'Hari ini saya jemput. Jangan pulang duluan! Jangan plg naik ojol apalagi motormu itu!'
'Ya Mas'
'Udah makan?'
'Udah. Bekal maksinya udah Mas makan?'
'Udah. Thanks.'
'Oke'
Setelah berkirim pesan tadi siang, sorenya aku bergegas pulang menjemput Bening menuju toko. Untungnya, pekerjaan hari ini gak begitu banyak. Bila dipikir-pikir, semenjak menikah kesibukan pekerjaanku tidak seperti dulu. Banyak waktu senggang yang aku dapatkan bahkan hanya sekedar menghubungi istriku seperti sekarang. Padahal setelah menikah banyak sekali pekerjaan yang aku terima dari perusahaan yang ingin bekerjasama dengan perusahaanku. Namun, semuanya terasa ringan.
Kesibukanku dulu mungkin terjadi karena peralihan diri karena terlarut memikirkan Erina. Tetapi, akhir-akhir ini ada seseorang yang membuatku mengalihkan diri hanya untuk memikirkannya setiap saat.
Ya, ada apa dengan diriku ini? Tak pernah aku seperti ini saat bersama Erina dulu. Perasaan takut dan takut ketika aku bersikeras mencoba menyangkal perasaan ini. Hingga rasa takut ini membuat rasa sesak yang tercipta dalam dada saatku semakin dalam memikirkannya.
Tidak mungkin hatiku berpaling pada seseorang yang baru semingguan lebih ini aku nikahi! Tetapi, jika memang Yang Maha Kuasa sudah menentukannya, maka tak ada seorang pun yang berpaling dari pemilik hati yang sesungguhnya, bukan?
Saat ini aku bergeming di tempatku berdiri. Terlihat dari luar aktivitas yang dilakukan oleh kedua orang di dalam toko itu. Satu perempuan manis yang masih berkutat mengurus anak kecil yang sedari tadi mengikutinya. Yuni, salah satu pegawai toko itu melambaikan tangannya. Pamit pulang karena waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Disusul dengan Iman yang pamit setelahnya.
Yuni keluar dari toko dan hendak memanggil istriku ke dalam ketika dia melihatku sedang berdiri di luar.
"Jangan!" Aku menghentikannya. "Biar saya saja."
"Oh ya. Kalo gitu saya permisi pulang dulu, Mas," pamitnya kemudian lalu pergi.
Aku mengambil ponselku. Dan orang yang kutunggu ternyata tiba sebelum aku hendak menghubunginya kembali.
"Sorry, gue telat," ucapnya.
"Lo yakin anak gue ada di sini?" Aku mengangguk.
"Di tempat ini?" Rudy gak percaya.
"Lo gak liat anak yang di dalam itu?" Tunjukku ke belakang tanpa membalikkan tubuhku.
"Anak mana? Gue gak liat siapa-siapa." Rudy celingukan.
Aku membalikkan tubuhku dan ternyata tak ada mereka di dalam.
"Ya udah, kita masuk aja," ajakku kemudian.
Kami memasuki toko. Aroma harum dari kue yang baru selesai di panggang menyeruak ke dalam hidung. Bahkan harum aroma cake dan bunga-bunga yang di pajang tercium pula. Suasana begitu hening. Mungkin karena sudah jam pulang, rolling blind toko sudah ditutup sebagian. Aku menyusuri langkahku mencari sosok yang ingin segera kutemui. Rasanya begitu familiar mengingat dulu selama sembilan bulan itu, setiap hari, aku setia mengambil pesanan bunga dan cake pesanan mama.
Sayup-sayup terdengar obrolan dari ruang dapur. Aku dan Rudy melangkah perlahan. Sosok yang dicari ternyata ada di sana. Mereka duduk berhadapan. Di bawah cahaya lampu yang menyoroti dirinya membuat sosok itu bersinar terang. Pemandangan yang memabukkan mata. Walau aku tak suka dengan sosok anak yang ada di hadapannya itu memaksa istriku untuk terus bersikap ceria dibalik kelelahannya.
Tapi satu hal yang pasti, aku tak bisa menyangkal pemandangan indah itu. Mereka bagaikan sosok ibu dan anak yang berbahagia. Dan kurasa Rudy merasakan apa yang aku rasakan. Terlihat dari cara dia memandang dua orang yang sedang asyik bercanda dan mengobrol itu.
Seolah tak ingin pemandangan indah itu berakhir, sepertinya aku dan Rudy melakukan hal yang sama. Yaitu, sama-sama terdiam menyimak obrolan demi obrolan di antara mereka. Toh mereka tidak menyadari kehadiran kami yang sedari tadi berdiri di ambang pintu ini. Sesekali kami tersenyum saat mendengar interaksi keduanya. Kulihat Rudy berbinar bahagia. Sudah lama aku tak melihat ekspresi senang dari raut wajahnya.
