Chereads / Mr. Sinclair and Miss Arrogant / Chapter 22 - Menyerah Saja, Febiana

Chapter 22 - Menyerah Saja, Febiana

Febiana termenung sendirian di loteng sebuah kafe yang merupakan milik temannya sendiri. Sudah sejak jam tujuh pagi, ia berada di sana dan mungkin sedang mengambil cuti kerja. Kepalanya masih saja terasa pening setelah gila-gilaan menyesap minuman beralkohol sekitar dua malam yang lalu. Mungkin bukan karena minuman itu, melainkan masalah yang belum mendapatkan titik terang atau ketika ia teringat bagaimana dirinya terbaring di atas kursi empuk nan panjang milik musuhnya sendiri.

Secangkir kopi hangat beraroma vanila berada di genggaman tangan Febiana yang kemudian berangsur ia seruput. Matanya terpejam, senyumnya pun mengembang menarik kedua sudut bibirnya yang sensual. Sekian detik kemudian, Febiana baru membuka matanya. Sementara tangannya mulai menurunkan serta meletakkan cangkir kopi itu di meja.

"Seharusnya aku bergegas menyelesaikan adanya rumor itu, bukan malah memperbesar dengan menginap di apartemen milik Edward," keluh Febiana kemudian menghela napas.

Ia tertunduk dengan perasaan gusar, menatap kopi yang masih mengepulkan asap tipis. Pikirannya dipenuhi bayang-bayang akan wajah tampan Edward, yang sekaligus bentuk tubuh pria itu. Otot dan lekukan kekar justru terhias jelas di benak Febiana dalam beberapa saat. Sampai tak lama kemudian, ia membulatkan matanya dan terperangah atas bayangan itu sendiri.

Febiana menelan saliva, wajahnya pun berangsur menampakkan gurat merah. Yang pasti, perasaan lain semacam rasa malu muncul menembus dinding hati yang sekeras batu.

"Apa yang aku pikirkan? Apa aku gila?" Febiana terkekeh sendiri. "Tak mungkin, ah, aku nyaris seperti orang mesum saja!" gerutunya sembari menepuk jidatnya.

"Ada apa, My Lady?" ucap seorang pria secara tiba-tiba yang datang tanpa diduga. Ia menghampiri Febiana dan lantas menarik salah satu kursi kemudian duduk. "Ada apa? Tampaknya kamu sangat gusar, Nona."

"Tak apa, Michael." Febiana menjawab sembari merobohkan kepalanya di atas meja secara perlahan-lahan.

Michael tersenyum tipis. "Aku rasa kamu sedang jatuh cinta, Nona-ku."

"Yang benar saja ... tidak akan terjadi hal seperti itu. Aku sudah bertekad untuk hidup sendiri seumur hidup, Michael."

"Kamu gila?"

"Ya! Anggap saja begitu."

Michael berdecap. "Kita sudah lama tak jumpa, Nona. Hatimu masih sekeras batu dan sedingin Kutub Utara. Aku pikir, kamu jarang datang karena selain sibuk mengurus pekerjaan, juga sudah punya pacar. Sehingga, kawan miskin satu-satunya ini telah kamu abaikan."

"Tentu saja tidak!" tandas Febiana kemudian membangkitkan dirinya. "Kamu tetap selalu aku ingat, Tuan. Yah, meski sekadar untuk menghilangkan rasa susah."

"Cih, teman macam apa dirimu, Febiana Aditya?"

"Teman jahat yang memiliki hati keras."

Michael. Pria itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala menanggapi jawaban Febiana. Ia yang sudah menjadi teman Febiana sejak dua puluh tahun silam, tentu sangat mengerti dan paham akan sifat wanita itu. Sudah lama sekali, Febiana tidak mampir ke warung kopi yang saat ini sudah menjadi kafe ternama miliknya itu. Rasa rindu datang, apalagi ketika ada kemungkinan Febiana membawa sang sekretaris pribadi. Namun ... pagi ini Febiana justru datang sendiri, sehingga membuat Michael sedikit kecewa.

Angin sepoi yang dingin tiba-tiba melewati keduanya. Febiana kembali memejamkan mata menghirup udara pagi yang menyegarkan di loteng terbuka itu. Ia menikmati setiap sentuhan halus dan terus-menerus sampai angin memperlambat laju gerakannya.

Wajah Edward yang tampan kembali terlukis mengisi seluruh relung pikiran milik Febiana. Pagi kemarin dan nyaris sore, Febiana bersama pria itu membersihkan setiap sudut ruangan. Dan sepertinya, Edward sengaja tidak memanggil seorang cleaning service demi mengerjainya. Namun, tak pernah terlintas rasa kesal, selain lelah setelah melakukan pekerjaan itu. Febiana juga tak merasa direndahkan sama sekali, mungkin karena Edward turut membantunya.

"Apa yang terjadi padaku?" gumam Febiana berangsur merasa heran pada dirinya sendiri. Ia membuka mata dan menatap kosong ke arah jalan raya yang terlihat lebih kecil dari posisi dirinya saat ini.

Michael berdecak. "Tidak ada yang terjadi padamu, Nona. Sudah aku bilang, kamu memang sedang jatuh cinta," celotehnya.

Febiana mendengkus kesal. "Tidak, Michael! Sekalipun aku ingin jatuh cinta, bukan padanya juga! Dia musuhku!"

