Pagi hari tiba, mentari menyingsing dari ufuk timur dengan pendar yang menyilaukan. Suara berisik khas awal hari itu membuat Edward terpaksa membuka matanya. Ia menguap sembari merentangkan kedua tangannya. Nyeri terasa menusuk di beberapa persendian tubuh, lantaran semalaman tidur di atas kursi kayu tanpa bantalan.
"Febi!" pekik Edward mengingat wanita yang menjadi cinta barunya itu. Ia bergegas bangkit dan mencari-cari Febiana, dengan segala kekhawatiran jika wanita itu sudah pergi.
Tidak ada, Febiana tak nampak di pembaringan yang berada dalam satu kamar dengan bekas pembaringan Edward. Lantas, pria itu tertegun sebentar yang akhirnya kalang kabut. Tak peduli akan wajah dan rambut yang acak-acakan, Edward keluar dari ruangan tersebut.
"Febi? Febiana!" Suara Edward keras, lantang, dan sarat akan kegelisahan. Sementara bibir yang terus berseru, sepasang kakinya menderap ke sana-kemari mencari Febiana di segala sudut rumah kayu itu.
"Tidak ada! Ke mana dia? Apa dia pulang?" gumam Edward bertanya-tanya sembari menghentikan langkah kakinya. Ia berpikir sejenak, mencari kemungkinan dan yang tak bersangkutan dengan kata pulang.
Pasca teringat akan taman di rumah kaca, mata Edward membelalak. Ia mengira bahwa Febiana ada di sana, ya, setidaknya menjadi kemungkinan terakhir di hatinya. Langkahnya kembali terayun cepat sampai menimbulkan bunyi yang sedikit ribut.
"Ah!" Rasa lega melesak ke dalam dada Edward, yang diiringi senyum mengembang tulus. Ia mendapati Febiana tengah menyiangi para bunga. Ia tertegun takjub dan terus melekatkan tatapan pada wanita itu. Manik birunya memancarkan pendar ketulusan. Tak ada lagi kebencian, meski hanya sejengkal. Tak ada lagi ketidakpercayaan, serta jeratan lingkar permusuhan.
Lalu, Edward segera menemui wanita itu sembari merapikan rambutnya yang berwarna agak pirang. Ia memberanikan diri ingin menyapa, atau mungkin memastikan bagaimana hubungannya dengan Febiana saat ini.
"Aku di sini, tak perlu teriak-teriak. Itu sangat berisik!" celetuk Febiana yang tampaknya menyadari kedatangan Edward. Kemudian ia berbalik menatap pria yang memberikan segala hal manis tadi malam.
Edward mendesis. "Kamu mendengar seruanku, tapi tak menjawab?" tanyanya.
"Ya, aku terlalu malas menghadapimu saat ini."
"Apa?! Tapi, tadi malam kita?"
"Jangan katakan hal yang tak perlu. Itu hanya sebuah kecupan saja, dan kamu sudah melakukannya jauh sebelum tadi malam."
Edward tertunduk lesu. Bagaimana tidak, ia pikir keadaan hubungannya dengan Febiana sudah membaik, tetapi tidak. Febiana masih kaku, keras, dan sepertinya keromantisan yang terjadi tadi malam sudah tak berguna. Padahal, Edward nyaris mendapatkan jati dirinya kembali karena wanita itu. Ya, segala karakter yang terpendam di palung hati, berangsur bermunculan, tetapi Febiana hendak mendorongnya lagi.
"Aku harus pulang, Edward. Sudah semalam suntuk aku di sini, kupikir ayah dan ibuku sedang panik mencariku," ucap Febiana.
Edward menggeleng cepat, serta menghampiri wanita itu. "Tidak boleh!" tandasnya menahan Febiana ke dalam rengkuhannya. "Tidak untuk saat ini. Kupikir kamu hanya akan dimarahi."
Febiana menatap wajah Edward yang sudah sangat dekat dengan matanya. Dan meskipun ia bersikap seolah tidak mengindahkan perihal romantisme di tadi malam, nyatanya ia tidak berkenan melepaskan diri dari pelukan Edward. "Itu sudah menjadi hal biasa bagiku, Mr. Sinclair. Tak apa, ini konsekuensinya. Aku harus—"
"Tidak, Nona!" potong Edward, sementara tangannya mengeratkan pelukan itu. "Dan jika sudah menjadi kebiasaan, aku justru akan semakin mengkhawatirkanmu. Tinggallah di sini lebih lama, aku akan mengurus segala keperluanmu."
"Aku seorang CEO, aku harus memimpin segala kendali atas Big Golden, Edward!"
"Kupikir kamu bisa mengambil jeda dengan alasan sedang merundingkan proyek bersama Mr. Hector. Aku—"
"Edward?"
"Mm?"
"Apa kamu benar-benar menyukaiku? Bukan karena Kimmy atau bisnis?"
Edward mengangguk mantap, mata birunya memancar cerah. "Ya! Tak perlu diragukan lagi, Febi."
