Memang benar, rumah kaca itu begitu indah. Mungkin sedang pada berada di masa-masa mekar, bunga-bunga menyambut riang kedatangan Edward dan Febiana. Sejak empat bulan yang lalu, Edward tidak pernah datang berkunjung karena kesibukannya sebagai seorang CEO. Sehingga, tempat asri dan rahasia itu hanya dijaga oleh Dirman yang tak pernah lupa ia beri gaji.
Rumah bergaya klasik itu dibeli oleh Edward sejak tujuh tahun yang lalu, kemudian ia membangun rumah kaca di halaman belakang yang luas. Sebelumnya, Edward berencana akan menghadiahkannya pada Kimmy. Namun sebelum selesai dalam pembangunannya, Kimmy justru memutuskan untuk menikah dengan pria lain.
Dan sebab itu pula, rumah kayu beserta taman indah di belakang menjadi tempat rahasia yang milik Edward. Ia datang ke sana ketika sedang dirundung gelisah, merindukan Kimmy, dan merasa lelah dengan adanya persaingan di dalam keluarganya.
"Nikmati saja suasana, abaikan aku jika perlu," ucap Edward. Namun ia tidak kunjung mendapatkan jawaban dari Febiana, yang biasanya kerap menyahut cepat dan ketus. Hal itu membuat Edward merasa heran dan lantas memastikan keadaan wanita itu.
Ketika Edward menoleh, bibir sensual Febiana tampak menganga, begitu pun dengan mata bulatnya yang terbuka lebar dan memancar takjub. Febiana. Wanita itu cantik sekali jika berlaku layaknya gadis biasa. Semua arogansi dan keras kepalanya seolah hilang dikarenakan pesona dirinya yang luar biasa.
Dan detik di mana mata Edward bergerak turun dan terpaku pada bibir Febiana yang sudah tersenyum manis, degup jantung Edward mendadak meningkat lebih cepat. Benaknya langsung teringat insiden kecupan panas yang ia berikan pada Febiana dengan dalih 'menjebak'. Namun ... kali ini ingatan itu justru terasa menghangatkan sekujur tubuhnya. Lembutnya bibir Febiana seolah kembali terasa di lidahnya.
Edward mengguncang kepalanya, napasnya terengah-engah karena perasaan aneh dan asing tersebut. Ia segera mengalihkan pandang sekaligus membelakangi Febiana. Sementara wanita ayu yang saat ini berubah seperti kucing lucu, lantas mengerutkan dahinya. Ingin bertanya mengapa napas Edward mendadak tersenggal-senggal, tetapi ia urungkan, lantaran takut dianggap lancang.
Febiana menghela napas, kemudian berangsur melipat kedua tangannya ke depan. Ia membangunkan sifat keras dan angkuhnya kembali. Kakinya terayun sangat pelan menghampiri setiap tanaman yang menyambut riang.
"Ya, boleh juga," ucap Febiana diiringi suara decap. Ia terkesan meremehkan, tetapi jauh di lubuk hatinya, ia merasa takjub. Apalagi ketika ia tinggal di apartemen glamor, rumah ayahnya pun bergaya Eropa. Tidak ada rumah kaca yang menyajikan banyak tanaman, mungkin hanya ornamen atau taman kecil saja.
Edward berdeham, menghela napas, serta mengumpulkan ceceran rasa tenang yang sempat berhamburan. Detik berikutnya, ia memutar badannya dan segera menatap wanita itu. "Aku rasa, kamu sangat menyukai tempat ini, Nona," ucapnya.
"Tidak terlalu, mm ... sekitar 7% saja." Febiana berbohong.
Edward berdecap tak percaya. "Itu tidak mungkin." Matanya menatap nanar. "Bahkan, baru memasuki pintu tempat ini saja, mulutmu sudah mengaga seperti kudanil betina yang minta makan. Lebar sekali!"
"A-apa?! I-itu tidak mungkin!" tandas Febiana, sekujur wajahnya memerah detik itu juga. "Jangan mengada-ada, hanya untuk merendahkanku, Edward!"
"Sayang sekali," jawab Edward dengan senyum sinis. "Yang aku katakan adalah sebuah fakta. Dan aku rasa, kamu memang menyukai tempat ini. Ah ... lain kali kalau ingin datang, silakan. Dengan syarat jangan membawa siapa pun. Tempat ini sangat rahasia, orang yang lewat pun akan mengira jika tempat ini hanya rumah kayu biasa. Jadi, aturan yang kukatakan wajib kamu taati."
