"Om Aslam, kenapa Byan?" Tanyaku sekali lagi. Anak itu merasa salah tingkah saat Bening berkedip-kedip padanya.
"Mas, bukannya Om itu mau jemput Byan pulang?" Bening mengalihkan pembicaraan. "Byan sayang...kamu harus pulang ya. Kasian papi Byan," bujuknya kemudian.
"Kamu mengalihkan pertanyaan saya rupanya," desisku.
"Ehem." Deheman Rudy memecah interaksi di antara kami.
Sepertinya, ia sudah mengatasi emosinya. Ia menghampiri Byan yang masih dalam dekapan Bening. Kemudian berjongkok untuk menyamai tingginya.
"Maafin papi. Nak." Menggenggam erat tangan mungil itu, menatap penuh rindu wajah anaknya lekat-lekat.
"Papi gak bermaksud jahat sama kamu. Papi melakukan itu semua semata-mata karena papi..."
"Sayang sama Byan," potong anak itu. Rudy pun mengangguk, matanya mulai berkaca-kaca. "Byan juga sayang Papi," berhambur memeluk Rudy kemudian.
Sejenak, suasana menjadi haru akan tangisan ayah dan anak itu.
***
"Byan pulang dulu ya, Kakak cantik..." Pamit Byan ketika kami mengantar mereka ke luar dari toko.
"Iya...baik-baik ya, Byan guanteng. Jangan kabur-kabur lagi. Baik-baik sama papi. Kalo papinya galak lagi, bilang sama kakak, oke?" Byan mengangguk membuat Rudy tersenyum malu.
"Uhh...Kakak pasti kangen banget sama Byan..." Sedihnya memeluk Byan.
"Byan juga pasti kangen sama Kakak cantik...Byan boleh main lagi kan, ke sini?"
"Huum. Sering-sering main ke sini ya..."
"Gue pamit dulu. Sekali lagi makasih lo udah jagain anak gue. Sorry, gue udah salah ngira dan menuduh yang macem-macem," sesal Rudy dan aku hanya mengangguk. "Dan...Bening. Makasih kamu udah nyelamatin dan mengurus Byan selama seminggu ini. Pasti sangat merepotkanmu."
"Ya, Om. Dengan senang hati. Gak merasa direpotkan sama sekali juga, kok. Maaf soal yang tadi. Aku udah kurang ajar memukul tangan Om pake spatulla itu. Hehe..." menyeringai tak enak hati.
"Bukan masalah. Saya mengerti. Lagipula ini tidak sakit." menunjukkan tangannya membuat Bening tersipu malu mengingat tingkahnya tadi.
"Ehm, bisakah kamu memanggil nama saya saja?" Rudy merasa risih sekaligus malu. "Bukankah Aslam, maksudku, kami seumuran."
Wah, apa-apaan Rudy ini? Dia menjadikanku objek utama untuk menutupi harga dirinya.
Bening melirik padaku. Lalu menatap Rudy lagi, "Emmb...Kalian mungkin seumuran. Tapi maaf, Om. Mas Aslam lebih ganteng dan terlihat masih muda dari Om," ucapan Bening membuat Rudy kalah telak. Sedang aku merasa salah tingkah dibuatnya.
"Apa om Aslam zombie ber-sanklim?" Celetuk pertanyaan Byan membuat Bening tertawa riang.
"Ya...anggap aja kayak gitu." Bening tak berhenti menahan tawanya. "Tapi masih kalah ganteng kalo dibandingkan dengan Jin Hyuk oppa." mulai melantur yang tak aku paham ucapannya.
"Hah?" tuhkan, Byan aja tak mengerti.
"Sudah lupakan! Anak kecil gak perlu tau." mengacak rambut Byan.
"Kakak, stop! Nanti aku jelek," cebiknya.
"Emang jelek." menjulurkan lidahnya.
"Kakak!" menyilangkan tangan lalu cemberut. Bening berusaha membujuknya.
