Kepalan tangan Arga yang tergantung di udara kembali bergerak ingin memukul Kak Gasta.
"ARGA GUE BILANG CUKUP!"
BUGH!
"FAYAAA ....!"
Aku merasakan nyeri yang teramat menghinggapi kepalaku, suara Arga yang menyerukan namaku terdengar begitu jelas dan berdegung. Tubuhku terasa melayang, mataku perlahan terpejam, dan semua menjadi gelap gulita.
Aku pingsan?
Aku membuka kelopak mataku secara perlahan, dan memandangi sekitarku. Aku sedang terbaring di atas brankar UKS kampus, dan tubuhku terasa sakit.
Hal yang terakhir kali aku ingat adalah, Kak Gasta yang melayangkan tinjunya kepada Arga namun salah sasaran. Yaitu mengenai wajahku hingga terpental aku cukup jauh.
Sakit.
Aku memegangi pipiku yang nyeri, sepertinya membiru. Selain menyakitiku secara batin, Kak Gasta juga menyakitiku secara fisik.
Dan bodohnya, aku justru ingin meminta maaf kepadanya karena Arga telah membuat keributan. Aku tidak bisa membenci Kak Gasta, sepertinya tidak akan pernah bisa. Bahkan jika Kak Gasta kembali mempermalukanku di depan umum, atau mengatakan aku adalah Faya si gadis murahan, aku tetap menyukainya.
Tak apa, akan aku buktikan cintaku padanya. Aku sudah berjanji, kan? Akan membuat Kak Gasta bersimpuh lutut mengemis cintaku.
Hahaha, walau hal itu tidak mungkin terjadi.
Suara derap langkah kaki terdengar mendekat, aku melirik pelan ke arah pintu UKS. Kak Gasta berjalan ke arahku bersama Kak Alice di sampingnya. Aku tidak membenci Kak Alice, justru aku iri kepadanya karena aku tidak bisa sepertinya yang bisa berada di dekat Kak Gasta tanpa harus merasakan luka. Tetapi, aku harus sadar diri.
"Nama lo Faya?" tanya Kak Alice setibanya dan duduk di samping kananku.
Aku hendak membuka mulut untuk menjawab pertanyaan Kak Alice, namun pipiku terasa kaku dan nyeri. "Sshhh .... " aku meringis pelan.
Kak Alice memandangku khawatir. "Pipi lo lebam, pasti sakit banget ya?"
"Hm .... " sahutku bergumam, aku bisa melihat ketulusan disorot mata khawatir yang Kak Alice layangkan padaku.
Kak Alice menyentuh pundak Kak Gasta yang duduk di sampingnya. Beberapa lama mereka saling tatap dan sepertinya sedang beradu argumen lewat tatapan itu. Sebelum akhirnya aku melihat Kak Gasta menoleh ke arahku dengan helaan napas panjang. Lalu Kak Alice mengusap pundak Kak Gasta sembari tersenyum manis.
"Maaf," kata Kak Gasta tiba-tiba.
Aku tertegun.
Kak Gasta menatapku datar. "Maaf buat lo sakit, gue nggak sengaja."
Tanpa diminta, bulir air hangat menetes dari pelupuk mataku. Kak Gasta mengatakan sebuah kalimat yang sangat ingin kudengar langsung darinya tanpa mengatas nama'kan orang lain. Aku hanya diam dan tidak bisa berkata-kata, selain karena pipiku yang sakit, suasanya hatiku juga sedang buruk.
"Lo nangis?"
Aku membuang muka.
"Sakit..., banget ya?" tanya Kak Alice lembut, aku tidak tahu bagaimana ekpresi wajahnya sekarang. Sendu? Entalah, aku sedang tidak menatap ke arah mereka.
"Gasta, lo mintaa yang tulus dong."
"Udah,"
"Tapi lo nggak kelihatan bersalah sama sekali."
"Memang iya."
"Terus kenapa lo minta maaf?" geram Kak Alice tertahan.
"Karena lo yang nyuruh, kan?"
Hatiku kembali hancur. Apa mereka sengaja mengatakan itu dengan keras, tetapi menggunakan nada yang terkesan sedang berbisik. Kenapa aku harus mendengarnya? Baru saja beberapa detik hatiku terobati, kini kembali berdenyut nyeri. Kak Gasta selalu pintar memainkan perasaanku, dan aku, aku yang memiliki hati ini saja tidak tahu bagaimana caranya agar berhenti mengharapkan belas kasihan Kak Gasta.
Untuk mendapatkan rasa simpati Kak Gasta saja begitu sulit, apalagi hatinya, atau mungkin cintanya.
"FAYAAA!"
"Faya, lo kenapa? Siapa yang buat lo babak belur gini?" Lea datang dengan mata berkaca-kaca. "Bilang sama gue pelakunya, gue bakalan nuntut dia." kata Lea menggebu-gebu.