"Ah, ya, baik! Aku akui, aku menyukainya. Aku takjub. Tapi, yah, sudahlah! Tak perlu mengungkit hal yang membuatku malu, bukan? Dan lagi, aku tidak berniat datang kemari. Saat inipun, aku melakukannya lantaran kamu yang memaksa."
Edward mengabaikan sanggahan Febiana, ia justru bergerak menuju sebuah kursi panjang yang terhias pernak-pernik bunga palsu. Kursi itu berwarna putih, lalu di sisinya terdapat lampu taman yang bulat dan tertopang tiang sama tingginya dengan tubuh Edward. Ia duduk di sana sembari melipat kedua kaki, sehingga menjadi saling bertumpuk satu sama lain. Sesaat setelah itu, ia melambaikan tangan agar Febiana bergabung dengannya.
Dan tentu saja, Febiana menolak dengan tegas. Namun, ... tak lama setelah itu, ia justru mempertimbangkannya. Sepatu hak tinggi yang ia kenakan berangsur membuat tumit dan betis terasa pegal.
"Jangan gengsi, nanti bisa-bisa kamu mati berdiri," sindir Edward.
"Gengsi? Aku? Tidak mungkin!" tandas Febiana.
Edward mengembuskan napasnya. Ia menggeleng-gelengkan kepala lantaran tidak habis pikir dengan kerasnya hati Febiana. Ia yang memiliki sifat keras dan acuh saja tak separah wanita itu. Yang lebih mengherankan lagi, Febiana adalah seorang wanita, bukan pria seperti dirinya.
"Sudah kukatakan, lupakan soal permusuhan kita hari ini saja. Nikmati acara bolos ini dan bergabung dengan saya, Nona. Kamu mau kaki jenjang yang indah itu patah, hanya karena gengsi besarmu?" ucap Edward sedikit kasar.
Febiana mendesah. Ia tidak menjawab, tetapi menuruti ucapan Edward meski sangat terpaksa. Lantaran ia juga tidak mungkin duduk di tanah yang akan membuat pakaiannya kotor.
Dengan gerak ragu dan terkesan mau tidak mau, Febiana hendak mengambil sikap duduk di samping pria itu. Sementara Edward yang tidak sabar melihat sikap Febiana, sontak saja menarik tangan Febiana tanpa merasa sungkan sedikit pun. Alhasil, suara pekik terdengar dari bibir Febiana karena selain terkejut, ia merasakan nyeri di tubuh belakang yang terbentur kursi itu.
"Apa kamu gila?!" tanya Febiana marah.
Edward tergelak meremehkan. "Aku tidak sengaja," jawabnya santai.
Febiana mendengkus kesal. "Aku sangat membencimu, Edward."
"Hmm ... katanya hanya beralasan bisnis. Bukankah saat ini kita sedang tidak berada di dalam keadaan berbisnis? Jujur, aku memang tidak menyukaimu dan sangat dianjurkan untuk membencimu, sekaligus menyingkirkanmu, Febiana."
"Ya, hubungan kita memang seperti itu. Tak perlu dijelaskan pun, aku sudah tahu perasaanmu padaku."
"Tidak!" tandas Edward. Ia menghela napas dan berteriak. "Tidak seperti itu!"
Mata Febiana memicing. "Tidak seperti itu apanya?"
"Aku tidak bisa membencimu. Entah. Aku merasa kesal, tapi aku justru membantumu dan membawamu ke tempat tinggalku. Dan sekarang, aku membawamu ke tempat rahasia ini. Aku gila, bukan? Bahkan, ketika kamu bertanya kenapa aku berlaku demikian, aku masih tak mendapatkan jawabannya, Febiana!"
Mata Febiana bergetar, hatinya pun berangsur bimbang, belum lagi rasa kelu mendadak menyerang lidahnya, tepat setelah ia mendengarkan ucapan Edward. Benar. Seharusnya, mereka saling membenci dan menyingkirkan lagi. Lalu, rencana Febiana untuk mencari Kimmy dan menemukan kelemahan Edward dari wanita itu seharusnya dilakukan saat ini. Namun, ia justru mengikuti Edward ke tempat rahasia.
Dan jika dipikir-pikir lagi, sejak insiden kecupan panas itu, Febiana mulai merasa berbeda. Ia yang saat itu nyaris hanyut dalam dekapan hangat dari Edward. Hatinya yang setiap kali mengatakan terima kasih pada Edward, lantaran telah membawanya ke apartemen pria itu. Lalu, sekarang? Ia yang seharusnya bekerja atau mencari Kimmy, dan bisa segera kabur, justru bertahan serta duduk di sebelah Edward.
Apa yang terjadi pada diriku? Pertanyaan itu kompak muncul di benak dan hati mereka berdua.
***