Aku mengepalkan tanganku. Rudy memang temanku dan aku berempati padanya yang kehilangan istri yang dicintainya lima tahun lalu. Tapi dia istriku! Tak bisakah kau menjaga pandangan bahagiamu itu saat melihatnya di hadapanku?
Hingga obrolan itu terhenti, menyita perhatian kami. Terutama aku yang tak terima saat anak itu berkata:
"Kalo gitu, Kakak cantik jadi mamiku aja dan nikah sama papih. Papih kan sama, syuka marah-marah kayak om Aslam. Kalo Kakak cantik jadi mami Byan, papih marah-marahnya entar karena cemasin Byan sama mami juga,"
Ucapan anak itu, ingin rasanya aku menghardiknya dengan keras. Tapi sungguh tak etis ketika pria dewasa sepertiku berdebat dengan anak kecil. Rudy tersenyum getir saat melihat ekspresiku. Kurasa ia tau apa yang aku rasakan. Ya, seharusnya lo tau, Rud!
"Byan, papi datang. Ayok pulang, Nak."
Rudy membuka suaranya. Akhirnya ia melakukan tindakan yang benar. Kedua orang itu menoleh bersamaan. Tak lama keduanya mengerutkan kening. Aku dan Rudy melangkah menghampiri mereka. Hal tak terduga terjadi. Byan, anak itu turun dari kursi lalu segera berhambur menghampiri Bening dan memeluk pinggangnya dengan erat. Dia bersembunyi. Raut wajahnya terlihat jelas, ia begitu ketakutan. Ternyata benar, anak itu adalah putranya Rudy.
Langkah kami terhenti tepat di hadapan mereka. Mata Bening menunjukkan sorot pertanyaan 'Ada apa?' ketika menatapku. Terutama Rudy yang terlihat shock ketika melihat anaknya yang malah bersembunyi seolah meminta perlindungan.
"Byan..." Rudy terlihat frustasi. Tangannya terulur hendak menyentuh anaknya.
"Kakak, aku takut..." Semakin menenggelamkan wajahnya pada tubuh Bening.
"Byan, ini papi! Kamu tau? Papi khawatir banget kamu ngilang!" gertak Rudy menahan kekesalannya.
"NGGAK! PAPIH JAHAT! Papih gak sayang ama Byan!"
"BYAN!" Suara Rudy meninggi, membuat anak itu semakin ketakutan. Begitu pun denganku dan juga Bening yang sama-sama berjingkat dan terperangah akan sikap Rudy yang keras.
"Pokoknya Byan gak mau pulang! Gak mau pulang!" Byan menangis histeris.
"Sst...sst..." Bening memeluk, menenangkan.
"Tenang Rud, jangan kayak gitu menghadapi anak kecil. Apalagi sama anak sendiri," ucapku mencoba menenangkan Rudy.
Wah, padahal aku sendiri terkadang bersikap jutex pada anak itu karena menyita perhatian istriku. Lihatlah, ekspresi Bening saja merasa jengah akan perkataanku.
"Gimana gue bisa tenang, Lam? Selama seminggu ini gue kerahkan semua anak buah juga polisi buat nyari anak gue. Tapi ternyata gak ada hasilnya!" Rudy frustasi.
"Dan ternyata, elo? Lo yang udah nyembunyiin anak gue selama ini?" tuduhnya kemudian.
"Kok, lo jadi nuduh gue?" aku terpancing emosi. "Seharusnya lo bersyukur karena anak lo aman bersama kami!"
"Dengan nyembunyiin anak gue selama seminggu ini dan lo baru bilang sekarang?"
"Gue baru tau dia anak lo!"
"Bulsh*t!"
Wah, Rudy benar-benar keterlaluan. Tau begitu gak seharusnya aku memberitahu anaknya ada di sini.
"Dasar gak tau berterimakasih lo, ya. Masih untung anak lo selamat. Entah apa jadinya kalo bukan Bening yang nemuin anak lo! Demi ngelindungin anak lo, dia jatuh dari motor dan terluka. Setiap hari, selama seminggu ini, dia berperan kayak nyokap anak lo tanpa memedulikan dirinya sendiri. Anak lo yang manja dan sering merajuk membuat waktu bini gue tersita. Bahkan, bonyok gue ampe berperan layaknya kakek dan nenek cuma demi anak yang gak tau asal usulnya. Dan lo liat sendiri, lihatlah! Bini gue rela menahan rasa lelahnya hanya demi anak lo merasa senang!" Aku nyeroscos tanpa henti. Merasa kesal akan sikap Rudy yang sedang frustasi.
"Mas, aku senang, kok. Dan gak merasa capek," sanggah Bening merasa tak enak jika Byan salah paham.
"Diam dan jangan mengelak lagi! Kalo CAPEK bilang aja CAPEK! Kenapa harus merasa gak enak sama anak itu? Memangnya dia anakmu apa?!" Aku membentak, membuat Bening menutupkan tangan pada telinga Byan.