Aku sudah menduga teriakan nyaring yang menyerukan namaku tadi berasal dari mulut toa Lea. Dan sekarang ia sedang berdiri di sisi kiriku, lalu menatapku dengan panik.
"Aaaa ... Pipi lo sampai biru, pasti sakit banget!" Lea bersedekap. "Bilang sama gue pelakunya!" tuntutnya yang membuatku melirik Kak Gasta diam-diam.
Kak Gasta menaikkan kedua alisnya saat aku menatapnya. Sedangkan Kak Alice yang di samping Kak Gasta sedang menahan tawa, kedutan bibirnya begitu kentara.
Setelah diperhatikan, sepertinya Kak Gasta dan Lea pura-pura tidak saling mengenal. Dan mungkin Kak Alice tidak mengetahui hal itu, karena Lea dan Kak Gasta sengaja menyembunyikannya. Aku hanya diam di saat Lea tiba-tiba kalem saat menyadari kehadiran Kak Gasta, ia duduk di kursi samping brankarku dan diam-diam mencubit lengan tanganku.
Aku menatap Lea dengan serngitan di dahi. Sedangkan Lea terus melotot ke arahku, aku tidak paham apa arti tatapan yang Lea layangkan.
"Gue minta maaf udah celakain lo."
Aku melotot kaget saat mendengar suara Kak Gasta mengatakan hal itu, sama seperti Lea yang langsung menatap Kak Gasta penuh amarah yang berusaha ia redam.
Aku menoleh ke arah Kak Gasta yang menatap Lea dengan datar. "Gue nggak sengaja," kata Kak Gasta melanjutkan ucapannya sembari menatap Lea, seolah memperjelas perbuatannya.
"Kecelakaan apa yang buat babak belur tapi nggak sengaja?" sahut Lea ganas.
Kak Alice mengatupkan bibir.
"Gue memang nggak sengaja, dia yang salah." kata Kak Gasta lalu menatapku. "Orang lagi berantem malah di dekatin, nyari mati?"
"Heh!" Lea menyatukan alisnya. "Orang kalau berniat baik itu dihargai! Mungkin aja Faya lagi berusaha menghentikan perkelahian, lagian kenapa pakai berantem segala?!" sewot Lea menghembuskan napas keras-keras.
"Kenapa lo yang keberatan?" tanya Kak Alice menatap Lea tidak suka.
Benar dugaanku, Kak Alice tidak mengetahui fakta bahwa Kak Gasta memiliki kembaran perempuan dan itu adalah Lea.
"Kalau lo nggak tahu apa-apa, mending diam!" seru Lea sinis.
"Lo yang nggak tahu apa-apa, tiba-tiba ngurusin kehidupan orang lain."
"Orang lain?!"
"Iya orang lain, lo bukan siapa-siapanya Gasta, kan? Jadi terserah dia dong mau ngapain, mau kelahi, berantem, bahkan mau Gasta jungkir balik pun itu bukan urusan lo!"
Kak Alice sedang mencari masalah, aku yakin Lea tidak akan tinggal diam. Lihat saja sorot kemarahan yang begitu membara di mata Lea, seperti ada kobaran api di sana yang siap untuk meledak.
"Lo nanya gue siapa?!" tanya Lea nyalang, aku berusaha memegang jemari Lea dan menenangkan gadis itu. "Gue sahabatnya Faya, siapa pun yang ngusik Faya berurusan sama gue! Paham nggak lo?!"
Kak Alice mendelik.
Tidak sampai di situ, Lea bahkan sampai berdiri dan menunjuk Kak Gasta dengan marah.
"Hei, Gasta! Lo pikir lo siapa bisa nyentuh sahabat gue, ha?! Ingat ya, gue nggak akan maafin lo sampai lo tanggung jawab sama perbuatan lo!"
Aku tertergun.
"Lo siapa sih, ngancam-ngancan Gasta? Kok lo yang sewot, Faya aja maafin Gasta, kenapa malah lo yang marah?"
"Lo yang siapa, nggak usah ikut campur!" bentak Lea marah kepada Kak Alice. "Fay, lo maafin Kak Gasta?" tanya Lea tiba-tiba kepadaku.
Aku tentu saja bingung. Sekarang, Lea, Kak Alice dan Kak Gasta menatapku secara bersamaan. Mereka sedang menunggu jawabanku, dan aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku tentu saja memaafkan Kak Gasta, tapi luka yang dia toreh masih membekas.
Jika Kak Gasta tidak pernah mau mengasihaniku, apakah salah jika aku mengatakan bahwa aku tidak memaafkan Kak Gasta?
Dan tanpa kusadari, kepalaku bergerak pelan ke kanan dan ke kiri secara perlahan. Ya, aku sedang ingin mengatakan tidak, dan melihat bagaimana reaksi Kak Gasta setelah ini.
Kak Gasta menatapku dengan serngitan.
"Lo harus tanggung jawab sampai Faya sembuh."
Aku melototkan mata sempurna saat mendengar ucapan Lea.