Teh panas hambar tanpa gula di cangkir tanah liat terhidang di meja. Di sampingnya ada beberapa potong pisang dan kacang rebus. Angin bertiup agak kencang. Awan hitam berarak bergerak cepat. Hanya tinggal menghitung menit, hujan pun akan segera turun.
"Persembahan tepat akan dilakukan 1 Maga nanti. Tinggal seminggu lagi ...." Tergurat beban pikiran berat yang ada di wajah Ardhani, ayah dari Adya. Rokok daun kawung yang dihisapnya tak lagi nikmat terasa. Dua orang
"Kalau 1 Maga itu apa pak?" Seperti biasanya, Rizal akan langsung bertanya akan hal yang membuatnya sangat penasaran.
"Apa kamu benar-benar tidak tahu?" Kedua alis Ardhani dinaikannya.
"Ya, bukankah kami sudah cerita tadi kalo kami bukan dari sini?"
"Ah, meskipun kalian bukan orang sini, tapi masa kalian tidak tahu perhitungan hari."
"Sungguh pak. Semoga bapak berkenankan menjelaskan dulu kepada kami tentang perhitungan hari orang-orang di sini."
Ardhani melihat kejujuran di mata Rizal, "Baiklah." Setelah menyedot asap rokok kawung dalam-dalam, ia pun memadamkannya di asbak yang terbuat dari batok kelapa.
"Maga adalah nama bulan keempat. Sekarang ini tanggal 23 Posya."
"Emangnya ada berapa bulan pak dalam satu tahun?" Topik ini membuat Rifan tertarik untuk ikut lebih lanjut.
"Dua belas. Semuanya ada dua belas bulan. Kartika, Margasira, Posya, Maga, Palguna, Setra, Wesaka, Yesta, Asada, Srawana, Badra dan terakhir Asuji."
"Beuh, sama dengan kalender kita lah bro, ada dua belas bulan," ujar Rifan pada teman yang ada di samping kirinya.
"Jumlah hari setiap bulannya berapa?" tanya Rizal.
"Berbeda-beda, ada yang 29 hari dan ada yang 30 hari."
"Ooh, ini berarti mirip dengan penanggalan kalender hijriyah yang menghitung waktu berdasarkan pergerakan bulan!" seru Rizal. Ia sangat bersemangat dan mulai menuliskannya di catatan kecilnya.
"Hmm, benar-benar aneh. Kalian punya benda-benda yang belum pernah kulihat sebelumnya. Itu lembaran serat kayu kan?" Ardhani menunjuk ke arah kertas yang dipegang Rizal.
Sejenak Rizal terdiam, "Aah, ya pak. Tapi kami menyebutnya dengan nama 'kertas'."
"Lanjutin lagi pak tentang adat persembahan di dusun ini. Biar kami tau solusi terbaiknya." Rifan memasang wajah serius. Itu karena masalah yang akan mereka hadapi pun merupakan masalah yang amat sangat serius. Masalah nyawa.
"Setiap tahun di dusun kami selalu mengadakan persembahan. Harus ada 12 gadis yang ditumbalkan dalam persembahan ini. Mereka akan ditenggelamkan di danau ratapan tepat tengah malam."
"Waduh gak main-main tuh, sekali numbalin 12 orang? Ckckck ...." Rifan menggeleng-gelengekan kepalanya.
"Kenapa harus 12 gadis, pak?" Rizal mengembalikan cangkir ke atas meja setelah mencoba sedikit menyeruput teh miliknya.
"Aku pun tidak tahu. Sejak dulu, memang seperti itu."
"Ini gak bakalan gampang, Fan. Memangnya kamu punya ide apa? Tadi pagi kamu bilang ke beliau punya rencana bagus." Dalam otak Rizal, ia belum punya gambaran apa pun untuk bisa menyelamatkan 12 gadis yang akan dipersembahkan di upacara adat.
Rifan pun berbisik di telinga Rizal, "Sebenernya aku belum tau, Zal. Sorry!"
Seketika Rizal pun memelototi Rifan.
"Adya anakku satu-satunya. Selama ini aku membesarkannya seperti anak laki-laki dengan harapan agar ia tidak akan pernah terpilih karena gayanya seperti laki-laki. Tapi kenyataannya ...." Ardhani mengucek-ngucek kedua matanya.
