Chereads / Alunan Indah / Chapter 12 - 12. Perkelahian

Chapter 12 - 12. Perkelahian

BRAK!

Ucapan Dosen berhenti saat suara pintu yang di dobrak keras, terdengar. Semua pasang mata kini mengalihkan tatapannya dari aku, ke arah pintu ruangan vokal yang terbuka lebar.

"Faya, pasangan saya Bu."

Arga ....?

Aku masih diam termangu. Bahkan sampai Arga duduk di sampingku sembari tersenyum mempesona.

"Hai," sapa Arga menatapku yang belum bisa melakukan apa-apa.

"Arga .... " suara Dosen terdengar menahan geram. "Baiklah, Arga dan Faya pasngan untuk mengambil nilai praktek di pertemuan berikutnya."

Aku mengabaikan Arga yang masih menatapku dan mengalihkan tatapanku ke arah Dosen yang kembali tersenyum ramah. Mataku tanpa sengaja melirik Kak Gasta yang ternyata juga menatapku, aku melambaikan tangan sembari tersenyum yang berusaha aku tampilkan semanis mungkin.

Kak Gasta membuang muka dengan wajah datarnya. Membuatku menelan ludah dengan pahit.

Tidak, tidak. Aku tidak boleh menyerah.

Dosen masih terus berbicara dan aku benar-benar berusaha fokus mendengarkan Dosen walau sebenarnya tidak bisa, karena sedari tadi Arga terus menatapku tiada henti. Aku  mengetahuinya karena aku bisa melihat Arga dari ekor mataku.

"Faya .... "

Panggilan itu ... membuatku hampir saja menoleh.

"Fay, lo benci banget ya sama gue?"

Cih, setelah mencampakkan diriku begitu saja, dia masih bertanya aku membencinya atau tidak?

Aku benar-benar membencimu Arga, sangat membencimu.

Aku masih menatap depan, tidak menghiraukan Arga walau dadaku berdenyut sakit setiap kali mendengar suara lembut Arga yang membuatku mengenang masa lalu yang menyakitkan itu.

Dari waktu 60 hari yang kujalani bersamanya, yang aku ingat hanya bagaimana Arga memutuskanku tepat di hari 60 hari kami resmi menyandang status kekasih yang langsung berubah menjadi mantan saat itu.

"Lo masih cantik ya,"

Aku meneguk ludah.

"Lo masih sekalem dulu ...."

Aku mengerjapkan mata saat melihat Kak Gasta menatapku sembari berjalan ke arah kami. Larat, Kak Gasta berjalan ke kursi di samping Arga. Aku menatap kehadiran Kak Gasta yang tiba-tiba duduk di samping Arga tanpa mengatakan apapun.

Namun, ketika aku menatap Kak Gasta, Arga yang membalas tatapanku sedang tersenyum mempesona. Membuatku tanpa sadar menatap Arga cukup lama, dan hal itu benar-benar menyakitkan ketika aku terus mengingat fakta bahwa Arga telah mencampakkanku.

"Faya?"

Aku memalingkan wajah saat Arga kembali memanggil namaku. Aku menatap luar jendela dan kembali memperhatikan taman belakang kampus dengan mata memanas.

Tidak lama kemudian, aku mengerutkan dahi saat mendengar sebuah percakapan samar-samar dari sampingku.

"Gue cuma mau nagih janji lo,"

"Janji apa sih anj--, astagfirullah. Janji apa maksud lo?"

"Lo lupa? Sepatu gue,"

"Lah?"

"Sepatu gue yang ditumpahin jus sama teman lo, bukannya lo yang mau ganti rugi?"

"Oh ... Berapa?"

"Nggak mahal kok, dua puluh lima juta."

Aku terdiam sesaat.

Beberapa menit, aku tidak mendengar suara Arga lagi. Aku menoleh ke samping, melihat Arga sedang memberikan kartu debitnya kepada Kak Gasta.

"Urusan lo selesaikan sama Faya?"

Kak Gasta menatapku sekilas. "Tanya dia,"

Arga menatapku bergantian dengan Kak Gasta. "Maksud lo?"

"Urusan gue sama dia bisa selesai kalau aja dia nggak kegatelan ke gue."

Kalian mendengar itu, kan?

Bunyi sesuatu yang patah?

Ya, hatiku patah mendengar pernyataan Kak Gasta.

Baru saja tadi pagi aku menjadi bunga yang segar karena baru disiram oleh kebaikan Kak Gasta di perpustakaan, tetapi sekarang aku menjadi bunga layu yang hendak mati.

BUGH!

Arga memukul wajah Kak Gasta hingga Kak Gasta tersungkur ke lantai.

Aku langsung berdiri dengan panik, sontak semua orang di dalam ruangan ini langsung menoleh ke arah Arga dan Kak Gasta yang kini sudah berdiri sembari memegangi rahangnya.

Para wanita sudah memekik ketakutan saat melihat darah yang keluar dari sudut bibir Kak Gasta. Bahkan Dosen sudah memegangi dadanya, mungkin jangtungnya tidak kuat untuk melihat perkelahian.

BUGH!

Kak Gasta membalas memukul Arga di wajah, lalu menendang perut Arga hingga tersungkur ke lantai.

