Chereads / Mr. Sinclair and Miss Arrogant / Chapter 21 - Pertengkaran di Meja Makan

Chapter 21 - Pertengkaran di Meja Makan

Ingin sekali rasanya mengucapkan dua patah kata yang terdiri dari kata terima dan kasih. Namun, mulut Febiana seolah dicengkeram oleh iblis bernama gengsi. Meski, Edward Sinclair sudah ada di hadapannya, bahkan ketika pria itu bersedia membuatkan sup penghilang pengar, tetap saja Febiana merasa sungkan.

Ya, mereka tengah berada di ruang makan yang menjadi salah satu ruang dari apartemen mewah itu. Edward tengah menyantap hidangan dan tampak sangat menikmatinya. Pria itu seolah tidak melihat adanya sosok wanita tepat di depan matanya.

Febiana terus mengusap gaunnya dengan perasaan gusar. Ia ingin segera pergi dan melarikan diri dalam siatuasi canggung itu, tetapi harga dirinya meminta agar ia melontarkan setidaknya satu patah kata.

Febiana mengembuskan napasnya. Sesaat setelah menatap langit-langit ruangan, ia berkata, "Te-terima kasih ...." Lirih sekali dan nyaris tak sampai pada Edward.

Kedua tangan serta gigi Edward lantas menghentikan aktivitas. Manik mata birunya langsung menatap lekat ke arah Febiana yang saat ini sudah tertunduk diam.

"Kamu sedang bicara?" tanya Edward.

Febiana memejamkan matanya. "Iya. Me-memangnya kamu tuli ya?" Sesaat setelah itu ia melontarkan pertanyaan dengan nada tinggi dan tegas.

Edward menghela napas dan berangsur meletakkan sendok dan garpu di atas piring yang masih terisi sedikit makanan. Ia menyatukan kedua telapak tangannya, kemudian berkata, "Ya, aku tuli. Oleh sebab itu katakan sekali lagi."

"Tak ada pengulangan kata!" tandas Febiana diiringi suara dengkusan kesal.

"Ayolah, Nona," desak Edward. "Aku ingin mendengarnya sekali lagi, atau mungkin sekalian merekamnya."

Kedua alis Febiana menyatu. "Kenapa harus direkam?"

"Terima kasih. Iya, 'kan? Kalimat yang terdiri dari dua kata dan tampaknya akan jarang kamu katakan padaku."

Wajah Febiana memerah layaknya sebuah tomat yang sudah masak. "Ka-kamu mendengarnya? Uh, lalu kenapa memintaku mengatakannya lagi?"

"Mm ... sudah kubilang, aku ingin mendokumentasikannya."

"Kamu pria yang aneh, Edward."

"Ya, dan aku sama anehnya denganmu, Febiana."

Febiana kembali mendengkus. Namun, ia sudah tak bersedia meladeni ucapan Edward. Karena sudah kepalang tanggung pada rasa malu, Febiana bergerak dengan percaya diri untuk menyantap sup di mangkuk kecil beserta nasi yang sejak tadi ia diamkan. Rasa lapar yang terus meradang, juga menjadi faktor lain atas sikap Febiana saat ini.

Melihat sang nona menyantap hidangannya dengan suka rela, bahlan tampak menikmati, Edward tersenyum. Namun, sekian detik kemudian, ia justru termangu dan diam memikirkan keanehan pada dirinya.

"Kenapa aku malah tersenyum?" batin Edward. Ia menelan saliva dan kembali menatap sikap antusias Febiana pada makanannya.

Wanita itu sangat menggemaskan. Meski rambutnya tengah diikat asal-asalan, wajah tanpa make-up, tetapi pancaran aura kecantikannya semakin terpancar. Edward seolah melihat sosok lain, bukan diri Febiana yang angkuh dan licik seperti biasanya. Bagaimana wanita arogan seperti Febiana mendadak tampak seperti anak kucing yang imut? Pertanyaan itu terlintas di hati serta Edward saat ini.

Tiba-tiba, Febiana menegakkan badannya dan menatap Edward dengan rasa heran. Tak lama kemudian, wanita itu memasang ekspresi muram dan tampak penuh kebencian. Mendadak aura imut dan cantik yang sempat berpendar menakjubkan dari dirinya, justru hilang.

"Aku kepikiran sesuatu," ucap Febiana.

Edward menghela napas dan berangsur mengarahkan pandangan mata ke tempat lain. "Pikiranmu memang selalu terisi sesuatu yang buruk!" sahutnya.

"Cih, jangan sok tahu, Edward!" tandas Febiana. "Aku tidak sejahat itu, sampai seluruh ruang pikiran terisi sesuatu yang buruk. Aku hanya ...."

"Hanya apa?!"

"Sofa!"

Dahi Edward berkerut samar. "Sofa? Kenapa?"

