Chereads / Mr. Sinclair and Miss Arrogant / Chapter 24 - Sikap Aneh Edward Sinclair

Chapter 24 - Sikap Aneh Edward Sinclair

Dengan terpaksa, Febiana menuruti ajakan Edward untuk menghabiskan waktu yang seharusnya digunakan meeting. Mereka menyelinap melewati pintu lain agar Feline dan Rio tidak mengetahui kepergian keduanya. Bukan tanpa sebab, biasanya Feline akan mencegah keputusan Febiana, lantaran selain berbahaya, masih banyak jadwal yang perlu dilakukan.

Namun karena diancam akan diberikan kecupan panas lagi, akhirnya Febiana tidak bisa menolak. Dan ya, hari ini ia juga sangat malas berhadapan dengan kumpulan berkas, apalagi para petinggi yang menuntut macam-macam hal padanya sebagai seorang CEO. Rencana untuk mencari Kimmy pun menjadi batal, karena musuhnya itu sendiri.

Febiana tidak menampik jika saat ini ia sudah gila dan tentu saja bodoh. Namun, dayanya seolah sudah hilang meski sekadar untuk memberikan perlawanan. Yang ada ia justru menikmati asyiknya kabur dari dua sekretaris sekaligus pekerjaan.

"Masuk," titah Edward meminta Febiana tanpa bersedia membukakan pintu mobilnya pada wanita itu.

Febiana menghela napas sembari memutar kedua matanya. "Ya," jawabnya singkat kemudian berangsur menuruti titah sang Mr. Sinclair.

Sesaat setelah wanita itu masuk ke dalam mobilnya, Edward pun melakukan hal serupa. Ia duduk di sebelah Febiana yang sekaligus merupakan ruang kemudi. Dan tanpa menunggu lama-lama lagi, ia menyalakan mesin dan memutar setir, lalu melaju kendaraan itu untuk meninggalkan area parkir dari gedung restoran itu.

Hari ini sangat cerah, dengan kata lain udara terasa panas. Pendar mentari pun begitu terang. Namun, sepasang musuh bebuyutan itu terlihat sangat menikmati keadaan yang hangat tersebut.

"Kita mau ke mana? Tak bisa-kah kita berjalan-jalan dengan cara terpisah?" ucap Febiana bertanya sekaligus memberikan usulan.

Edward menatap wanita itu secara sekilas. "Tidak. Sudah aku katakan, aku ingin mengenalmu lebih jauh sebagai seorang partner bisnis," ucapnya.

"Aku rasa bukan itu, tapi ... sebagai jalan untuk mencari kelemahanku." Febiana tertawa kecil. "Tidak ada, Edward. Aku tidak memiliki kelemahan apa pun! Sejauh apa pun kamu mengenal diriku, yang kamu temukan hanyalah segala kelebihanku."

"Tapi, tentunya kamu hanya manusia biasa, Febiana. Secara kasat mata, kamu memang sempurna. Di sisi lain, tak ada manusia yang sempurna. Meski dugaanmu tentang niatku salah, aku tetap harus mengingatkanmu tentang hal itu."

Febiana terdiam dan berangsur melipat kedua tangannya. Setidaknya, ucapan Edward memang mengandung sedikit kebenaran. Sebesar apa pun usahanya dalam menutupi kelemahan, ia yang sebagai seorang manusia tetap tidak sempurna. Meski pintar dan cenderung jenius, ia hanyalah orang yang menyimpan banyak luka. Latar belakang hidupnya sangat kelam, meski terlihat bahagia karena terlahir di keluarga yang kaya.

Nyatanya, meski kekuasaan Big Golden sudah berada di tangannya, Febiana justru merasa bahwa hal itu menjadi sebuah tekanan besar dan tentu saja menyakitkan. Belum lagi segala keangkuhannya selama ini, membuat musuh bermunculan satu per satu. Satu musuh terbesarnya justru semakin mengetahui titik buruk pada dirinya.

Febiana mendesah pasrah, membuat Edward lantas merasa heran. Namun pria itu hanya membiarkannya, daripada ikut campur pada masalah yang mungkin sedang ia pendam.

"Kenapa kamu sangat membenciku, Febiana?" tanya Edward pada hal lain yang selama ini sudah ia pikirkan dan belum pernah mendapatkan jawaban. Mobil yang ia laju pun berangsur diperlambat kecepatannya. "Kalau alasannya karena bisnis, aku rasa kamu bisa menyerang perusahaan lain."

"Bisnis, hanya karena itu saja kok. Kamu pemilik perusahaan nomor satu dan di bidang yang sama, kalau aku mengikuti keinginanmu, sudah pasti aku akan sukses seperti dirimu," ungkap Febiana.

Edward menghela napas. "Benar-benar karena hal itu?"

"Iya. Lagi pula, aku baru mengenalmu, jadi tidak ada dendam apa pun selain bisnis. Dan ... kamu adalah monster dingin yang bisa menghancurkan perusahaan penentang, hal itu justru membuatku tertantang." Febiana menatap Edward. "Sekarang giliranku yang bertanya padamu, Edward. Kenapa ... kenapa kamu selalu menjatuhkan pengusaha lain dengan cara kotor? Padahal, ketika aku menyerangmu dengan cara licik, kamu sudah kebakaran jenggot. Marah-marah, melabrak, lalu membalasku!"

"Soal itu, pasti alasannya sama, karena bisnis. Bisnis itu sulit dan terkadang menyeramkan. Kalau tidak mau memakan, maka kita yang akan dimakan. Hal semacam ini bukan masalah asing di dunia persaingan. Bahkan, ada yang melakukan teror mistis ataupun melalui ancaman. Dan ... salah satunya menciptakan rumor palsu seperti dirimu."