"Setelah tujuh tahun terbelenggu bayangan Kimmy, dan satu bulan saja denganku kamu bisa begitu menyukaiku? Ah, rasanya masih sukar dipercaya."
"Ya! Bahkan, aku sendiri tak mengerti. Aku sudah terkesan padamu sejak pertama kali bertemu. Well, jujur, aku pikir kamu memang sama seperti Kimmy. Kupikir perasaanku hanya rindu saja, tapi tidak begitu, Nona. Aku mencari jawabannya selama satu bulan, aku melindungimu dan sangat ingin melakukan segala hal agar kamu terbebas dari rasa gelisah."
Febiana menunduk. "Aku rasa ini sangat berlebihan dan sulit kuyakini. Aku tak punya siapa pun, selain Feline yang bisa aku percaya. Dan kamu musuhku ...." Ia menghela napas. "Aku tidak mengerti dengan takdir gila yang saat ini menjebak diriku, Edward. Kalian semua tampak baik, tapi di sisi lain kalian seperti sedang mempermainkanku. Aku berencana ingin kabur dari segala hal, bahkan dari jabatanku. Sudah tak ada selera untuk menjadi wanita kaya dan terhormat, tapi di sisi lain aku juga belum bisa hidup sendiri tanpa uang dan koneksi keluarga."
Edward prihatin. Tak dapat dipungkiri sebesar apa kebingungan Febiana saat ini. Dan menurut dugaannya, mungkin orang tua wanita itu merupakan sumber utama dari segala derita yang menimpa Febiana. Bahkan, Edward menganggap jika kenekatan Febiana dalam merampas lahan serta kerja sama yang diincar Sinclair Real Estate merupakan salah satu upaya Febiana lantaran didesak oleh Edwin Aditya.
Febiana hanya wanita rapuh dan berupaya kuat menahan segala tekanan. Wanita malang itu sulit untuk mempercayai siapa pun, bahkan pada pria yang sudah ia cintai. Edward mengerti, ia pernah ada di posisi itu untuk dirinya sendiri. Ia sempat tidak percaya diri setelah ditinggal menikah oleh Kimmy, sehingga membuatnya urung mencari wanita baru. Namun sekarang, Febiana datang, membangkitkan kehangatan dalam dirinya, cinta, sayang, serta kepedulian. Edward tak akan membuat wanita itu menderita.
"Aku tidak ingin kamu memaksa dirimu cukup untuk hari ini saja, Dear. Setidaknya untuk merayakan tentang kita," ucap Edward sembari melepas pelukan dari tubuh Febiana, lalu mencengkeram lengan wanita itu.
Dahi Febiana mengernyit. "Perayaan tentang kita? Apa maksudmu?" tanyanya.
"I-itu ...." Edward menelan saliva, malu, dan yah mungkin ia sangat terburu-buru. "Kupikir kita sudah menjalin hubungan ... mm, spesial."
Febiana mendesis, kemudian melipat kedua tangannya. "Meski aku sudah menyatakan perasaan padamu, bukan berarti aku membuka hatiku untukmu. Sudah kukatakan aku masih sukar percaya, dan kurasa ungkapan hatiku tadi malam sudah sangat cukup. Jalinan tak terlalu penting bagiku, Edward. Menerimamu di saat aku menolak perjodohan denganmu, itu tampak konyol!"
"Ja-jadi, aku tak punya kesempatan untuk memilikimu?"
"Mm, kurasa tidak."
"Febiana? Apa kamu tidak mau mempertimbangkannya lagi?"
"Sudah cukup, aku tadi malam tidak bisa tidur dan mempertimbangkan segalanya."
"Oh sial!" umpat Edward. "Kamu mau meninggalkanku, bahkan sebelum kita memulainya?"
"Kita tak pernah memulainya, jadi aku tidak pernah meninggalkanmu, Edward."
Sedihnya tiada terkira, meski sempat merasakan senang bukan main. Meski mengerti posisi Febiana saat ini, tetapi Edward masih urung untuk menyerah. Ia tampak lesu dan seolah pasrah, tetapi otaknya tengah bekerja. Edward mencari ide demi mempertahankan Febiana, sekaligus membuat wanita itu mempercayainya.
Sementara itu, Febiana terdengar menghela napas. Ia merasa tak nyaman dalam keadaan seperti itu, apalagi ketika Edward bertindak bagaikan korban. Semalam, ia merasa terlindungi dan lantas menyambut kehangatan yang di berikan oleh Edward. Namun tidak sekarang, pikiran sehatnya kembali. Mempercayai Edward bukan sesuatu yang bisa ia putuskan secara terburu-buru.
Namun, ketika Febiana hendak mengambil langkah untuk pergi, Edward menahannya lagi. Pria itu memeluknya dengan erat, sepertinya ide brilian telah muncul.
"Febiana, tak bisakah kamu menjadi pacarku? Meski tak berkenan menjadi istriku?" tanya Edward.
Febiana tercengang, tetapi langsung tergelak. "Pacar? Hahaha, itu sangat kekanak-kanakan, Mr. Sinclair!" tandasnya.
