Chereads / Mr. Sinclair and Miss Arrogant / Chapter 26 - Lingkaran Permusuhan dan Suatu Perasaan

Chapter 26 - Lingkaran Permusuhan dan Suatu Perasaan

Febiana terkejut saat mendapati dirinya terbaring di atas ranjang kayu, tetapi memiliki kasur empuk itu. Seingatnya, ia tengah duduk di samping Edward dan memikirkan apa yang terjadi pada hatinya sendiri. Namun, entah sejak kapan, ia sudah berpindah posisi dan justru tidur di kamar bergaya klasik minimalis itu.

Febiana menyingkap selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Ia bergerak dan menurunkan kedua kakinya dari ranjang itu, sampai menyentuh lantai putih biasa yang tidak terlalu besar. Kering di tenggorokan terasa seolah menyiksa, apalagi suasana semakin panas saja. Sepertinya alat pendingin sedang tidak dinyalakan. Peluh pun bercucuran membasahi wajah wanita cantik itu.

Ketika ia mulai menggerakkan matanya ke tempat lain, karena mendengar suara dengkur, Febiana mendapati Edward Sinclair terbaring di atas kursi panjang tanpa bantalan yang terbuat dari kayu. Dihelanya napas dalam-dalam, sembari memandang wajah Edward.

"Dia? Apa kata-kataku diingat sampai sekarang? Kali ini aku yang tidur di ranjang, dan dia di atas kursi. Tapi, ... apakah tidak sakit tidur di tempat sekeras itu?" gumam Febiana bertanya-tanya sekaligus merasa haru karena saat ini Edward rela memberikan tempat nyaman untuknya. Tidak seperti malam di mana ia mabuk berat, Edward justru meletakkan tubuhnya di atas sofa.

Febiana menghela napas, seiring turunnya arah pandangnya. Rasa bingung masih mencengkeram hatinya, memikirkan segala keanehan yang ada pada musuhnya sendiri. Sampai saat ini, belum ada jawaban yang tepat untuk mengartikan segala sikap baik Edward. Entah malam itu, pagi harinya, bahkan saat ini. Dan secara tidak langsung, Edward sudah memberi tahu dirinya tentang tempat tinggal pribadi, dan tempat rahasia itu.

"Kenapa dia sebaik itu padaku? Seharusnya, dia meninggalkanku di bar, atau membuntutiku ketika pria hidung belang itu memang berencana membawaku. Jika aku jadi Edward, aku akan memanfaatkannya. Aku akan memotret diam-diam dan menyerahkan hasilnya pada wartawan. Lalu, ya, tidak mungkin aku memberikan pertolongan," ucap Febiana dengan pikiran berputar-putar.

Ia mendengkus, kemudian berkata lagi, "Tapi, dia? Dia tidak melakukannya, bahkan ketika aku memanfaatkan fobianya, dia tidak membalas lebih jahat. Dia hanya menciumku, memotret, lalu diberikan pada wartawan. Maksudku, dia tidak peduli jika serangan itu harus melibatkan namanya sendiri. Dan aku? Jika aku, aku tidak akan bersedia mengorbankan kecupan manis untuk musuhnya sendiri."

Bersamaan dengan perkataan yang ia lontarkan itu, benak Febiana bernostalgia. Ia mengingat kembali tentang bagaimana Edward menyeretnya untuk masuk ke dalam kamar hotel yang sudah dipesan. Ketika pria itu menjatuhkan kecupan hangat pada bibirnya dan ia nyaris hanyut dalam suasana, sampai ia tersadar ketika Edward hendak melakukan hal di luar batas kewajaran.

Napas Febiana terengah dan tubuhnya berangsur panas. Desiran aneh mempercepat aliran darahnya. Untuk berkedip normal pun tidak bisa, matanya begitu cepat dalam mengerjab. Sementara kedua tangannya bergerak-gerak karena gelisah. Peluhnya semakin mengucur deras dan sialnya ... Febiana ingin merasakannya lagi.

