Chereads / Indigenos / Chapter 9 - Malam Persembahan

Chapter 9 - Malam Persembahan

Malam ini, tepat malam 1 Maga 229. Dua belas gadis belia berjejer dengan tangan diikat ke belakang. Kepala mereka ditutupi kain putih hingga sebahu. Isak tangis keluarga mereka terdengar sangat memilukan siapa saja yang mendengarnya. Bahkan bagi Kepala Dusun sendiri.

Masih sangat jelas dalam ingatannya, ia harus mengorbankan anak perempuannya sendiri tahun lalu. Dalam setahun ini, dirinya tak bisa tidur dengan tenang. Suara jeritan meminta tolong anak gadis keduanya itu selalu saja terngiang di telinganya.

Tapi bagaimanapun, tradisi ini harus dilakukan. Meski sangat menyayat hati, ritual tahunan persembahan menenggelamkan 12 gadis belia di danau ratapan adalah sebuah keharusan. Jika tidak, seperti yang diceritakan secara turun temurun, hasil panen dan ternak akan gagal. Jika sudah begitu, akan banyak warga yang kelaparan dan lebih banyak korban jiwa yang akan melayang.

"Mari kita berangkat." Suara Kepala Dusun begitu lirih. Bagaimanapun ia juga seorang ayah yang pernah mengalami rasa sakit seperti yang dirasakan para orangtua yang anak-anaknya akan ditumbalkan malam hari ini.

Jerit tangis semakin menjadi-jadi saat iring-iringan mulai berjalan. Kepala Dusun ditemani oleh 3 orang pengawal yang akan membantu proses ritual dilakukan. Masing-masing mereka membawa obor. Mereka bergerak perlahan menuju danau ratapan.

Beberapa jam kemudian, mereka tiba di tepi utama danau itu. Empat buah perahu sampan telah disediakan. Masing-masing perahu dinaiki oleh empat orang bergerak ke sekitar pertengahan danau kemudian berhenti.

Sang Kepala Dusun menyimpan alat dayungnya dan mengangkat obor tinggi-tinggi sambil berteriak, "Wahai penguasa danau ratapan! Tahun ini kami kembali datang. Membawakan persembahan 12 gadis tepat pada malam 1 Maga. Inilah balasan atas kebaikanmu pada kami. Maka dari itu kami persembahkan ....!"

Para pengawal membacakan rapalan-rapalan yang dinyanyikan. Malam jadi kian menakutkan. Para gadis menangis, termasuk Adya yang menjadi salah seorang di antara mereka. Sungguh, akhir kehidupan seperti ini bukanlah apa yang mereka bayangkan sebelumnya.

"Kini saatnya, persembahan kami berikan. Terimalah! Terimalah! Terimalah!" teriak Kepala Dusun. Para pengawal bersiap menceburkan para gadis yang masih dalam keadaan terikat. Beberapa di antaranya menjerit, menangis serta berontak. Perahu sampan pun hampir terbalik kehilangan keseimbangannya.

"Whoaaa haha ... whoa haha ... hahaha!

Suara tertawa yang terkesan dipaksakan membuat kaget semuanya.

"Itukah?!" pekik Kepala Dusun yang melihat sosok wajah seseorang yang bercahaya. Anggota tubuh lainnya benar-benar tak terlihat. Hanya wajahnya saja.

"Ampuni kami ... ampuni kami!" Kepala Dusun bersimpuh disusul oleh para pengawalnya yang juga ikut melakukan hal yang sama.

"Hai Kepala Dusun!" Sosok itu berbicara dengan suara yang berat, "akhirnya kamu datang juga! Selama ini kalian orang-orang dusun selalu saja memberikanku 12 anak gadis setiap tahunnya. Tapi kalian sebenarnya tidak tahu apa yang aku inginkan!"

"Ampuni kami ...." sesal Kepala Dusun, "lantas apa yang harus kami persembahkan?"