"Tidak, Nona! Dan lagi, kamu itu masih muda, rentang usia kita berbeda tujuh tahun dan aku lebih tua. Bagiku kamu hanya gadis kecil, tidak, tapi peri kecil yang aku cintai. Mm, tapi baiklah, jika kamu tidak berkenan menjadi pacarku, berarti kita bisa mengubahnya menjadi kekasih."
Febiana mendesah. "Ah, benar. Aku tidak mengerti mengapa aku bisa menyukai Pak tua sepertimu. Ironis, tapi ya, aku sudah terlanjur mengakuinya. Lalu, pacar dan kekasih itu sama saja!"
"Tidak sama!" tandas Edward. "Kekasih lebih dewasa—"
"Ah, sudahlah, Edward! Aku harus pulang."
"Tidak boleh!" Edward mengeratkan pelukannya di tubuh Febiana. "Jangan pulang."
"Oh sial! Tak bisa-kah kamu agak menjauhkan diri dariku? Kamu belum mandi dan sangat bau, aku juga menduga pasti kamu belum sempat menggosok gigi, 'kan?"
Mendengar keluhan Febiana, Edward langsung menjauhkan diri. Namun kendati begitu, tangannya masih enggan melepaskan cengkeraman di jemari Febiana. Kemudian, ia menggunakan satu tangannya untuk mengangkat baju. Alhasil setengah tubuhnya yang kekar terlihat oleh Febiana dan sukses membuat wanita itu takjub serta berdebar-debar.
"Tidak bau, maksudku tidak terlalu ...," ucap Edward malu-malu.
"Sama saja, tetap ada bau!" tandas Febiana sembari memalingkan wajahnya dengan cepat lantaran merasa terkejut, setelah ia terpaku pada perut berotot pria itu. "Lepaskan tanganku, Edward!"
"Kenapa harus? Jarak tubuh kita sudah jauh, jadi tidak masalah jika tangan kita masih bersatu."
"Edward! Aku mohon, jangan terus-terusan menahanku, semua usahamu tidak akan berhasil!"
"Hmm ...." Edward menegakkan tubuhnya. "Tidak bisa-kah kamu mempercayaiku? Aku serius, aku ingin menjadi kekasihmu. Aku akan melindungimu. Kita bisa bersatu mengalahkan mereka, kedua orang tua kita sendiri. Kita bisa mengambil alih perusahaan secara sepenuhnya, dengan cara kita. Akan kupastikan kamu tidak akan lagi menjadi CEO boneka."
Febiana sedikit terpengaruh. Ia nyaris mempercayai Edward, ketika mata biru pria itu memancarkan ketulusan. "Kamu ingin aku mengkhianati orang tuaku? Dan setelah aku mendapatkan Big Golden secara sah, aku harus membuang mereka?"
"Tidak, Nona," jawab Edward sembari menggelengkan kepala. "Tidak begitu. Kita hanya mencari keadilan saja, sudah saatnya kamu melakukan kudeta untuk dirimu sendiri. Kamu tidak lagi menjadi CEO yang ditunjuk, tetapi sekaligus menjadi pemilik sah. Aku akan membantumu, kita, aku juga akan melakukannya pada Ayah demi Sinclair Group. Dan jika takdir membawa kita ke sebuah pernikahan, aku tak akan mengganggu Big Golden. Tidak pula memaksa merger pada Big Golden. Tapi, aku mohon percayalah. Aku mencintaimu, Dear, aku ingin melindungimu."
Sesaat Febiana tertegun. Kepalanya tertunduk lagi, sementara matanya menatap tanah yang masih berembun. Setidaknya ucapan dan tekad Edward dapat mempengaruhinya. Ia ingin yakin pada pria yang ia sukai dan telah ia musuhi selama ini.
Namun, apakah Edward benar-benar bisa Febiana percayai? Di sisi keraguan itu, sejujurnya Febiana merasa haru dan terenyuh tentang bagaimana Edward terus saja menahannya agar tidak pergi.
Febiana menghela napas, kemudian mengangkat kepalanya dan mendongak menatap Edward yang lebih tinggi darinya. "Setidaknya, kamu harus mandi terlebih dahulu, Mr. Sinclair," ucapnya.
"Mm?" Edward tercengang.
"Idemu sangat brilian, kupikir kita bisa membahasnya lebih lama. Dan ... aku akan tinggal hari ini, tepati janjimu untuk mengurus semua keperluanku. Aku belum ganti baju sama sekali, selain yah ...." Febiana menggaruk tengkuknya. "Aku sempat pergi keluar sebentar, mencari pakaian khusus yang kuperlukan."
"Yaaaa! Tentu saja, Nona."
Edward bergerak cepat dengan antusias. Usahanya berhasil meski membutuhkan waktu nyaris setengah jam. Namun, ia juga bertekad bahwa ide itu bukan sebatas rayuan semata, tetapi ia akan melakukannya. Demi apa pun, ia memang sudah harus berjuang mengambil Sinclair Real Estate Group secara sah, dan ia juga akan membantu Febiana merampas Big Golden dari orang tua yang tampaknya kejam.
***