Febiana tidak menjawab, tetapi juga tidak tersinggung. Kedua matanya yang bulat hanya menatap jalan berbelok yang Edward lewati bersama kendaraan itu. Kawasan yang mereka masuki menampakkan banyak pepohonan rindang di sekitar pinggir jalan. Hawa panas berubah menjadi lebih sejuk, sehingga Edward menaikkan lagi suhu alat pendingin di dalam mobilnya.

Sejenak, Febiana tertegun melihat takjub tempat itu. Ia bertanya-tanya dalam diamnya; kemana-kah Edward akan membawaku? Mengapa memasuki kawasan asri dan sejuk seperti ini? Namun, meski heran, Febiana terlalu enggan melontarkan kalimat yang sama untuk kedua kalinya.

"Rumah kaca," celetuk Edward yang seolah dapat mendengar apa isi hati Febiana. Kemudian, ia menatap sekilas pada wanita itu. "Aku ingin mencari ketenangan saja, toh, sudah terlanjur membolos. Dan lagi, setidaknya ada satu waktu agar permusuhan kita sedikit mereda. Meski, aku tahu esok hari nanti entah kamu atau diriku kembali melemparkan serangan."

Febiana menelan saliva. "Aku harap kamu tidak berniat melakukan hal buruk lagi, semacam pelecehan yang terjadi di hotel milik perusahaanku sendiri."

"Sudah kukatakan, aku tidak berminat pada dirimu, Nona," jawab Edward sembari tersenyum dingin.

"Ya, beruntungnya karena aku adalah Febiana. Mungkin jika aku adalah wanita itu, kamu tidak akan segan dalam memberikan sentuhan menyebalkan."

Dahi Edward mengernyit. "Wanita itu?"

"Wanita yang berada di pigura besar yang terpasang di dinding tempat tinggalmu."

"Kimmy ...."

"Mm? Kimmy?"

Edward mengabaikan pertanyaan Febiana. Ia mempercepat laju mobilnya. Sekitar tujuh menit berikutnya, ia membelokkan kendaraan itu pada sebuah rumah berlantai satu yang terbuat dari kayu. Ia memarkir mobilnya di sudut halaman dari tempat itu.

Kedatangan mereka disambut oleh seorang pria paruh baya yang memegang sapu. Ia adalah Dirman, penjaga rumah itu dan rumah kaca di halaman belakang.

"Selamat pagi menjelang siang, Mr. Sinclair muda. Sudah lama sekali tidak datang berkunjung, Tuab?" ucap Dirman sembari merundukkan badannya tepat di hadapan Edward.

"Mm," jawab Edward. "Tidak ada yang datang, 'kan, selama aku tak berkunjung selama empat bulan?"

Dirman menggeleng pelan. "Tidak ada, Tuan Edward," jawabnya dengan mengubah sebutan pada sang tuan. "Tempat ini masih menjadi tempat rahasia milik Tuan, dan ...." Ia memandang sosok wanita cantik di belakang Edward. "Kekasih Anda, Tuan."

"Bukan!" sanggah Edward dan Febiana secara bersamaan. Mereka saling memandang nanar, kemudian berseru lagi, "Yang benar saja!"

"Aaahaha, kompak sekali," goda Dirman dan segera berlalu sebelum mendapatkan omelan dari Tuan Batu—sebutannya untuk Edward ketika pria itu sedang tidak ada.

Dirman menghampiri daun pintu dan membukakannya untuk Edward dan Febiana. Edward segera menarik lengan Febiana dan membawanya masuk ke dalam rumah yang akan terhubung pada taman indah di halaman belakang.

"Lepaskan aku!" tegas Febiana sembari mengibaskan tangan Edward dari lengannya sampai terlepas. "Apa kamu lupa hubungan kita? Dan apa ini? Jika tempat ini merupakan aset rahasiamu, kenapa justru membawa musuhmu ke sini? Apa kamu tidak khawatir aku memanfaatnya untuk memberikan serangan baru?"

"Aku juga tidak tahu," jawab Edward.

Dahi Febiana mengernyit. "Tidak tahu? Apa maksudmu, Edward? Kamu mau menjebakku lagi? Tempat ini sangat sepi dan tentu saja akan membuatmu semakin berani untuk berbuat sesuatu."

"Sudah aku katakan aku tidak tahu! Ide membawamu pergi, lalu ke tempat ini, semuanya muncul secara dadakan di otakku, Febiana. Ya, meski ada kemungkinan kamu akan memanfaatkannya, terserah! Niatku baik, aku ingin memiliki satu waktu denganmu tanpa adanya permusuhan dan mungkin karena kita akan mengerjakan proyek yang sama. Dan lagi, jika aku berniat melakukan hal buruk padamu, sejak malam itu ketika kamu sedang mabuk berat, sudah pasti aku akan melakukannya."

Febiana mengerjabkan matanya. "Sikapmu saat itu dan saat ini sangat aneh, Edward. Membuatku curiga dan perlu hati-hati."

"Terserah! Tapi, setidaknya nikmati dulu udara segar di tempat ini. Ada banyak bunga cantik di rumah kaca itu, dan aku rasa kamu sangat membutuhkan suasana senyap untuk menenangkan diri. Jadi, ikuti aku dan berhati-hatilah jika memang perlu."

Edward berlalu setelah mengatakan hal itu. Ia berjalan tegas dan mengabaikan Febiana. Karena sudah terlanjur ikut sejak awal, Febiana tidak punya pilihan. Meski waswas dan takut, kakinya tetap terayun mengikuti arah perjalanan Edward.

***