Chereads / Indigenos / Chapter 3 - Tahun Caka

Chapter 3 - Tahun Caka

Rizal menatap tajam ke arah Rui, "Apa maksudnya itu? Jelaskan pada kami!"

"Singkatnya kalian saat ini berada pada garis dunia yang lain. Garis dunia kalian berdua yang sebenarnya adalah garis dunia alpha. Sementara ini adalah garis dunia theta. Perbedaan garis dunia membuat apa yang terjadi antara garis dunia berbeda. Mungkin ada persamaan, tapi pada dasarnya benar-benar berbeda."

"Penjelasannya sulit dimengerti!" sela Rifan.

"Ya ampun. Aku sudah berusaha menjelaskan sesederhana mungkin. Tapi ya, sudahlah. Kalian akan mengerti seiring berjalannya waktu."

"Apa kamu yang membawa kami ke sini? Untuk apa?" Sepertinya Rizal mulai mencurigai Rui adalah dalang di balik semua kejadian ini.

"Tebakanmu benar! Bagus sekali! Untuk apa? Hmm, kalian yang harus mencari tau sendiri."

"Aku mau pulang! Kembalikan aku ke dunia asliku!!" Rifan berteriak sekencang-kencangnya.

"Mau pulang ya? Huuu, kasian. Pulanglah sendiri setelah kalian tau mengapa kalian bisa datang ke garis dunia ini. Haaah~ aku sudah terlalu banyak bicara. Kita akan bertemu lagi jika waktunya sudah tiba. Bye!" Rui melambaikan tangan kemudian menjatuhkan dirinya ke bawah tepat di semak-semak. Rizal dan Rifan terkejut melihat hal itu. Keduanya pun berlari untuk memeriksa semak tersebut.

"Hah? Ke mana dia?" Rifan memperlihatkan raut wajah yang ketakutan.

"Aneh sekali."

"Sudah kubilang tadi, kan? Dia pasti hantu."

"Tidak. Aku tidak yakin dengan hal itu. Kurasa dia manusia seperti kita."

"Lantas bagaimana kita bisa kembali ke dunia asal kita?"

"Kita coba saja masuk lagi ke rumah itu. Mungkin saja itu adalah portal dimensi yang membawa kita ke sini." Rizal memberikan usul.

"Ayo, tidak ada salahnya mencoba!"

Rizal dan Rifan kembali memasuki rumah tua yang tadi mereka masuki.

"Tutup pintunya!" perintah Rizal.

Pintu rumah tua itu pun tertutup. Tiba-tiba saja Rifan teringat pada gawainya, "Untung baterenya masih lumayan. Masih ada 67% lagi." Rifan mencoba menggunakan telepon meski jelas di layar tak ada indikasi adanya sinyal.

"Kamu mau nelepon siapa? Bisa?" Rizal penasaran.

"Tidak bisa."

"Ok, lebih baik kita matikan saja dulu gawainya. Kita harus mempersiapkan hal terburuk yang akan terjadi."

"Ayolah! Aku tidak mau mati di sini," rengek Rifan.

"Sst. Sepertinya ada suara langkah kaki mendekat ke sini. Bersembunyi!"

"Hah? Sembunyi di mana? Tidak ada benda apa pun di sini?"

"Apa kita lawan saja?" Rizal memberikan opsi lainnya sambil gemetaran.

"Jangan gegabah. Di saat seperti ini kurasa kita hanya perlu diam saja." Rifan memberikan pandangannya.

"Baiklah. Kita tunggu saja apakah dia akan masuk ke sini atau tidak," ungkap Rizal.

Kedua remaja itu melangkah perlahan tanpa bersuara menjauhi pintu. Sementara suara derap langkah semakin jelas terdengar dan mendekat.

"Aku takut ...."

"Sssst. Tutup mulutmu." Rizal membekam mulut Rifan.

"HAAAAAAAAA!"

Seseorang membuka pintu dari luar dan berteriak dengan sangat keras. Rizal dan Rifan menunduk. Tak ada pilihan lain selain diam.

"Haah, tidak ada orang ya di sini? Kalau begitu mending aku jadikan tempat tidurku saja malam ini." Seseorang bertubuh gempal, menggunakan ikat kepala itu menyisir semua sisi rumah tua.

