Chereads / Indigenos / Chapter 7 - Pohon Sepi

Chapter 7 - Pohon Sepi

Dua hari istirahat total, akhirnya Rifan bisa kembali pulih. Sesuai dengan rencana Rizal, mereka berdua harus segera meninggalkan rumah itu. Keduanya pun sudah mulai jadi bahan pembicaraan warga sekitar. Janu berusaha sebisanya untuk menutupi keadaan yang sebenarnya. Ia mengatakan bahwa dua orang tamu yang tinggal di rumahnya adalah saudara jauh dari mendiang ayahnya.

"Seriusan udah kuat jalan?" Rizal agak ragu dengan kondisi fisik Rifan yang kemungkinan bisa kembali menurun.

"Daripada terus-terusan di sini. Aku udah sehat kok, tenang aja. Oh, ya. Btw, kaset game aku kamu pinjem kemarin buat apaan sih?"

"Hmmm, gimana ya ngomongnya? Pokoknya, kalo kita udah balik ke dunia asal, aku ganti deh kasetnya."

"Lah emang kamu apain?" Wajah Rifan merengut.

"Aku jual ke penadah barang antik di pasar kemarin. Hehe. Maaf ya!"

"Ya ampun, Zal! Kita kan belum mainin gamenya. Kalo entar jadi game langka gimana hayo?"

"Justru makin lama makin banyak yang main lah, Fan. Kamu tenang aja. Soalnya kita sekarang punya ini ...." Rizal mengeluarkan kantung kecil berwarna coklat.

"Apaan tuh?" Rifan mencoba membuka kantung tersebut, "ini kamu dapet dari mana?"

"Ya hasil ngejual kaset kamu lah!"

Mata Rifan berbinar melihat isi di kantung coklat itu ternyata biji-biji perak dengan jumlah yang sangat banyak.

"Aneh, emang ada ya yang mau beli kaset PS di zaman ini?" Rifan mulai tertawa geli.

"Aku bilang aja kalo itu barang yang raja pun gak punya. Dengan sedikit trik manipulasi pikiran, akhirnya aku berhasil menjualnya."

"Gila. Ternyata kamu berbakat jadi tukang tipu-tipu, Zal! Haha."

"Enak aja! Aku kan bilang jujur kalo raja pun pasti gak punya. Kalo trik manipulasi pikiran sih biar cepet aja proses penjualannya. Biar gak lama mikir."

"Dasar kamu! Tapi makasih banyak ya, Zal. Kamu bener-bener temen yang baik dan pastinya bisa diandelin."

"Apaan sih? Tumben-tumbennya ngomong kayak gitu."

Sesaat kemudian Janu masuk ke dalam kamar. Rizal pun langsung menjentikkan jarinya tiga kali dan memerintahkan Janu untuk mengantar mereka ke daerah terjauh dari pusat kerajaan.

"Sebaiknya kita pergi sekarang. Mumpung ibunya Janu lagi keluar."

"Ok!" timpal Rifan.

Meski dalam keadaan mata terbuka, Janu masih dalam keadaan trance. Tatapan matanya kosong dan di pikirannya adalah menuruti apa yang diperintahkan oleh Rizal. Mengingat ini akan jadi perjalanan yang cukup melelahkan, Rizal pun telah menyiapkan perbekalan makanan.

Dua jam lagi matahari akan terbenam. Rasanya perjalanan sudah dilalui begitu jauh. Rizal memerintahkan Janu untuk kembali ke rumahnya, sementara ia dan Rifan melanjutkan perjalanan. Keduanya berhenti di sebuah ladang rumput luas. Sepertinya tempat untuk menggembalakan hewan ternak. Ada sebuah pohon yang warna daunnya cukup unik. Sebagian berwarna hijau dan sebagian lagi warnanya merah muda. Di bawahnya seorang gadis terlihat sedang menyeka deraian air matanya.

"Hai!" Sapa Rifan pada gadis tersebut.

"Siapa kalian?!"

"Tenang kami bukan orang jahat kok. Mau ikut duduk di sini, boleh?" Belum mendapat izin, Rizal langsung saja duduk. Kakinya sudah sangat pegal berjalan seharian.

"Dilihat dari penampilan kalian, aku yakin kalian bukan orang indigenos. Bagaimana bisa kalian ada di sini?" tanya gadis itu.

"Kami juga bingung jelasinnya gimana. Hehe. Namaku Rizal, ini temanku, Rifan. Nama kamu siapa? Sepertinya kamu seusiaku?"

"Jangan sok akrab ya!

"Hah. Parah sih kalo tiap kali ketemu orang kayak gini. Capek, bro!" keluh Rifan.

"Ini kayaknya gara-gara baju kita deh. Udah hampir seminggu gak ganti lagi."

