Chereads / Indigenos / Chapter 2 - Garis Dunia Theta

Chapter 2 - Garis Dunia Theta

"Hari ini aku lihat ramalan cuaca di TV, katanya cerah. Tapi kok udah mendung sih jam segini?" keluh Rifan.

"Mau hujan atau enggak, yang penting Cyberpunk 2077 udah di tangan kan?" Kedua alis Rizal naik turun. Game Playstation 5 yang sedang hits di kalangan gamers ini memang sudah ditunggu-tunggu sejak lama.

Rifan minta ditemani untuk membeli game open world yang sudah diincarnya seminggu yang lalu. Konsol PS 5 diberikan oleh orangtuanya sebagai hadiah ulang tahun.

"Udah jam 2 nih. Jalannya agak cepet yuk!" ajak Rizal mempercepat langkahnya.

"Kamu ke rumah aku dulu kan?"

"Ya pasti lah! Mana bisa melewatkan game kayak gini. Mumpung besok libur, aku mau izin aja buat nginep di rumahmu," ujar Rizal sambil memainkan jambul pendek ala Tintin.

"Kamu mau nginep di rumahku? Beneran?" Ini adalah kabar yang sangat menggembirakan buat Rifan. Biasanya dialah yang sering ngajak temannya itu menginap di rumah. Tapi kebanyakannya ditolak. Alasan belajar lah, mau bantuin orang tua lah. Dan seabrek alasan lainnya.

Dari segi perekonomian keluarga, kedua sahabat ini memang agak jauh berbeda. Rifan berasal dari keluarga yang kaya raya. Rumahnya besar dan megah. Bahkan di rumahnya ada tempat khusus buat nge-gym. Kolam renang? Jangan ditanya. Pasti ada. Sementara keluarga Rizal berasal dari keluarga sederhana. Rizal lebih banyak membaca buku yang ia dapatkan dari pasar buku loak. Harga buku bekas dengan kualitas yang dibilang masih cukup bagus, bisa didapatkan dengan harga yang sangat murah.

Rintik hujan mulai turun.

"What?! Yang bener aja? Hujan nih?" Rifan segera mengeluarkan rain cover untuk melapisi ranselnya terhindar dari hujan.

"Kita berteduh di sana!" Telunjuk Rizal mengarah ke arah rumah tua. Bangunannya mirip seperti candi. Beberapa patung manusia dengan perut buncit telah dilapisi lumut. Cukup menjadi bukti bahwa rumah tersebut sudah lama tidak ditinggali ataupun dirawat.

"Duh, mudah-mudahan hujannya gak lama, ya." Rifan sudah tidak sabar pulang ke rumah dan bermain Playstation.

"Hujannya makin lebat. Eh pintu rumahnya gak digembok nih!" seru Rizal.

"Mau masuk?"

"Menurutmu?"

"Karena rumah ini kosong, jadi ya ... tidak apa-apa. Hehe."

"Baiklah, lebih baik kita masuk saja daripada baju kita kebasahan dan masuk angin," ungkap Rizal.

Tak ada apa pun dalam rumah itu. Benar-benar kosong. Lantainya pun hanya diplester. Bukan marmer ataupun keramik. Membuat suasana di dalam rumah jadi agak mencekam.

"Tutup aja lah pintunya. Dingin," celetuk Rifan. Rizal pun melakukan apa yang diminta Rifan.

"Wah kok sinyalnya kosong begini sih? Punya kamu gimana?" Rifan mengeluarkan gawai miliknya.

"Sama nih. Punyaku juga kosong. Padahal beda kartu provider. Tapi kok sama gak ada sinyal ya?"

"Ah, membosankan! Ya sudah, kita ngobrol aja." Rifan yang merasa pegal berdiri akhirnya memutuskan untuk duduk bersila.

"Denger-denger, katanya kamu lagi deketin cewek ya?" Rizal mulai dengan pertanyaan yang langsung membuat muka temannya memerah.

"Ah, dengar dari siapa kamu? Hoax tuh?!"

"Tapi kok jadi salah tingkah gitu. Memangnya siapa ceweknya? Mitha ya?"

"Mitha? Hah, nggak lah. Masa iya aku suka sama dia. Aku tuh sukanya sama Clarissa!"

"Oh ~ Clarissa, ternyata."

"Ya ampun, aku keceplosan!"

"Hahaha."

Rizal dan Rifan pun larut membicarakan teman-teman sekolah yang tengah mereka incar. Tak ada topik yang lebih menarik buat anak laki-laki dibandingkan membahas tentang game dan perempuan.

Suara hujan dari luar perlahan mereda. Hingga pada akhirnya tak ada lagi suara hujan yang terdengar.

"Yes, akhirnya hujannya selesai juga. Yuk kita pulang!" ajak Rifan. Kemudian ia bukakan pintu rumah yang mereka tempati untuk berteduh.

"A ... apa ...." Mulut Rifan menganga. Matanya terbuka terbelalak melihat apa yang ada di depannya.

"Kena ... pa?" Baru saja Rizal mau bertanya mengapa Rifan bisa terlihat keheranan, mata kepalanya sendiri melihat apa yang membuat temannya itu juga tercengang.

"Di mana ini?" Bulu kuduk Rifan berdiri melihat suasana hutan yang penuh dengan pepohonan. Cahaya matahari hanya bisa menembus sedikit ke tanah, saking lebatnya daun dari pohon-pohon yang menjulang tinggi.

"Kita tadi tidak ke sini kan?" Rizal melihat ke arah Rifan. Otaknya bertanya-tanya apakah yang dialaminya merupakan ilusi. Karena ia sangat yakin sebelum masuk ke rumah tua ini, mereka sama sekali tidak melewati daerah hutan.

Degup jantung kedua anak remaja 17 tahun itu pun semakin kencang. Rifan jatuh terduduk karena tak percaya dengan apa yang dialaminya.

"Welcome to the jungle!" teriak seseorang dari atas pohon.

"Hah? Siapa itu? Hantu?!"

"Ssst, mungkin dia orang jahat. Berhati-hatilah," bisik Rizal.

"Si ... si ... siapa ka-mu?!" Rifan memberanikan diri bertanya pada seorang pemuda yang duduk di sebuah dahan pohon yang cukup tinggi. Orang itu hanya menggunakan kaos panjang polos berwarna putih dan celana sejenis PDL berwarna hitam.

"Panggil saja aku, Rui. Nama yang sangat gampang diingat kan?"

"Siapa kamu?" Kali ini Rizal yang bertanya.

"Tak usah terburu-buru begitu. Izinkan aku mengadakan penyambutan bagi kalian di garis dunia ini. Garis dunia theta!"