Lihatlah mereka! Mereka asyik dengan dunia mereka. Sedang Rudy terhanyut akan kedekatan mereka dan tak berhenti untuk menyunggingkan senyum di wajahnya. Wahh...
"Byan, sekali lagi om mau tanya." Kali ini giliranku berjongkok di hadapan anak kecil ini.
"Tanya apa, Om?"
"Tadi, yang diucapin kakak Bening soal om yang galak maksudnya apa?" Bujukku kali ini menginginkan penjelasan. Byan menatap Bening seolah meminta persetujuan untuk diungkapkan ataukah tidak.
Oh ayolah. Kenapa masih dibahas?
Ekspresi Bening menunjukkan seperti itu.
"Mas, om Rudy masih ada keperluan." Bening salah tingkah. Aku menatapnya dengan tatapan tajam.
"Iya, kan. Om?" mengkodekan diri supaya Rudy menyelamatkannya.
Rudy tersenyum. Memangnya aku gak bisa lihat kode kalian, apa?
"Ayok, Byan," ajak Rudy lalu pamit.
Byan menyalim tanganku dan juga Bening yang membuat Rudy terperangah akan sikapnya. Ya, itu ajaran istriku, Rud!
Kami menatap kepergian ayah dan anak itu. Byan terus melambaikan tangannya seolah tak rela jika berpisah dengan Bening. Begitu pun dengan istriku yang terlihat sedih saat anak itu pergi.
Apa sebaiknya kita mempunyai anak sendiri sehingga perhatian Bening akan tersita hanya untuk buah hati kami saja? Akh, pemikiran apa itu? Memikirkan itu membuatku menginginkannya. Bisakah?
"Mas, aku beresin meja dapur dulu, setelah itu ambil tas sama kunci tokonya. Tunggu ya."
Aku mengekori Bening, membantu menutup rolling blind yang masih terbuka. Sepanjang itu aku masih ingin menggodanya untuk bersikap jujur akan apa yang diucapkan Byan tentangku. Om Aslam galak? Apa Bening menganggapku seperti itu?
"Bening,"
"Ya Mas?"
"Apa selama ini saya tidak bersikap baik padamu?"
"Tidak."
"Hah? Jadi selama ini saya..."
"Maksudku, Mas tidak begitu. Hehe..."
"Lalu, apa maksud omongan Byan tadi?"
"Lupakan, Mas! Kadang anak kecil, kan, ngomongnya suka ngawur."
"Tapi anak kecil gak pernah berbohong."
Bening terdiam, dia sibuk sendiri membereskan peralatan menghias kue tadi bersama Byan.
"Apa Mas udah makan malam?" tanyanya mengalihkan pertanyaan.
"Jangan mengalihkan pertanyaan, Bening! Dan tatap saya, jika saya sedang mengajak bicara!" Aku menarik tangannya, kegiatannya terhenti.
"Ya, Mas. Aku dengerin," ujarnya tanpa mau menatapku.
"Saya gak perlu kamu buat dengerin. Tapi, tatap saya jika sedang bicara!" Menghentakkan lengan tangannya.
"Ya, Mas." Bening menatapku. Pandangan kami bertemu. Seolah terhipnotis aku tak bisa menghindari tatapannya.
Tatapan sendu itu, membuat aku kehabisan kata-kata. Aku hanya ingin terus berlama-lama memandangnya dalam kedekatan kami saat ini. Seolah waktu berhenti sejenak. Dan sialnya tubuh ini tak bisa diajak kompromi untuk tidak menahan diri. Wajahnya yang manis, bulu matanya yang lentik tanpa maskara, hidungnya yang mancrit. Dan...bibir merah muda itu begitu menggodaku.
Tahan Aslam, tahan!
Berkali-kali hatiku meneriakkan kalimat itu. Seperti halnya aku yang tak bisa menahan emosiku jika dia berdekatan dengan siapapun atau orang lain mendekatinya, aku juga tak bisa menahan tubuhku untuk mendekatinya. Tubuhnya layaknya magnet yang terus menarikku.