Memang benar, emosi membuat kita gelap mata dan tak bisa menjaga kata-kata. Yang ada dalam hati, itulah yang keluar. Maka segala prasangka terjadi begitu saja. Hingga tak mempedulikan perasaan orang lain dan sekitar. Dan untuk pertama kalinya, setelah sekian lama, mungkin itu kalimat terpanjang yang aku ucapkan tanpa berpikir panjang. Emosi menguasai jiwa sehingga tanpa berpikir itulah aku mengungkapkan apa yang selama ini aku pendam dan aku rasakan.
"Byan, om minta maaf. Tapi tolong sebaiknya kamu pulang sekarang sama papi kamu yang gak tau diri itu!" Karena amarah aku sampai lupa bagaimana harus bersikap pada anak kecil.
"Mas!" Bening melotot padaku.
"Byan, ayok ikut pulang sama papi sekarang!"
Rudy menarik Byan yang terus menempel pada Bening. Kurasa ia merasa tak enak dengan perdebatan yang terjadi setelahnya. Dari ekspresinya, Rudy terlihat kesal karena aku membentak Bening. Hei, kenapa kamu marah?
"GAK MAU! Aku gak mau! PAPIH JAHAT! Papi gak sayang Byan!"
"BYAN, denger papi! Kamu harus pulang! Ato papi bakal kirim kamu ke rumah eyang di Surabaya." Rudy mengancam.
Tubuh Bening bergerak-gerak karena Byan tak mau melepas tangannya untuk memeluk. Sedang Rudy yang terus menarik paksa Byan agar terlepas dari perlindungannya.
"AWW!"
Kegiatan itu terhenti ketika Bening memukul tangan Rudy dengan spatula plastik yang ada di atas meja. Rudy memekik kaget biarpun benda itu kecil tapi memungkinkan tangannya merasa pedih akibat pukulan spatula itu. Begitu pun aku sendiri yang melongo saat melihatnya.
"Jangan kasar-kasar sama anak kecil, Om!" Bening semakin mendekap erat Byan dalam pelukannya. Tak lupa spatula masih ia pegang. Jaga-jaga bila Rudy memaksa Byan lagi.
"Kakak kenapa pukul papih?" Byan berhenti menangis melihat Bening memukul Rudy. Anak itu masih saja tetap perhatian pada ayah yang tak tau diri itu.
"Hehe, maaf. Kakak gak sengaja. Kakak pikir tadi ada zombie mau culik Byan."
Byan menoleh melihat raut wajah ayahnya. Sedang Rudy hanya melongo ketika Bening menyebutnya sebagai zombie. Aku hanya bisa menahan tawaku.
"Zombie?"
"Ya, zombie penculik anak-anak."
"Tapi, papih Byan ganteng. Gak jelek kayak zombie."
Lihatlah anak polos dan menggemaskan itu, Rudy! Sekejam apa yang kamu lakukan hingga Byan begitu takut padamu? Seharusnya Rudy bisa merasakan betapa besarnya rasa cinta dari Byan untuknya. Bahkan anak itu tetap membelanya.
"Iya, zombie ganteng bisa aja pake sunscreen."
"Sanklin?" Byan mengening.
Ya Tuhan, apa yang istriku ucapkan itu sehingga membuat anak kecil yang sedang di hadapannya kebingungan. Jangankan Byan, aku dan Rudy yang mendengarnya merasa bingung. Tak mengerti apa yang dibicarakannya. Namun satu hal yang pasti, sebisa mungkin kami - aku dan Rudy - menahan seulas senyum yang mengukir sudut-sudut bibir kami saat mendengar apa yang Bening katakan.
"Lupakan!" Bening mengibas tangannya lalu mengusap rambut kepala Byan dengan sayang. "Byan ganteng...kamu emangnya gak kangen sama papi? Udah semingguan, lho... papi cari Byan. Kasian papi, dia kesepian gak ada anak ganteng ini di rumah," tuturnya lembut kemudian.
"Kangen, tapi papih gak kangen Byan. Tadi aja, papih marah-marah..."
"Kalo papi gak kangen, ngapain papi cari Byan? Inget gak, yang kakak bilang tadi? Kalo orang marahin kita karena suatu alasan itu tandanya?"
"Orang itu cemasin kita karena mengkhawatirkan kita," ucap Byan dengan mengejanya.
"Good job!" Elusan sayang mendarat di kepala Byan.
"Kayak om Aslam yang suka marahin Kak-, umptt..." Bening segera membekap mulut Byan lalu menyeringai padaku.
"Om Aslam apa, Byan?" Tanyaku membuat keduanya menegang. "Apa yang kak Bening bilang tentang om Aslam?"
Byan menatapku kemudian menatap Bening. Dua orang itu benar-benar terlihat menggemaskan ketika merasa gugup seperti itu. Padahal dengan jelas aku dan Rudy mendengar semua percakapan mereka.
Ya, aku hanya ingin mengetes dan menggodanya saja :)