Suara tapak kaki tiba-tiba terdengar di telinga Febiana. Ia yang sejak tadi asyik dalam lamunan, langsung terperanjat dan berdiri ketika mendapati sang pemilik rumah ada di hadapannya. Ia menelan saliva dan terpaku menatap wajah berekspresi datar milik Edward Sinclair.
"Sepertinya kita memiliki ikatan spesial, Febiana. Bukan kali pertama aku bertemu denganmu yang dalam keadaan tidak baik," ucap Edward sembari melipat kedua tangannya ke depan dada.
Febiana menghela napas. "Maafkan aku," ucapnya cukup ragu. "Aku tak bermaksud datang ke tempat rahasiamu. Dan perlu digarisbawahi, bahwa kondisiku dalam keadaan baik, bukan tidak baik."
Febiana bergegas mengayunkan langkah kakinya untuk segera pergi dari tempat itu. Ia menyesal lantaran sudah datang, apalagi sampai termenung dalam waktu cukup lama, padahal banyak tempat lain yang lebih aman. Namun, entah mengapa yang ada di pikirannya beberapa saat yang lalu adalah tempat itu. Dan kini, sang pemilik yang merupakan musuhnya sendiri justru datang tanpa ia duga, sekaligus membuatnya terkejut dan sangat malu.
"Tinggallah lebih lama," ucap Edward sembari menahan lengan Febiana ketika wanita itu melewatinya. "Aku akan menemanimu. Kamu tampak buruk saat ini."
Febiana tersenyum kecut dan berangsur menatap Edward. "Aku baik-baik saja, Edward! Terima kasih atas saranmu, tapi tidak. Aku tidak berkenan mengganggu privasimu terlalu lama," ucapnya.
Namun ucapan Febiana yang bernada ketus itu sama sekali tidak memberikan pengaruh negatif terhadap Edward. Dan pria berparas Eropa tersebut justru menarik paksa diri Febiana. Rontaan Febiana ia abaikan, tanpa memberikan sedikit pun kesempatan. Sesaat setelah sampai di kursi panjang, Edward mendudukkan tubuh Febiana.
"Apa yang sedang kamu lakukan, Edward?!" omel Febiana marah dan heran.
Edward meluruhkan badannya, sampai ia berjongkok di hadapan Febiana tanpa peduli celananya bisa kotor. "Jangan selalu berusaha kuat di saat kamu sangat lemah, Nona," ucapnya. "Aku bisa menjadi temanmu untuk saat ini."
Febiana terkekeh. "Kamu? Jadi temanku? Apa kamu lupa bahwa kita—"
"Aku tidak lupa," sahut Edward. "Tapi, kita bermusuhan dalam hal berbisnis saja. Bukan hari biasa dan libur seperti ini."
"Ya! Tapi, meski begitu bukan berarti aku bisa melupakan rasa benciku terhadapmu, Edward. Dan lagi, aku tak bisa mempercayai musuhku sendiri. Rumor mengenai dirimu yang kejam demi sebuah perusahaan, sepertinya bisa menjadi bahan pertimbanganku."
"Aku memang kejam, Nona. Tapi, aku tak pernah menusuk orang dari belakang. Aku melibas semua musuh secara terang-terangan dan tidak bersikap seperti seorang pengecut!"
"Oh ya? Kedengarannya kamu sedang memberikan sindiran padaku. Aku merusak namamu dan bersikap pengecut, lalu kamu menjebakku dengan ci—"
"Sudahlah!" sahut Edward. "Jangan membahas yang tidak perlu."
Febiana terkesiap, hingga salah satu alisnya sampai terangkat. "Tidak perlu? Beberapa orang masih mengira kita berpacaran, kamu tahu? Dan itu sangat menggangguku, Mr. Sinclair!"
Edward mendengkus kesal lantaran menghadapi sikap Febiana yang teramat keras. Bahkan, ketika ia rela bersimpuh di hadapan wanita itu untuk menghibur, tetap saja usahanya sia-sia. Rasa heran mengenai penjelasan tentang bagaimana Febiana bisa membencinya sebanyak itupun masih belum terungkap.