Tak pernah aku merasakan perasaan yang membuncah seperti ini. Tak pernah pada Erina sekali pun. Dulu, mencintai Erina hanya puas dengan sekedar menyalurkan nafsuku saja, begitu pun dengan Erina yang selalu memberikan kenikmatan itu tanpa harus diminta.
Tapi dengan Bening, dengan istriku, perasaan aneh ini terus melekat dan bermunculan. Bukan sekedar nafsu belaka. Tapi perasaan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Seakan mendapatkannya adalah hadiah utama dari pemenang undian.
"Apa...kamu dan Byan membicarakanku dengan buruk? Kalian juga menganggapku zombie? Tidak, mungkin kalian menganggapku monster yang jahat?" Aku berucap lambat-lambat tepat di depan wajahnya yang hanya beberapa centi dari wajahku.
Bening salah tingkah. Aku menipiskan bibir melihat tingkahnya. Bahkan wajahnya memerah. "Ng-nggak." memalingkan wajahnya.
"Nggak apa? Nggak bohong?" Aku menahan senyuman yang nyaris saja mengukir bibirku. Menggoda Bening membuat aku ingin selalu tersenyum karenanya.
"Ah, kamu diam berarti benar apa yang saya katakan. Kalian menganggapku monster yang mengerikan."
"Tidak! Mas bukan monster. Mana ada monster ganteng kayak gini?" semburnya kemudian, malu sendiri akan ucapannya.
"Ya, aku bilang sama Byan kalo Mas galak bukan berati benci. Itu semua karena Mas mengkhawatirkan aku. Mas ngelakuin semua itu karena Mas sayang sama aku. Eh. tidak! Mungkin gak sayang. Maksudku, aslinya Mas itu orang baik, Mas suka marah-marah karena..." lanjutnya dengan terbata-bata.
Aku tak bisa menahan diri lagi. Saat itu juga aku membenamkan bibirku pada bibirnya. Membuat ucapannya terhenti. Melihatnya yang berbicara tanpa jeda itu sungguh menggemaskan. Apalagi mendengar kata-katanya yang berasumsi tentangku, membuat aku melambung tinggi. Tak hanya memujiku tampan, tapi dia menafsirkan kegalakan dan sifat marah-marahku karena kucemas dan sayang padanya.
Sayang? Entah mengapa aku begitu senang jika ia mengira aku begitu padanya. Tapi, benarkah itu adalah rasa sayangku padanya? Rasa sayang yang tanpa sadar sudah kupupuk dalam hatiku.
Lummatan kecil ini masih terus berlanjut. Rasanya tak ingin segera kulepas pagutanku pada kemanisan bibirnya. Kurasakan tangan Bening mendorong tubuhku. Aku semakin merapatkan tubuhnya dalam pelukanku. Tak ingin moment intim ini segera berakhir. Perasaan marah dan kesal kurasakan jika ia menolakku. Maka, semakin dalam aku menyesap keseluruhan bibir dan mulutnya.
Sedikit tak sabar aku menikmati dirinya. Aku memapah tubuhnya dan mendorongnya di atas meja makan. Bibir sialan ini terus mengeksplore dirinya. Aku mengecup lehernya. Mengendus akan aroma tubuhnya. Aku semakin mencecap. Ada pula tangan sialan ini tak sabar berpetualang mengagumi tubuh istriku. Sedikit menyingkap kaos yang ia kenakan hanya sekedar merasakan kemulusan dan kehangatan dari kulit di balik kaosnya. Ada sesuatu yang begitu pas di genggaman tangan. Berbeda dengan Erina yang berukuran lebih karena penyuntikan filler.
Ini kali kedua aku melakukan sesuatu yang pasti akan membuatnya semakin ketakutan. Tapi, hal ini membuatku menagih kembali ketika terakhir kali aku melakukan hal menyenangkan ini padanya.
