperti Kimmy, aku ... aku jauh lebih buruk darinya. Kimmy tampaknya sangat baik. Dia kuat dengan hidup sederhana. Rumahnya pun hanya satu lantai dan ... yah, dia tampak bahagia. Putrinya sangat cantik, memiliki mata tajam sepertinya. Dia memiliki seorang putra juga, tapi aku tidak mengetahui wajah putranya itu."
Edward menghela napas. "Aku menyukaimu karena itu kamu, bukan Kimmy. Well, yah, aku pernah bilang, bahwa awalnya aku pikir karena Kimmy. Tapi, tidak. Aku rasa aku memang menyukai wanita bertipikal tangguh. Soal Kimmy ...."
"Kenapa?" desak Febiana.
Pria itu menghela napasnya lagi. "Aku pikir aku hanya terbelenggu rasa sakit dan penyesalan karena kesalahanku sendiri. Juga, kekhawatiranku padanya. Kimmy menikahi seorang duda beranak satu, hidupnya jauh dari kata kaya. Dan kupikir Kimmy hanya akan menderita. Tapi, sepertinya dia sangat bahagia. Dan kini aku bersamamu, kamu selalu bilang aku berlebihan. Tapi, Nona, aku hanya merasa aku kembali dibangkitkan. Aku antusias ketika perasaanku kembali normal, fobiaku hilang dan sembuh karena kamu. Aku sangat menyukaimu, lebih dari yang kamu pikirkan dan melebihi kecurigaanmu itu."
Senyum Edward diartikan sebagai sebuah ketulusan oleh Febiana. Pria itu berbeda dari bayangannya, berbeda pula dengan rumor yang beredar. Edward bukan monster dingin, melainkan manusia biasa yang berhati baik. Terlepas dengan cara bisnisnya yang kejam, saat ini Edward tampak sebagai pria pahlawan. Karena Edward, Febiana merasa aman. Karena pria itu, Febiana merasa dilindungi.
Keduanya lantas memulai santap malam sesaat setelah menyudahi atmosfer kecanggungan.
***