"Kenapa kamu letakkan tubuhku di atas sofa ruang tamu yang jelek dan keras itu, hah?! Aku nona muda, aku cantik, dan selalu sigap dalam merawat diri. Dan tadi malam, kamu justru merebahkanku di atas sofa dingin, berbalut selimut bau, dan berbaju sebuah kimono mandi saja?" Febiana mendesis sebal. "Itu suatu penghinaan, Edward. Tak bisakah kamu mengalah dan tidur di sana?!"

"Astaga!" Edward menggeleng-gelengkan kepalanya. "Wanita macam apa kamu, Febiana? Kenapa tidak tahu diri sekali? Sudah untung aku mau menolongmu, memberikan ruang tamuku untuk dirimu? Lalu, kamu ingin aku meminjamkan kamar pribadiku? Cih, maaf-maaf saja."

"Iya! Seharusnya kamu yang tidur di sana." Febiana menunjuk ruang tamu. "Hais ... kamu sama sekali tidak bertanggung jawab, Edward. Karena sofa keras itu, badanku terasa sangat sakit. Haruskah aku menuntutmu karena ini?"

"Sungguh, kamu benar-benar wanita gila, Nona!"

Febiana melemparkan salah satu sendok besinya ke arah Edward. Beruntung hanya mengenai dada pria itu, bukan kepalanya. Namun tetap saja, rasa sakit terasa, membuat Edward seketika itu mengaduh kesakitan. Belum lagi rasa kesalnya terhadap Febiana, sebab wanita itu benar-benar tidak tahu diri. Dan ia nyaris saja terpesona pada kecantikan Febiana? Edward merasa sangat menyesal!

"Cuci piring! Kamu sudah menumpang gratis dan makan di sini, jadi setidaknya balas budimu dengan mencuci semua perabotan kotor ini," titah Edward.

"Tidak mau!" tandas Febiana cepat. "Aku bukan pembantumu, Edward. Aku bisa membayarmu dengan banyak uang, tapi tidak denga—"

"Badan."

"Haa?"

"Tidak, lupakan! Baiklah, aku malas berdebat di hari libur ini dengan Miss Arrogant yang sangat menyebalkan. Pulang saja, aku tak akan memintamu melakukan itu semua."

Mendengar Edward mengalah, rasa hati Febiana menjadi bersalah. Ia mulai menyadari bahwa pria itu sudah sangat kesulitan atas dirinya sejak tadi malam. Dan meski sudah mendapati dirinya yang tengah tidak sadar, Edward tidak memberikan jebakan apa pun.

Febiana sudah mendengar semuanya dari seorang cleaning service wanita yang membantu pria itu dalam mengurusnya. Edward menggendongnya dari basemen, elevator, hingga ke lantai 50 gedung apartemennya itu. Dan Febiana juga tahu, bahwa pria itu tengah melindungi dari pria hidung belang dan paparazzi yang mungkin ingin menguatkan rumor tentang jalinan cintanya dengan pria itu.

"Kenapa, kenapa kamu membantuku?" tanya Febiana.

Edward terdiam sejenak, kemudian menatap wanita itu. "Entah. Aku bahkan menyesal telah melakukannya. Kamu sangat merepotkan, mengotori mobil, pakaianku, serta lantai apartemenku. Badanmu berat dan—"

"Kenapa? Aku tanya sekali lagi, kenapa? Aku musuhmu, Edward! A-aku telah menyerang dirimu yang tidak pernah berbuat salah padaku, aku juga menciptakan rumor buruk tentang dirimu."

"Aku tidak tahu, Febiana," sahut Edward. "Soal rumor, aku juga telah menjebakmu dan menciummu tanpa izin. Kurasa itu sudah adil, kita impas."

Febiana terdiam. Suasana di ruang makan yang sempat terisi perdebatan dan pertengkaran, kini diliputi kecanggungan. Mereka terpaksa mencari kesibukan sendiri-sendiri untuk menghalau pergi rasa tak nyaman itu. Ketika sarapan pagi telah usai, keduanya justru kompak dalam membersihkan perabotan.

"Pulanglah, aku bisa melakukannya," ucap Edward saat Febiana berada di sampingnya dan sibuk membersihkan piring-piring yang basah.

Febiana menggeleng. "Tidak, aku akan membantumu hari ini. Aku bukan orang yang bisa menyimpan hutang. Aku tidak ingin ada hutang padamu," tandasnya.

"Kamu pergi sudah menjadi balasan atas budimu."

"Maka diamlah dan segera bereskan pekerjaan yang ada, biar aku bisa segera pergi dari hadapanmu, Mister!"

Edward menghela napas. "Kamu memang keras kepala, sama seperti seseorang."

"Mm?" Febiana memandangi Edward dengan sebuah tanda tanya. Namun, ia tidak terlalu menggubris lagi dan segera menyelesaikan tujuannya untuk berbalas budi.

***