Matahari sudah agak meninggi. Cahayanya menerobos celah-celah di antara pepohonan tinggi. Janu berjalan paling depan. Disusul oleh Rizal dan Rifan di belakangnya. Sehari sebelumnya, hampir saja mereka berdua habis di tangan Janu. Untung saja dengan berpikir cepat, Rifan segera mengeluarkan gawai miliknya. Janu pun kemudian terkesima ketika melihat sebuah benda yang bisa mengeluarkan cahaya seperti itu untuk pertama kalinya.
Akhirnya, Rizal, Rifan dan Janu menghabiskan malam di dalam rumah tua yang gelap. Tanpa ada cahaya ataupun makanan yang bisa mengisi perut mereka. Janu menjelaskan dirinya tak bisa membuat api, karena tak membawa batu rijang yang biasa digunakan orang-orang setempat menghasilkan api. Alhasil, semalaman Rizal dan Rifan menggigil, tak kuat menahan hawa dingin hutan pedalaman.
"Kita mau ke mana sih?" Rifan bertanya dengan suara pelan pada Rizal.
"Katanya dia akan membawa kita ke pasar. Tempat kita bisa mendapatkan makanan."
"Masih jauh ya?"
"Entahlah. Mukamu sedikit pucat."
"Aku gak apa-apa. Kamu gak usah khawatir."
"Semoga saja tidak jauh dari sini ya." Rizal mencoba menghibur temannya sekaligus menghibur dirinya sendiri.
Dua jam lebih perjalanan di dalam hutan tanpa perbekalan makanan menjadi suatu pengalaman yang sangat menyiksa bagi Rizal dan Rifan. Rasa haus yang dirasakan bisa terobati dengan meminum air dari aliran anak sungai. Sementara rasa lapar karena dari kemarin sore tak ada yang bisa mereka makan, membuat dua anak remaja ini berjalan kewalahan.
"Cepatlah sedikit. Sudah hampir sampai!" teriak Janu.
"Yes, akhirnya kita sampai, Fan!" Muka Rizal berseri-seri.
"Akhirnya ...."
Janu menunjuk ke sebuah warung makan. Ada beberapa meja serta kursi yang terbuat dari kayu untuk tempat makan para pembeli makanan duduk dan menyantap makanan mereka.
Seorang pria kurus tersenyum seraya mendekat, "Mau pesan apa, Kisanak?"
"Hei, kalian berdua, kalian mau apa?"
Rifan melihat ke arah Rizal, "Kamu mau pesan apa?"
"Gak tau. Kan gak ada daftar menu di sini."
"Saya mau ikan bakar. Kalian?"
"Ya sudah, samakan saja, pak. Kami juga pesan ikan bakar, pak!" ujar Rizal.
"Baik, silakan ditunggu sebentar ya."
Rizal melihat keadaan di sekelilingnya. Para pedagang berjualan di pinggir-pinggir jalan. Kebanyakan menjual sayuran hijau dan pisang. Para pria banyak yang bertelanjang dada, tanpa mengenakan pakaian seperti yang digunakan Janu. Sementara para wanita menggunakan kemban.
"Silakan." Sang pelayan membawakan tiga ikan bakar dengan potongan cabai merah dan tomat di atasnya.
"Kalo aku perhatikan, sepertinya ini bukan di zaman kita yang seharusnya ya?" Rifan ternyata ikut mengamati keadaan sekitar.
"Ya, aku juga berpikiran sama denganmu. Masalahnya kita belum tau juga apa maksud orang misterius itu dengan garis dunia theta. Masih banyak yang harus kita tau untuk bisa pulang ke dunia asal kita."
"Kalian bicakan apa sih? Makanan sudah tersedia. Ayo dimakan!" perintah Janu.
"Ah, iya mas," kata Rifan.
Hanya dalam hitungan beberapa menit ikan bakar yang cukup besar itu pun habis menyisakan tulang-tulangnya saja.
"Kisanak! Kami sudah selesai makan." Janu memanggil pelayan yang tadi melayani, "ayo, mana uang kalian?"