Dekapan hangat Edward, kecupan yang memabukkan, serta perlindungan pria itu. Febiana merasakan keinginan gila yang tiba-tiba muncul di dalam dirinya. Terlebih ketika matanya menatap wajah tidur Edward yang begitu damai. Pria yang lebih tua tujuh tahun darinya itu terlihat sangat gagah dan luar biasa. Bahkan, ia mampu membuat dada Febiana merasa sesak dan sulit menghela napas bebas.

"Uh!" Febiana mengusap wajahnya dengan tekanan penuh, tetapi cukup lambat. Ia menggelengkan kepalanya dan tidak mau dikendalikan oleh perasaan aneh itu. Ia harus kembali menjadi dirinya sendiri yang tegas dan angkuh, ketimbang lemah seperti kucing meminta makan.

Tepat ketika Febiana berdiri dari duduknya, Edward mengeliat. Tubuhnya yang kekar berotot itu bergerak-gerak. Badannya sedikit melengkung, sementara kedua tangannya terangkat ke atas. Tak berselang lama, mata Edward mulai terbuka. Netra birunya pun terlihat memancar.

"Mm?" Melihat Febiana yang terpaku, Edward lantas membangunkan dirinya. Ia mengusap wajahnya, kemudian berkata, "Kamu sudah bangun?"

"Sudah. Kenapa aku bisa ada di sini? Aku tidak menginginkan hal ini," jawab Febiana dingin.

"Kamu ketiduran setelah lama terdiam. Aku menduga, jika tadi malam kamu bergadang." Edward menghela napas, lalu bangkit menghampiri wanita itu. "Sudah jam satu siang, mau kembali ke kantor?"

"Te-tentu saja."

"Kenapa gelagapan?"

"Tiiidak!"

"Makan siang dulu, baru kembali. Sepertinya kedua sekretarismu mencarimu, sejak tadi ponselmu terdengar bergetar. Tapi, aku tidak berani menyentuhnya." Edward menunjuk tas jinjing di atas nakas. "Ambil dan pastikan tidak ada yang hilang, atau perubahan posisi barangmu, agar kamu yakin jika aku tidak menyentuh apa pun. Setelah itu keluar dari kamar ini, Pak Dirman dan istrinya sepertinya sudah menyiapkan makan siang."

Edward memutar badannya dan hendak pergi terlebih dahulu. Namun, Febiana justru mencengkeram lengannya dan memaksanya membatalkan rencana itu.

"Kenapa kamu ada di sini? Maksudku, bukankah banyak kamar lain?" tanya Febiana memastikan.

Edward kembali menghela napas. "Ada dua saja. Rumah ini juga tidak terlalu besar. Satu kamar kadang kala dihuni oleh Pak Dirman. Tak etis jika aku tidur di ruang tamu, karena istri beliau sempat datang untuk memasak. Tenang saja, aku tidak berbuat macam-macam, lagi pula tak ada motif apa pun untuk melakulannya, berbeda seperti beberapa waktu yang lalu. Dan lagi, aku sama sepertimu, aku sangat mengantuk karena semalaman tidak tidur."

"Well, te ... te-terima kasih ...."

"Apa?!" Edward meninggikan salah satu alisnya.

"Well, aku memang perlu berhati-hati!" jawab Febiana dengan jawaban yang sengaja ia ubah.

Edward tersenyum tipis. "Aku rasa kamu tak mengatakan kalimat itu, tapi—"

"Sudahlah! Lupakan dan jangan dibahas lagi!"

Melihat wanita itu salah tingkah dengan wajah yang berona merah, perasaan aneh kembali timbul di hati Edward. Sebuah rasa yang ia pikir sudah mati sejak Kimmy memutuskan menikahi pria lain. Seperti desiran takjub dan terpesona. Ya, ketika Febiana bersikap seperti kucing lucu, desiran itu muncul di hatinya. Mendamaikan, tetapi juga sangat membingungkan. Ia hanya bisa berdecap dan tertawa dalam hati, karena tak mungkin jika rasa itu adalah ketakjuban, apalagi cinta.