"Haaaah!" teriak orang itu saat melihat ada dua sosok di sudut ruangan. Teriakannya itu membuat Rizal dan Rifan pun ikut berteriak, "Haaaaa!"

"Ampun, tolong jangan sakiti kami. Kami tersesat di sini. Tolong. Jangan apa-apakan kami." Rizal menangis dengan tubuh gemetaran memohon kepada orang bertubuh gempal tadi.

"Eh, siapa kalian? Jangan-jangan kalian pasukannya kerajaan Samanta ya?"

"Hah? Kerajaan apa?" Rizal malah balik bertanya.

"Kerajaan Samanta!"

"Aahh, bukan ... bukan ... bukan. Kami hanya dua anak SMA yang tersesat saja di hutan ini. Tolong jangan salah paham." Kedua tangan Rizal diangkatnya tinggi-tinggi sebagai simbol menyerah.

"Oh, jadi kalian bukan dari pasukan dari kerajaan Samanta? Ya sudah kalo begitu." Laki-laki bertubuh gempal itu pun berbalik arah dan berniat pergi meninggalkan dua orang yang baru ditemuinya.

"Eh, tunggu dulu, mas ... eh pak!" Rizal merasa kikuk dan tak tahu harus memanggil orang itu dengan sebutan apa.

"Ya, ada apa?" Orang itu pun menoleh ke arah Rizal.

Rizal mengajak Rifan untuk berdiri dari posisinya yang jongkok ketakutan, "Boleh kita kenalan?" Rizal memaksakan dirinya tersenyum. Ia memerhatikan setiap gerak-gerik yang dilakukan laki-laki bertubuh gempal itu. Setiap gerakan yang dilakukan orang itu, Rizal selalu menirukannya juga dengan jeda beberapa detik. Bukan hanya gerakan, Rizal mengamati napas dan menyamakannya dengan si tubuh gempal.

"Kalian siapa?" tanyanya.

"Ah, namaku Rizal. Ini temanku, Rifan."

"Aku kira kalian dari kerajaan Samanta. Syukurlah kalo begitu. Oh ya namaku Janu. Aku pendekar sakti di sini. Jadi jangan coba-coba ya untuk melawanku."

"Tentu ... mana berani kami melawan pendekar sepertimu. Ya kan, Fan?" Rizal menoleh ke arah Rifan yang kemudian memberikan isyarat anggukan kepala.

"Ini rumah kalian ya? Kalian berdua saja di sini?"

"Hmm, bagaimana ya menjelaskannya? Lebih baik kita duduk dulu ya. Ayo silakan duduk." Teknik yang digunakan Rizal ternyata berhasil. Teknik matching dan mirroring yang ia pelajari dari buku Neuro Linguistic Programming benar-benar ampuh. Dengan menyamakan nada bicara, gerakan dan napas orang yang ingin dipengaruhi, maka ia akan lebih mudah untuk dikuasai.

Setelah merasa yakin kalau Janu bukanlah sebuah ancaman, akhirnya Rizal mulai bersikap seperti biasanya.

"Kalian sepertinya masih sangat muda ya? Berapa usia kalian?" tanya Janu.

"Kami 17 tahun."

"Hmm pantas saja. Kalo aku di tahun 229 caka ini genap 21 tahun. Jadi aku lebih tua dari kalian. Maka dari itu kalian harus menghormati aku ya!" Janu sangat sumringah karena dirinya merasa superior dibanding dua orang yang baru saja ditemuinya.

"Apa? Tahun 229 caka? Apa itu?" Rifan akhirnya berani buka suara.

"Hah? Kalian dari mana sih sampai tidak tau tahun sekarang? Aneh!"

"Sebenarnya kami dari tahun 2021 masehi. Mas Janu tau tahun masehi?" Rizal berharap jawaban Janu akan memberikan informasi lebih banyak tentang kapan dan di mana sebenarnya mereka saat ini.

"Jangan panggil aku mas! Panggil aku pendekar Janu!" Nada suara Janu meninggi.

"Aaah, maafkan kami pendekar Janu!" Rizal kembali gemetaran.

"Aku tidak tau apa yang kalian sebutkan tadi. Dilihat dari penampilan, kalian sangat mencurigakan. Hmm, aku tahu, kalian memang bukan pasukan dari kerajaan Samanta. Tapi pasti kalian adalah mata-mata!" Janu menyiapkan pukulannya.