Edward menghela napas, kemudian bangkit dari posisinya. Ia menghela napas dan mengedarkan pandang ke segala penjuru tempat itu. Hari ini pun, bunga tampak tersenyum seolah memberikan sapaan untuknya. Rasa gusar Edward berhasil hilang karena macam-macam tanaman itu.
"Maafkan aku, Edward, tak seharusnya aku singgah ke tempat ini," celetuk Febiana yang tiba-tiba merasa bersalah. Dan setidaknya ada sedikit rasa haru atas pengaruh yang diberikan oleh Edward mengenai sikap pria itu beberapa menit yang lalu. "Aku berjanji setelah ini, aku tak akan datang lagi. Aku harus pulang—"
"Kenapa sampai tak akan datang lagi?" potong Edward. Detik berikutnya, ia duduk di samping Febiana. "Aku telah mengizinkanmu datang kapan saja. Tak perlu berjanji, lagi pula aku tak membutuhkan janji itu."
Febiana tersenyum dan menatap manik biru pria di sampingnya itu. "Apa kamu sedang merencanakan sesuatu untuk melibasku?"
"Sudah kukatakan aku bisa menyerangmu secara terang-terangan, aku tidak pernah berbuat seperti pecundang. Baik, kuakui aku sempat menjebak dirimu untuk meredupkan rumor yang kamu buat, yah, saat itu adalah pertama kalinya aku menghadapi pesaing bisnis yang sangat keras kepala. Semua pengusaha yang sempat menghalangi jalanku cukup mudah untuk ditangani."
Edward mengambil jeda bicara dengan menghirup udara sebanyak-banyaknya. "Sementara kamu, selain sulit diatasi, kamu berani mencuri dan memanfaatkan kekuranganku. Sebenarnya, wanita macam apa dirimu, Febiana? Aku sama sekali tak mengerti."
Febiana terdiam, ia tengah menyimak penjelasan dari Edward yang sekaligus mengamati wajah serius pria itu. Tak berselang lama, otaknya justru terfokus pada beberapa hal yang selama satu bulan ini sangat mengganggunya. Ia merasakan desiran aneh lagi, dan ... detak jantungnya terpacu cepat saat matanya turun mendapati lengkung bibir pria itu.
"Aku pernah bertemu seseorang yang angkuh dan ambisius, tapi dia bisa menempatkan sifat itu di situasi yang tepat. Sementara kamu, oh! Sungguh, dalam situasi apa pun sepertinya kamu sangat sombong, Febiana. Seolah kamu bisa hidup di dunia ini seorang diri," ucap Edward sarkastik.
Febiana tersentak. "Ya, itulah diriku," jawabnya sembari tertunduk malu.
"Well, tapi aku yang seharusnya membencimu, justru sangat penasaran tentang dirimu. Tak bisakah kamu menjadi temanku, di luar persaingan perusahaan kita?"
"Tidak bisa!" sahut Febiana cepat. "Sudah kukatakan jika aku tak bisa mempercayai musuh sendiri! Aku ... benar-benar membencimu!"
Febiana memasang ekspresi tegas. Namun jauh di dalam hatinya, ia berkata hal sebaliknya. Kebencian yang ia berikan pada Edward sudah berubah menjadi perasaan lain, tetapi ia bersikeras untuk segera menghapus dan tidak mau menganggap jika perasaan itu adalah sesuatu yang bisa dikatakan sebagai sebuah kemustahilan.
Sementara Edward menjadi terdiam. Denyut jantungnya terasa lebih lambat dan dadanya mendadak sesak. Ucapan Febiana mengingatkannya pada rasa sakit ketika mendengar penolakan tegas dari Kimmy. Ia terluka dan entah bagaimana hal itu bisa terjadi di saat ini.