"Apa?" Dahi Michael lantas mengernyit. "Musuh? Lho? Bukannya kamu sedang menjalin hubungan dengan CEO besar dari Sinclair Real Estate, Febi?" lanjutnya ketika teringat rumor cinta mengenai temannya itu.

"Itu palsu!" tandas Febiana cepat. "Apa kamu lupa bahwa Edward memiliki fobia wanita?"

"Ck, tentu saja tidak. Kabar itu sudah mencuat ke setiap pasang telinga para pengusaha. Bahkan, ayahku sampai membatalkan pengajuan investasinya karena takut pada rumor Edward. Terlebih lagi, kakak laki-lakiku masih muda dan jika kakakku sudah menggantikan posisi Ayah, bisa saja Edward Sinclair tertarik padanya.

"Se-begitu takutnya? Mm ... ayahmu?"

Michael mengangguk. "Ya. Tapi, spekulasi itu hilang pasca melihat foto kalian berdua. Kamu dan Edward Sinclair. Hmm ... aku rasa, seseorang telah memanfaatkan fobia Edward Sinclair demi bisnisnya sendiri. Ck, terkadang manusia bisa gelap mata hanya demi harta dunia. Miris sekali."

Febiana menelan saliva dan terdiam setelah mendengar penuturan dari Michael. Ucapan pria pemilik kafe itu sudah seperti sebuah sindiran yang pedas baginya. Ternyata, setidaknya ada orang yang masih membela Edward Sinclair dan berpikir panjang setelah rumor mengenai fobia itu ia besar-besarkab. Dan mereka lantas menyalahkan sang pencipta rumor karena tergerak untuk menyingkirkan lawan dengan cara kotor.

Febiana menyesal. Namun, di sisi lain, ia tidak mau sepenuhnya disalahkan. Mereka—sang penilai—tidak pernah tahu bagaimana ia menjalani hidup selama ini. Ia dituntut keras untuk menjadi seorang pemenang. Ia tidak boleh menghirup udara bebas dan lega tanpa bayangan bisnis serta tekanan, meski barang sekali saja. Dan kali ini, ia justru didorong untuk mendekati musuhnya, bahkan jika perlu menikah dengannya demi kemakmuran perusahaan.

"Michael?" ucap Febiana sembari menatap sang pemilik kafe.

Michael mengangguk. "Can I help you, My Lady?" tanyanya.

"Tidak. Aku hanya ingin mengeluarkan sedikit pendapatku saja."

"Umm ... tentang?"

"Pencipta rumor yang kamu pikir demi harta rela melakukan hal kotor. Aku pikir, ada alasan lain dan jauh lebih menekan sang pelaku, sampai-sampai dia bisa berbuat sejauh itu."

"Well, tapi tetap saja, setiap hal kotor tak akan pernah menjadi bersih, Nona. Kecuali jika sang pelaku bersedia untuk mencucinya dengan cara meminta maaf. Oke, kata orang; orang jahat terlahir dari orang baik yang tersakiti." Michael tergelak. "Itu sungguh konyol! Kalau sudah tahu disakiti itu sulit, kenapa dia malah menyakiti orang lain dengan menjadi jahat? Mereka yang menjadi jahat, hanya malas mempertahankan yang namanya kebaikan."

Febiana mati kutu. Tertunduk dan sejujurnya sangat malu.

"Aku tahu," kata Michael. "Aku tahu itu kamu ...."

Mata Febiana membulat sempurna. Ia menatap Michael dengan pandangan mata tak percaya. "Ba-bagaimana kamu bisa tahu? Apa Feline?"

"Tidak, bukan Feline. Dia tak pernah mampir dan jujur aku sangat merindukannya."

"La-lalu?"

Michael menghela napas. "Aku sudah mengenalmu semenjak belia, Febiana. Perihal hidupmu yang keras pun aku tahu. Rumor cinta yang barusan kamu tampik sebagai kabar palsu, sudah menjadi bukti bahwa dirimu terjerat Edward Sinclair karena melakukan sesuatu padanya. Benar, 'kan?"

Febiana masih bergeming. Ia mengakui kehebatan daya analisa yang dimiliki oleh Michael. Ya, pria itu pernah sekolah di kampus pengacara, pendidikan detektif untuk kasus kriminal, dan terakhir jaksa. Namun pada akhirnya, Michael lebih nyaman menjadi bos di kafe yang ia miliki saat ini.

Michael memandang jalan raya yang sepi, kemudian menghela napas. "Menyerah saja, Febiana."

"Tidak," tandas Febiana.

"Edward Sinclair bukan tandinganmu, My Lady. Dia jauh lebih pintar dari kita. Dia terkenal sebagai monster berhati dingin dan membuat nyaris semua pengusaha tunduk padanya."

"Aku rasa, itu juga hanya rumor. Aku ... aku akan mencari seseorang untuk mendapatkan kelemahannya. Seseorang yang kemungkinan menjadi penyebab munculnya penyakit fobia pada diri Edward Sinclair."

"Daripada begitu, rayu saja dirinya. Kamu akan tetap aman ketika menyerang, setelah dia bisa mencintaimu."

Ketika Febiana hendak memberikan sanggahan, Michael sudah terlanjur kehilangan selera untuk berkata-kata. Pria itu turun ke bawah demi melayani para tamu istimewa, daripada Febiana yang memiliki hati sekeras karang di samudra.

***