Kenapa? Kenapa aku selalu bergelora bila berdekatan dengannya? Mengapa kau tak pernah tidur seperti biasanya, Junior?
Lantas, apa yang harus aku lakukan jika kali ini aku tak bisa menahan hasrat yang sudah memuncak ini?
"M-mas..." Sekuat tenaga Bening berusaha menjauhkanku. Namun, raga ini dengan sekuat tenaga pula tak ingin dia menjauhkanku.
"Ssst...jangan menghindar. Kumohon..." Aku berbisik serak, menyesuaikan nafasku yang hampir habis. Wajah kami masih berdekatan, tak ingin aku menjauh dari wajahnya. "Bukankah...halanganmu sudah selesai?"
Entah mengapa aku menanyakan hal itu? Deru nafasku pasti terasa begitu menggebu depan wajahnya. Kabut gairah ini sungguh tak bisa aku tahan lagi. Aku bagaikan seorang predator yang haus akan kenikmatan surga dunia jika aku tak bisa menyatukan tubuh kami.
"Di mana, kamarmu?" Tanyaku tak tahan.
Tak mungkin, kan, kami melakukannya di area dapur toko dan di atas meja ini? Apalagi, mungkin ini pengalaman pertama untuk istriku. Walau bagiku melakukannya di mana saja adalah suatu petualangan yang menyenangkan.
Ya, jika dia masih 'tersegel'. Kalau tidak, apakah aku akan tetap menerimanya?
Sungguh pemikiran yang egois. Padahal aku juga pria brengsek yang sering melakukannya bersama Erina, dulu. Sehingga aku mungkin saja tak tahu apakah Erina masih suci atau tidak.
"Kenapa tanya kamarku?" Gugupnya.
"Aku...ingin meminta hakku!"
"Hah?" Bening terlihat panik dan salah tingkah.
"Apa kamu gak mau melayani suami kamu sendiri?" aku menahan, siap untuk kecewa.
"Mas, tapi...bagaimana dengan mbak Erina?" Pertanyaannya membuat aku tertegun. "Ma-maksudku, bukankah Mas menunggu mbak Erina kembali? Apa yang akan dia pikirkan jika pria yang dicintainya melakukan 'itu' dengan wanita lain?"
"Kamu bukan wanita lain!" hardikku tak terima. "Kamu bukan wanita lain. Kamu, istriku!"
"T-tapi Mas..."
"Dan aku suamimu! Aku berhak meminta hakku, bukan?" pungkasku kesal atas pertanyaan konyolnya sebelum ia melanjutkan ucapan penyanggahannya kembali.
Konyol? Mengapa aku berpikir demikian? Seolah aku adalah suami yang sungguh-sungguh menerimanya lahir dan bathin. Dan aku tak terima jika ia mengira bahwa dirinya wanita lain yang merebut pria seseorang.
Erina? Saat ini masa bodoh dengan dirinya. Yang aku inginkan saat ini adalah Bening. Istriku!
Tanpa mau berdebat lagi dan tanpa bisa menahan diri aku mendekatkan wajahku dan membenamkan ciummanku kembali tanpa mau ditolak. Aku menciummnya dengan dalam dan menuntut. Kurasa Bening kewalahan. Dia yang sepertinya tak berpengalaman mencoba menerima seranganku. Dan aku senang, karena kali ini ia tidak menjauhkanku.
Aku menggiringnya berbaring di atas meja besar yang berada tepat di tengah dapur. Tanganku tak bisa diam saja, sudah tak terkendali dan meneruskan kegiatanku sebelumnya. Aku mencari-cari sesuatu yang pas di genggaman tanganku kembali, di balik kaos yang ia kenakan. Sangat pas dan...hangat.
Terdengar lirihan desahannya. Ugh, sungguh aku tak bisa menahan diri untuk tidak menikmatinya. Bibir dan tanganku menjamah keseluruhan tubuhnya. Aku mengklaim kepemilikanku!