"Hahaha!" Rifan tertawa lepas. Sementara gadis itu pergi begitu saja tanpa ada lagi kata yang keluar dari mulutnya.

***

Matahari baru saja terbit. Tetes-tetes embun membuat ladang rumput hijau menjadi segar. Rasa dingin udara luar sudah mulai dianggap biasa oleh dua remaja yang ingin segera kembali ke dunia asalnya.

"Ini tepat hari ketujuh kita di sini. Sesuai dengan kalender yang kita gunakan, hari ini tanggal 27 Juni 2021. Tepatnya hari Minggu." Rizal menuliskan sesuatu di buku memo kecil yang selalu ada di ranselnya.

"Aku mau coba panjat pohon ini ah!" celetuk Rifan.

"Ngapain sih?

"Kayaknya enak aja liat pemandangan sekitar dari atas. Mau coba?"

"Ogah deh."

Beberapa kali Rifan mencoba untuk memanjat pohon di sekitar tempat mereka tidur semalam. Setelah berusaha dengan keras, ia pun berhasil meraih dahan pohon yang paling bawah. Rifan dengan cepat menaiki dahan-dahan yang lebih atas.

"Yuhuu! Asik banget nih di sini!" teriak Rifan dengan niat memanas-manasi agar temannya itu juga ikut naik.

"Norak ah teriak-teriak gitu!"

"Zal, ada danau loh. Keliatannya sih gak terlalu jauh tuh!"

"Oh ya? Musti kita agendakan nih buat jalan-jalan ke sana." Merencanakan untuk melepas penat sejenak sepertinya bukan ide yang buruk menurut Rizal.

"Jangan!" Gadis yang kemarin muncul kembali.

"Hah, kamu?!" Rizal tak menyangka gadis itu akan berdiri di dahapannya kini.

"Semalam aku terus memantau kalian. Dan ternyata kalian tidak tahu apa-apa tentang tempat ini."

"Memangnya kenapa?"

"Danau yang ada di sana merupakan danau persembahan. Danau suci yang tidak boleh didekati oleh sembarangan orang."

"Termasuk aku?" Rizal menunjuk ke mukanya sendiri.

"Tentu saja. Kalian bukan orang Indigenos. Mustahil untuk bisa ke sana. Kalaupun kalian berhasil, bersiaplah pulang hanya meninggalkan nama."

"Uuh, ngeri banget sih. Fan, udah sini buruan turun!" perintah Rizal. Dengan hati-hati akhirnya Rifan pun turun.

"Kalian berdua sedang apa di pohon sepi ini?" tanya gadis yang agaknya sedikit galak itu.

"Pohon sepi? Maksudnya pohon yang baru aja aku panjat ini?" Rifan menyandarkan tubuhnya ke batang pohon.

"Ya ini namanya pohon sepi."

Karena namanya yang sedikit aneh, Rizal pun tertawa.

"Kenapa kamu tertawa?"

Rizal pun menyiapkan diri untuk menjelaskan, "Aduh, ya ampun. Ini namanya pohon magnolia. Memang sih agak aneh dari apa yang biasa aku liat. Soalnya daunnya di sini warnanya aneh. Ada dua warna, sebagian ijo sebagian lainnya pink. Biasanya sih magnolia warna pink."

"Jadi gimana tuh?" Rifan celingukan.

"Entahlah. Namanya juga kita berada di garis dunia berbeda dari yang seharusnya. Pasti ada yang ajaib buat kita, kan?" ungkap Rizal.

"Tapi aku penasaran, kenapa kamu menamakan pohon ini dengan nama pohon sepi?" Rifan memandang ke arah gadis yang sampai saat ini belum ia ketahui namanya.

"Apa kalian tidak perhatikan? Pohon jenis ini tumbuh sendiri dan tak ada pohon lain yang ada di dekatnya."

"Oh, bener juga tuh. Baru nyadar." Rifan cekikikan.

Dari kejauhan terdengar suara langkah kaki cepat yang menginjak ranting-ranting kering.

"Adya! Adya!! Kamu di mana?!"

"Hah? Siapa tuh?!" Rifan pun melihat ekspresi wajah si gadis yang mengisyaratkan bahwa suara orang itu tengah memanggilnya.

"Ya pak!"

"Ya ampun, nduk!"

"Bapak kenapa? Seperti ketakutan begitu?"

"Kamu musti pergi dari sini segera, nduk!"

"Maksud bapak apa?"

"Kamu jadi satu di antara 12 gadis yang akan ditumbalkan tahun ini, nduk!!!"

Gadis yang ternyata bernama Adya itu tak pernah menyangka dirinya akan menjadi korban selanjutnya dari sebuah tradisi yang begitu dibencinya.