Dalam beberapa saat, Edward termenung. Ia memilah semua rasa yang bergulat di dalam hatinya itu. Satu per satu ia cermati. Seharusnya ia baik-baik saja ketika Febiana memberikan ketegasan mengenai rasa benci padanya, tetapi ia justru menjadi tidak baik-baik saja. Febiana membangkitkan gairah yang sempat menghilang. Gelora asmara yang selama tujuh tahun terpendam, kini kembali menyeruak dan itu sangat menyiksa.
Mata Edward berkedip beberapa kali dalam durasi yang cepat. Rahangnya menganga ketika menyadari suatu hal yang terasa sangat berbeda, sekaligus tak asing. Bayangan wanita berwajah samar di mimpinya kembali muncul di ingatan.
"Febiana?" ucap Edward sembari meraih kedua jemari Febiana.
"A-apa yang—" Ucapan Febiana terpotong dan lagi-lagi Edward tak memberinya kesempatan untuk menangkis.
"Coba beri aku sedikit senyuman, Febiana."
Febiana mengernyitkan dahinya. "Apa yang sedang kamu lakukan? Senyum? Bukankah aku sudah menegaskan jika aku—"
"Aku menyukaimu."
"Haaa?!" Betapa terkejutnya hati Febiana mendengar pernyataan tak terduga dari musuhnya itu. "Edward, kamu sedang apa sih?!"
"Sepertinya, aku mulai menyukaimu. Dalam satu bulan ini rasanya tersiksa. Aku terus memimpikanmu. Ya, aku yakin wanita itu adalah kamu. Hatiku terasa sakit ketika kamu menegaskan bahwa kamu membenciku, aku ... sepertinya memang mulai menyukaimu, Febiana."
Febiana tergelak, merasa pengakuan Edward sangat menggelikan. Bagaimana bisa? Dan lagi, ketika masih meragukan atas perasaannya sendiri, Edward justru meyakini. Sehingga, Febiana tak lantas percaya, apa lagi sampai luluh pada pria itu.
"Beberapa menit yang lalu, kamu ingin menjadi temanku. Dan saat ini, kamu mengatakan sesuatu yang konyol seperti itu? Ayolah, Edward! Jangan bersikap semakin aneh seperti ini. Dan lagi, kamu kurang cocok mengungkapkan perasaan dengan kata kiasan di saat dirimu memiliki julukan sebagai monster dingin!"
Edward terdiam dan tangannya berangsur melepaskan jemari Febiana. Ia termenung kembali dan tenggelam dalam tundukan. Ia yakin bahwa apa yang menyerang hatinya selama ini berkaitan dengan perasaan menyukai. Bukan karena ia merindukan diri Kimmy yang memiliki kemiripan dengan Febiana, atau Febiana yang mengingatkannya pada Kimmy.
Perasaan aneh itu, denyut menyiksa, serta wanita berwajah samar dalam mimpi Edward bukan dari Kimmy, melainkan Febiana. Edward sangat yakin, meski titik ragu juga masih ada. Dan setiap kali melirik Febiana, jantungnya semakin terpacu cepat.
Apa dia serius? Kenapa tiba-tiba diam dan menciptakan kecanggungan? Batin Febiana mempertanyakan sikap Edward barusan. Namun, meskipun ia sendiri terus disiksa perasaan aneh, mempercayai Edward di saat masih terjebak dalam lingkaran permusuhan bukanlah sesuatu yang tepat. Febiana takut serta khawatir jika Edward sedang menjebaknya. Terlebih, jika pria itu sudah tahu perihal perjodohan atau mungkin justru sebagai dalang yang merencanakan.
Ibu tidak pernah menyebut perihal perjodohan, meski memintaku mendekati Edward. Lantas, apakah Edward yang merencanakan semuanya? Apa dia masih ingin membalas dendam atas segala seranganku? Apa dia ingin mengambil kembali lahan dan perjanjian serta menyingkirkanku dari kesepakatan bersama Mr. Hector, lalu membuat kesepakatan baru atas nama Sinclair Real Estate bukan nama pribadinya? Segala macam pertanyaan datang di benak Febiana dan membuatnya tak lantas percaya atas pernyataan suka dari Edward, melainkan menjatuhkan rasa curiga.
***