Rifan segera mengeluarkan selembar kertas berwarna merah seratus ribuan, "Ini mas!"
"Apa ini? Kertas?"
"Uang kertas, mas!" Rifan menjawab dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya.
"Kalian tidak punya yang seperti ini?" Janu mengeluarkan batu-batu kerikil kecil berwarna perak.
"Tidak. Kami selama ini menggunakan uang kertas," papar Rizal.
"Celaka. Lari!!!" Janu mengambil jurus langkah seribu. Spontan saja Rizal dan Rifan ikut berlari.
"Hei, kalian bayar dulu makanannya. Hei! Waduh bisa rugi aku. Hei!!" Sang pemilik warung terus saja berteriak. Badannya yang kurus kering itu tak akan sanggup mengejar tiga orang muda yang larinya begitu cepat.
"Aku capek! Istirahat dong sebentar!" Rifan menyeka keringat yang ada di lehernya.
"Aku udah punya firasat dari awal. Uang kita tak berlaku di sini."
"Untung saja kita bisa lari cepat. Kalau tidak, habis kita disiksa sama para pedagang yang ada di pasar. Kalian sih!" gerutu Janu.
"Masnya kan pendekar. Tinggal lawan saja, ya nggak, Zal?"
Rizal yang ditanya temannya itu hanya tersenyum. Karena tak terlalu jelas terdengar, Janu mengabaikan apa yang Rifan katakan.
"Untuk sementara kalian tinggal saja di rumahku. Tinggal melewati satu gunung lagi, kita akan sampai di sana."
"Satu gunung lagi?!!!" teriak Rizal dan Rifan.
"Alah, dekat itu. Setengah hari juga sampai. Ayo!"
"Hmm, gini nih kalo orang yang tinggalnya di gunung. Jarak segitu jauhnya dibilang deket. Parah!" keluh Rifan yang juga sambil mendengus.
"Haha. Bener. Nenekku yang tinggal di desa juga gitu. Bilangnya deket, eh nyatanya musti jalan 5 kilo lagi."
"Memangnya aku tidak dengar apa yang kalian bicarakan, hah?!"
"Maaf!" sahut Rizal.
"Sambil jalan, apakah ada yang ingin kalian tanyakan? Aku yakin kalian bukan orang Indigenos. Karena dari tadi kulihat kalian seperti terheran-heran dengan apa yang ada di sekeliling kalian."
"Indigenos? Apa artinya?"
"Itu sebutan kami bagi orang-orang pribumi. Orang di luar kami berarti bukan indigenos."
"Hmm, begitu. Terus sebetulnya sekarang sedang ada di mana?" Tanpa ingin membuang waktu banyak, Rizal ingin mengumpulkan sebanyak informasi yang ia butuhkan.
"Kalian saat ini berada di wilayah kerajaan Tarangga. Dulu kerajaan ini merupakan kerajaan yang sangat besar. Tapi sekitar 20 tahun yang lalu, kerajaan ini menjadi pecah menjadi dua bagian. Kerajaan pertama masih menggunakan nama Tarangga, sementara kerajaan yang kedua disebut kerajaan Samanta."
"Kayaknya musuhan deh dua kerajaan ini. Soalnya dari awal, mas Janu nuduh kita berdua dari kerajaan Samanta, kan?" Rifan menyiku lengan Rizal.
"Apa benar begitu, mas?" Rizal membantu agar Rifan mendapatkan jawabannya.
"Ya. Kedua kerajaan sekarang menjadi musuh satu sama lain. Kami tidak diizinkan untuk memasuki kerajaan Samanta. Begitupula dengan orang-orang kerajaan mereka, tidak diperbolehkan masuk ke wilayah Tarangga. Jika masih nekat, maka orang yang masuk itu akan dianggap sebagai penyusup dan hukumannya adalah hukuman pancung."
"Hah?! Hukuman pancung?" Rifan menelan ludahnya. Ia tak bisa membayangkan jika ia sampai dituduh sebagai seorang penyusup.