Aku berjalan mendekat ke arah mereka dengan pipi yang basah sudah dipenuhi air mata. Tungkai kakiku lemas, badanku terasa ringan, jantungku berdegup kencang, untuk pertama kalinya aku melihat perkelahian secara nyata di depan mata. Selama ini aku hanya melihat perkelahian di film, drama, yang tampak seru dan tidak menakut'kan seperti sekarang.

Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa, semua terasa seperti mimpi dan benar-benar di luar dugaan. Aku bingung dan tak tahu harus melakukan apa selain menonton perkelahian itu dengan perasaan campur aduk.

Arga berdiri, ia mendecih dan mengeluarkan darah dari sudut bibirnya yang lebam.

"Maksud lo apa ngomong gitu ke Faya?! Anji*g!" teriak Arga marah kepada Kak Gasta yang menatap Arga datar.

Kak Gasta menatapku, aku membalas tatapan Kak Gasta dengan tatapan memohon. Aku sangat berharap dia memberi sedikit saja rasa kasihannya padaku, untuk tidak mempermalukanku di depan umum.

Tapi sepertinya harapanku tidak akan terkabul.

"Lo yang mau gue berhenti berurusan sama dia, 'kan?" tanya Kak Gasta bergantian menatapku dan Arga.

Arga ikut menatapku.

"Dia yang suka dekat-dekat sama gue, bukan gue. Jadi nggak ada salahnya gue bilang dia kegatelan?"

"Gasta!"

Kak Alice mendekat ke arah Gasta dan berusaha menarik lengan tangan Kak Gasta untuk menjauh dari keramaian di ruangan ini.

"Lo pede banget ya?"

Kak Gasta yang hendak menjauh, kini menghentikan langkah, sedangkan Kak Alice terus membujuk Kak Gasta untuk pergi sembari menggenggam tangan Kak Gasta dengan raut wajah khawatir.

Arga berjalan mendekat ke arahku. "Faya nggak akan mungkin suka cowok yang nggak bisa menghargai cewek."

Aku meneguk ludah getir. Arga salah, dia telah mengatakan suatu kesalahan besar.

Arga, aku telah berubah semenjak kamu memutuskanku.

Aku bisa melihat bahwa Kak Gasta melepaskan genggaman tangan Kak Alice di jemarinya.

"Lo itu brengsek bro," Arga terkekeh sinis. "Nyokap lo sia-sia ngebesarin lo, cuma jadi sampah."

Aku masih menangis tanpa suara. Air mataku keluar tanpa diminta, aku tidak tahu ekspresi wajahku seperti apa sekarang.

"Gasta, sudah cukup!" terikan Dosen itu tidak dihiraukan oleh Kak Gasta.

Kak Gasta terus berjalan menghampiri Arga. Dia berhenti tepat di hadapan Arga yang di sampingku.

"Jaga mulut lo, anji*g!"

BUGH!

BUGH!

BRAK!

Kak Gasta meninju Arga dua kali hingga Arga tersungkur menabrak meja.

"GASTA GUE BILANG UDAH!" teriak Kak Alice panik dan mendekat ke arah mereka.

Teriakan-teriakan mulai terdengar mengisi ruangan vokal ini.

Arga berdiri dengan tertatih, saat Kak Gasta hendak kembali melayangkan tinju, dengan lihai Arga mengelak dan mengunci tubuh Kak Gasta dari belakang lalu menyikut punggung Kak Gasta dengan lutut.

"SEMUA YANG PEREMPUAN KELUAR!"

Para mahasiswi dengan panik berlari keluar bersama Kak Alice dan Dosen. Mereka semua berdiri di pintu dan menonton perkelahian yang berusaha di hentikan oleh para mahasiswa dan tidak ada yang berhasil menghentikan perkelahian itu.

Kak Gasta memutar tubuh, ia menendang perut Arga hingga membuat Arga tersungkur di lantai. Arga langsung berdiri dan berlari menyerang Kak Gasta dengan ganas. Ia melayangkan tinju berkali-kali hingga wajah tampan Kak Gasta penuh lebam.

Tidak, aku tidak akan membiarkan Arga melukai pangeranku.

"ARGA CUKUP!" teriakku memenuhi ruangan ini yang tiba-tiba menjadi hening.

Aku melangkah mendekati dua lelaki itu dalam posisi Arga yang sedang duduk di perut Kak Gasta yang terbaring lemah. Arga menghentikan kepalan tangannya yang hendak memukul Kak Gasta di udara.

Sosok mahasiwa yang tak ku kenal menahanku agar tidak mendekat ke dua lelaki itu. "Lepasin gue!" teriakku dengan suara bergetar dan menghentakkan tanganku kasar membuat cekalan mahasiswa itu terlepas dari tanganku.

Aku berdiri di hadapan Arga yang masih menatapku. Air mataku terus mengucur membasahi pipi, aku merasakan bibirku bergetar kecil dengan keringat dingin yang berusaha aku tutupi.

Aku benar-benar ketakutan.

"Siapa yang bilang lo berhak buat marah?" tanyaku melemah pada Arga yang langsung melayangkan sorot mata marah.

Kepalan tangan Arga yang tergantung di udara kembali bergerak ingin memukul Kak Gasta.

"ARGA GUE BILANG CUKUP!"

BUGH!

"FAYAAA ....!"