Lagi pula, Edward dan Febiana masih berada di dalam lingkaran permusuhan. Belum lama ini mereka saling menyerang. Dan tak mungkin hanya karena kebersamaan satu malam di bawah atap yang sama, hubungan buruk itu langsung hilang. Mungkin, lantaran Febiana memiliki banyak kemiripan atas diri Kimmy, sehingga Edward merasa rindu saja, dan ia hanya mampu melampiaskan perasaan itu pada Febiana.

Ya, benar, mungkin karena aku terlalu merindukan Kimmy, setelah Febiana datang dan mengorek perasaan lamaku dengan kemiripannya, pikir Edward. Ia menghela napas dalam dan bergerak memutar badan. Ia meninggalkan Febiana yang masih sibuk bersolek, atau memperbaiki make-up yang rusak.

Keduanya kembali bersama di ruang makan yang masih bergaya klasik. Kebersamaan untuk bersantap siang itu menimbulkan semacam deja vu. Entah Febiana atau Edward, sama-sama teringat santap pagi hari beberapa waktu yang lalu. Ketika mereka saling melemparkan tatapan kebencian, perdebatan, dan sebuah harga diri. Lalu, berlanjut hingga siang menjelang sore, mereka saling membantu membersihkan seisi apartemen.

Ingatan itu membuat senyum melengkung di bibir Febiana maupun pria di hadapannya. Tanpa kesadaran, mereka hanyut dalam ingatan yang sama. Rasa hangat kembali menjalar, dan sering kali mata mereka memberikan lirikan.

"Ada yang salah?" tanya Edward tiba-tiba ketika pria itu mendapati senyum Febiana melebar meski masih sibuk mengunyah makanan.

"Ti-tidak," jawab Febiana yang terkejut dan wajahnya menjadi merah. Apa-apaan otakku? Pikir Febiana di detik berikutnya.

Edward berdecap. "Kamu merasa tenang ada di sampingku?" sindirnya.

"Tentu saja tidak! Aku masih sangat muak terhadapmu!" sahut Febiana cepat dan tanpa pertimbangan.

"Oh ya? Tapi, ... bagaimana jika aku yang merasa berbeda saat bersamamu?"

Seketika itu juga, Febiana tersedak makanan yang baru sampai di tenggorokan. Melihat hal itu, Edward cepat-cepat memberikan air putih untuknya.

"Apa kamu gila, Edward? Kenapa mengatakan hal itu tanpa pikir panjang?" omel Febiana.

Edward berangsur menyandarkan punggungnya. "Entah, hanya tiba-tiba saja meluncur dari mulutku. Memangnya ada yang salah?" ucapnya dengan ekpresi datar dan tampak tidak terbebani.

"Kamu memang monster gila yang tak berperasaan. Bisa-bisanya mengatakan hal semacam itu dengan ekspresi datar!"

"Aku hanya tidak menyukai basa-basi, Nona, yah, jika tak ada hubungannya dengan bisnis. Jika memberikan keuntungan, basa-basi sebanyak apa pun bisa aku lakukan. Tapi, tidak dengan saat ini."

Febiana mendengkus. Ia menatap nanar pada pria itu, dengan jantung yang berdegup semakin kencang. Meski ia tahu jika Edward tidak mengatakannya dengan perasaan, tetap saja rasa malu dan salah tingkah datang mencengkeram hatinya. Tiap detik, rasanya Edward semakin aneh saja! Apakah pria itu memang sengaja, dengan dalih 'menjebak' lagi?

Benar juga, kenapa aku harus merasa berbeda ketika bersama Febiana? Sementara Edward baru menyadari ucapan gilanya, dan mulai bertanya-tanya di dalam hati.

***