"Sabar ya pak. Semoga kita dapatkan cara untuk menghentikan acara persembahan itu. Kita masih punya waktu." Rizal membesarkan hati Ardhani.
"Tadi pagi, kalo gak salah, bapak nyuruh si Adya buat kabur dari sini? Tapi kok dianya gak mau ya? Padahal kan simpel. Dengan begitu dia bisa selamat," ungkap Rifan.
Adya pun datang dari balik pintu menghampiri ayah dan dua orang yang dari tadi mengajak beliau mengobrol.
"Hei, asal kalian tahu, kalau aku pergi dari dusun ini, bapak dan ibuku yang akan terkena hukuman dari semua warga sini." Adya terlihat kesal.
"Hmm, gitu ya? Ya ngasih taunya jangan sambil marah-marah gitu dong. Biasa aja kali!" Rifan memalingkan mukanya dari Adya.
***
Atap rumbia masih basah karena hujan kemarin dari sore hingga malam. Jalanan tanah pun berubah jadi lumpur. Kawanan itik berbaris tak beraturan menikmati kubangan air di pagi hari. Beberapa di antaranya mengeluarkan suara, terdengar seperti suara anak kecil yang begitu senang senang bermain.
Rifan menggaruk-garuk badannya yang gatal. Ia belum terbiasa menggunakan pakaian yang biasa dikenakan warga lainnya. Terlebih pakaian itu adalah pakaian dari ayahnya Adya yang dipinjamkan. Terlihat sangat longgar dan besar di tubuh Rifan.
Sementara itu, Rizal mendapatkan pakaian yang agak sesuai dengan perawakannya. Hanya saja celananya yang kependekan, sehingga ketika ia menggunakannya hanya sampai setengah betis menutupi.
"Ok, karena aku yang janjiin ide ke bapaknya Adya, jadi untuk hal ini akan jadi tanggung jawabku sepenuhnya." Rifan melipatkan kedua tangan di dadanya, berlagak sok keren.
"Jadi hari ini kita mau ngapain?"
"Kita akan jalan-jalan!"
"Hah, jalan-jalan? Ke mana?"
"Ya, ke mana aja. Yang penting jalan lah. Bosen tau di rumah mulu. Moga aja dapet inspirasi gitu."
Kedua sahabat ini berjalan menuju ke arah pasar. Tak ada yang istimewa. Seperti yang pernah mereka lihat di pasar sebelumnya, kebanyakan pedagang menjajakan hasil kebun atau ternak, seperti ayam dan kambing.
"Di sekitar sini banyak pohon kelapa ya?"
"Apa jangan-jangan kita deket sama pantai?"
"Deket sih deket. Tapi kalo 20 sampai 30 kilo dari sini sih bukan deket namanya," keluh Rifan dengan bibir yang dimonyongkan.
"Fan, apa gak sebaiknya kita datang ke danau tempat persembahan itu?" Rizal yang dari tadi ingin mengatakan hal ini sudah gereget melihat Rifan yang sepertinya tak tahu apa yang harus dilakukan.
"Kenapa gak ngomong dari tadi?"
"Kukira ide ini ada di kepalamu."
"Hahaha. Maaf saja. Aku lagi blank banget nih!" Rifan tertawa tanpa merasa bersalah.
Dalam dua jam, tibalah keduanya di danau ratapan. Ternyata tempatnya tidak seseram yang mereka bayangkan. Justru malah sebaliknya. Danau ini begitu indah. Airnya dingin dan jernih. Mungkin karena tidak ada orang yang mau mendekat karena aturan yang telah melekat di masyarakat setempat, sehingga keindahan danau ini seolah tak terjamah.
"Jadi ini tempatnya? Danaunya cukup besar. Gak keliatan ujung seberangnya," tutur Rizal.
"Gak nyangka ya, danau seindah ini mungkin sudah menelan ribuan nyawa gadis gak berdosa dari masa ke masa," gumam Rifan.
"Ya, kita gak bisa biarin tradisi ini terus ada."
Rifan mengepalkan tangannya kuat-kuat, "Akan kubakar danau ini dan kupastikan gak bakalan lagi ada orang yang mati karena hanya sebuah tradisi. Liat aja ...." Sorot mata Rifan penuh dengan bara api kesungguhan.