"Ehem. Cukup kalian bebaskan saja 12 ikan air tawar setiap tahunnya di sini. Dengan begitu ikan di danau ini akan tambah banyak. Aku pun tak pernah melarang orang-orang untuk datang bermain ke danau ini. Asal jangan buang sampah sembarangan saja."

Kalimat terakhir yang dikatakan sosok itu terdengar aneh karena suaranya berubah-ubah. Hal ini membuat seorang pengawal curiga. Ia mendekatkan perahunya ke dekat perahu sang Kepala Dusun.

"Tuan, sepertinya sosok itu manusia biasa seperti kita. Biar saya yang mengurusnya," bisik sang pengawal kepada Kepala Dusun yang kemudian diberikan izin dengan isyarat anggukan kepala.

Pengawal itu mendekati sosok yang berbicara dengan nada yang berat dan hanya terlihat bagian wajahnya saja.

"Mau apa kamu!! Jangan mendekat! Jika kamu masih mendekat, akan kubakar danau ini!"

Peringatan itu tak dihiraukannya.

"Sekarang!"

Terdengar gesekan batu kemudian muncul percikan api. Dengan cepat api pun menyala di permukaan danau. Karena kaget dengan apa yang dilihat dan api semakin membesar, para gadis terlihat panik dan berusaha menghindari api. Perahu itu pun bergoyang dan seorang gadis tercebur ke dalam air.

"Tolong!!"

Adya tak berkutik melihat kejadian yang mengejutkan baginya. Tangannya pun masih terikat sehingga ia tak bisa membantu kecuali hanya berteriak, "Raiya!!!"

Raiya, gadis yang tercebur itu mulai terjalar api. Ia semakin panik yang membuat badannya makin tenggelam.

"Raiya!" teriak seorang pria paruh baya yang ternyata adalah orangtua dari gadis itu.

Dengan kobaran api yang masih menyala dan menyibakkan gelapnya malam, Kepala Dusun bisa melihat dengan jelas, ada 4 perahu lain di arah berlawanan sekitar beberapa meter.

"Kalian! Sedang apa di sini!" bentak sang Kepala Dusun saat melihat para ayah dari gadis-gadis yang akan ditumbalkan berada di atas perahu.

"Bagaimana ini? Kita harus menyelamatkan gadis itu?!" Rizal begitu panik.

"Aku takut berenang, Zal!" teriak Rifan.

Seseorang menceburkan diri ke danau berusaha menyelamatkan Raiya.

"Apa yang kalian lakukan? Kalian telah menggagalkan tradisi nenek moyang kita!" Amarah Kepala Dusun memuncak. Para pengawal mengeluarkan golok yang ternyata terselip di belakang punggung mereka.

"Meski aku mati di sini, aku gak bakal nyesel, Zal!" Rifan mendayung mendekatkan perahunya kepada perahu pengawal Kepala Dusun. Ia siap mengorbankan nyawanya untuk menggagalkan tradisi sesat yang perlu dihancurkan.

"Tunggu! Tunggu semuanya!" Rizal yang kali ini terlihat sangat marah. Bersamaan dengan itu, api di permukaan danau perlahan padam.

Beruntung Raiya berhasil diselamatkan. Hanya saja ia dalam keadaan tak sadarkan diri. Ternyata yang menyelamatkannya adalah Ardhani, ayahnya Adya.

Rizal memberikan usulan agar semuanya kembali ke tepi. Semuanya pun setuju.

"Keparat! Kepala Dusun macam apa yang tega mengorbankan warganya sendiri!" Rifan yang sudah menahan emosi tak bisa membendungnya lagi. Ia melayangkan satu pukulan di wajah Kepala Dusun.

"Bocah, sialan! Akan kuakhiri hidupmu!" tuntut Kepala Dusun yang juga termakan emosi.

"BERHENTI!" Lagi-lagi Rizal berusaha menengahi. Para pengawal Kepala Dusun yang telah menghunuskan goloknya dicegah oleh para orangtua.

"Kita akhiri semua ini sekarang juga." Rizal memaparkan usulannya. Namun ternyata usulan itu tak mudah diterima begitu saja. Tengah malam pun berlalu. Semesta larut dalam bisu.