"Ayo lebih cepat!"
"Lihat mereka semakin dekat!"
"Jangan melihat ke belakang! Fokus terus ke depan."
"Aku sudah tidak tahan lagi ...."
"Bertahanlah, kita pasti bisa meloloskan diri dari kejaran mereka."
"Mustahil ...."
"Jangan menyerah!"
Dada Rifan terasa sangat sesak karena terus-terusan berlari. Akar-akar pohon besar dan semak tumbuhan liar membuatnya kesulitan untuk menghindari kejaran pasukan kerajaan yang bersenjata.
Lesatan panah diluncurkan untuk memaksa Rizal dan Rifan berhenti. Beberapa kali anak panah dilepaskan, akhirnya berhasil melukai bahu kiri Rizal.
"Sial! Mereka ternyata tidak main-main." Rizal berlari dengan menahan rasa sakit.
"Lebih baik kita menyerah. Lihat darahmu semakin banyak keluar!" Rifan begitu panik dengan keadaan mencekam yang ada.
"Kita tak bisa berlari terus seperti ini. Ini waktunya kita berpencar!"
"Berpencar? Aku tidak mau. Lebih baik kita terus bersama. Apa pun yang terjadi."
"Dengar, dengan memecah pasukan menjadi dua bagian, peluang kita lolos dari kejaran mereka akan lebih besar. Kamu berlarilah ke arah kiri, sementara aku akan mengambil jalan yang kanan tepat di hitungan ketiga."
"Tidak mau! Aku tidak mau!" teriak Rifan.
"Kita pasti bertemu lagi. Ingat kan di mana kita mengukirkan tanda? Seberapa jauh pun kita terpisah nantinya, kembalilah ke tempat itu. Mengerti?"
"Aku tidak mau!" Rifan benar-benar merasa berpencar merupakan strategi bodoh.
"Satu ...." Rizal mulai menghitung.
"Tidak, Zal. Aku tidak mau."
"Dua ...."
"Aku akan ikut bersamamu." Rifan menahan air matanya.
"Tiga ...." Rizal kemudian mengubah arah dengan berbelok ke kanan dan berlari dengan tenaga yang masih tersisa. Cucuran darah masih mengalir deras keluar dari bahunya.
Sementara itu, Rifan mau tak mau menuruti strategi yang diusulkan teman yang sudah ia anggap seperti saudaranya sendiri. Keduanya telah berteman sejak mereka di Taman Kanak-Kanak. Persahabatan di antara keduanya telah terjalin begitu kuat.
"Aku sudah tidak kuat lagi berlari." Kecepatan berlari Rifan mulai menurun. Entah apa yang akan terjadi padanya nanti, ia sudah tak lagi peduli. Dalam hatinya ia berharap, Rizal berhasil meloloskan diri. Rifan akhirnya benar-benar berhenti. Napasnya kacau, sama sekali tak beraturan.
"Bawa anak itu. Ikat kedua tangannya!" Perintah seseorang yang menaiki kuda.
"Baik!" jawab para pasukan bertombak.
Rifan berhasil ditangkap. Dengan tatapan tajam, ia melihat satu per satu wajah orang yang menangkapnya.
Sementara itu, anak panah masih menancap di bahu Rizal. Pandangannya nanar. Semakin lama penglihatannya semakin buram. Jalanan menurun membuatnya terperosok ke dalam lubang dan kemudian tertutupi keringnya dedaunan.
Rasa sakit sudah tak bisa ia tahan lagi. Air matanya mengalir, "Ternyata ini cerita akhirnya ya?" Rizal menutup matanya tanpa ia menginginkannya.