Napas Rifan terlihat berat. Suhu badannya tinggi. Ia terkenan demam setelah tiba di rumah Janu. Keringat dingin mengalir di sekujur tubuhnya. Mulutnya terus mengerang menahan rasa sakit yang ia tunjukkan dengan tangannya yang memegang bagian perut.
"Apa tidak ada dokter di sini?" Rizal sangat cemas dengan keadaan temannya.
"Apa itu dokter?" Janu malah balik bertanya.
"Orang yang bisa mengobati yang sedang sakit."
"Hmm, tabib maksudmu?"
"Ah, ya! Tabib. Apa di kampung ini ada tabib?"
Seorang wanita yang sudah terlihat jelas keriput di dahinya masuk melihat keadaan Rifan yang tengah terbaring.
"Sejak kapan tubuhnya panas seperti itu, nak?" Wanita itu bertanya pada Rizal.
"Saya rasa sejak tadi malam. Saya lihat tubuhnya menggigil. Dia bilang sangat kedinginan dan dan terasa linu di beberapa bagian tubuhnya."
"Kamu jangan khawatir. Ibuku ini seorang ahli obat. Penyakit seperti ini pasti sangat mudah ia atasi." Janu melirik ke arah ibunya, Cempaka Dewi.
"Benarkah?! Alhamdulillah. Syukurlah kalau begitu." Rizal sedikit merasa lega.
Cempaka Dewi memegang pergelangan tangan kanan Rifan. Kemudian sedikit menekan daerah perutnya. Rifan yang awalnya meringis kemudian berteriak, menandakan ia merasakan sakit yang amat sangat.
"Janu! Kamu siapkan kunyit, adas, kayu manis, cengkeh, gula aren dan jahe. Dan didihkan air setengah kuali," perintah Cempaka Dewi.
"Baik, bu!" Dengan sigap Janu bergerak melakukan apa yang ibunya perintahkan.
"Memangnya teman saya ini sakit apa, bu?"
"Hmm, dari apa yang aku rasakan, lambungnya sedang bermasalah. Kamu tunggu saja di sini."
"Baik." Rizal menuruti pesan dari Cempaka Dewi.
"Se ... seperti ... nya aku baka-lan mati di si ... ni." Perkataan Rifan hampir saja tak terdengar karena suaranya begitu pelan.
"Kamu gak boleh ngomong kayak gitu. In syaa Allah kamu bisa sembuh." Entah kenapa butiran air mata Rizal jatuh begitu saja. Tak bisa dibantah, kini hatinya diliputi ketakutan. Ketakutan akan kehilangan teman yang sudah bertahun-tahun mengisi harinya.
"Papa sama mama pasti khawatir sekarang ini. Aku kangen mereka, Zal ...."
"Kita pasti pulang. Aku janji, aku akan cari tau gimana caranya biar kita bisa pulang. Jadi kamu musti kuat. Oke?!"
"Tolong ambilkan HP-ku dong, Zal ...." Suara Rifan begitu lemah. Rizal pun mengambilkannya.
"Ini ...."
"Baterenya masih ada ... 35% lagi. Aku gak bawa chargernya."
"Ngaco kamu. Kalo pun dibawa, kita gak bisa ngisi baterenya. Mana ada listrik di sini."
"Iya ya. Punyamu mana?"
"Punyaku disimpan di tas. Aku matikan biar baterenya awet. Sekarang tanggal berapa ya?"
Rifan memperlihatkan layar telepon pintarnya, "Lihat ...."
"Sekarang tanggal 24 Juni 2021. Artinya kita sudah 4 hari di sini. Kamu ingat, Janu pernah bilang kalau tahun ini tahun 229 Caka?" tanya Rizal.
"Ya, aku ingat."
"Kalo saja kita tahu konversi tahun antara Masehi dan Caka, mungkin kita bisa dapatkan informasi penting."
"Aku gak peduli ...." Rifan menatap dalam-dalam foto yang ada di layar gawainya. Sebuah foto keluarga dirinya bersama papa dan mama.
Melihat hal itu, air mata Rizal hampir jatuh kembali. Agar temannya tak melihat, ia pun berdalih ingin ke kamar mandi.
"Aku ke kamar mandi dulu sebentar ya." Rizal meninggalkan Rifan yang terbaring lemah menuju ke bilik tempat buang air yang ada di luar rumah Janu.
"Ibu memang pintar! Kenapa ya Janu tidak berpikir sejauh itu?" Janu menggaruk-garuk kepalanya.
Dari balik bilik jamban, Rizal mendengar percakapan antara Janu dan ibunya.
"Ah, kamu kapan pintarnya, hah? Hahaha." Cempaka Dewi tertawa.
"Kalau saja satu kepala mereka diganti dengan 1000 biji emas, kita bisa langsung kaya! Kita serahkan kepala mereka kepada Raja Chandrika!" seru Janu.
"Ibu akan gunakan uang itu untuk memperbaiki rumah kita yang sudah reyot ini. Kalau kamu mau apa, Janu?"
"Janu mau belikan ayam yang banyak. Biar kita bisa makan ayam tiap hari."
"Makan terus yang ada di kepalamu. Badanmu saja sudah gempal seperti itu. Perutmu sudah makin membuncit. Hahaha!"
"Apa? 1000 biji emas?" Rizal berkata pada dirinya sendiri dalam hati. Bergegas Rizal segera kembali ke kamar tempat Rifan berbaring. Dia benar-benar bingung, tindakan apa yang harus diambil di saat seperti ini. Andai saja Rifan dalam keadaan baik-baik saja, ia bisa memutuskan untuk pergi diam-diam dari rumah itu. Tapi kenyataannya? Rifan sedang sakit cukup parah. Tapi jika mereka tetap di situ, mereka akan diserahkan kepada sang raja dan kemungkinan besar nyawa mereka akan melayang. Hukuman pancung bagi penyusup terus terngiang di kepala Rizal.
"Fan! Kita harus segera pergi dari sini!" Rizal benar-benar sangat gelisah dan ketakutan.
"Kena ... pa?" Suara Rifan tercekat. Tenggorokannya pun terasa sangat sakit saat ia berbicara.
"Aku jelaskan nanti. Yang penting sekarang, kita tinggalkan rumah ini!"
"Kenapa kalian harus meninggalkan rumah ini?"
Suara Janu tiba-tiba terdengar dari arah belakang. Mata Rizal terbelalak ketika melihat Janu tengah membawa sebilah golok di tangan kanannya.