Aku menghembuskan napas lelah, akhir-akhir ini aku terlalu sibuk memikirkan kak Gasta yang tidak memikirkanku. Selain itu, aku juga memikirkan Arga yang tiba-tiba kembali ke dalam kisah hidupku yang pernah dia hancurkan.
Ngomong-ngomong tentang Arga, dia apa kabar ya?
Apakah luka di wajahnya sebanyak luka di wajah kak Gasta atau malah lebih banyak lagi?
Kenapa Arga tidak pergi ke UKS?
Walau pun aku sedang tidak ingin bertemu dengan Arga, tetapi lukanya butuh diobati.
Setidaknya aku masih peduli pada Arga karena rasa simpati sebagai manusia, dan alasan Arga terluka juga karenaku meskipun aku tidak meminta Arga untuk ikut campur dengan urusanku.
Aku menghembuskan napas dan berusaha untuk berhenti memikirkan Arga.
Beberapa menit aku diam dengan pikiran yang sibuk berkelana, namun tidak lama kemudian Kak Gasta datang kembali masuk ke dalam UKS dan berjalan ke arahku.
Saat melihat kak Gasta datang dengan baskom kecil di tangannya aku refleks menegakkan tubuh dan menduga-duga apa yang akan dilakukan kak Gasta selanjutnya.
''Hadap sini,'' kata kak Gasta dan duduk di sampingku.
Aku menoleh dan menghadap depan karena kak Gasta duduk di atas brankar yang aku duduki, kini kami saling berhadap-hadapan. Aku menurunkan pandanganku saat melihat kak Gasta sedang membilas handuk kecil dengan air yang di campur es batu di dalam baskom yang tadi kak Gasta bawa.
''Lihat gue,'' gumam kak Gasta dengan suara beratnya yang langsung membuatku menurut dan menatap kedua manik matanya yang tajam.
Setelah selesai membilas handuk itu dengan air dingin, kak Gasta menatapku sekilas dan mengangkat tangannya yang sedang memegang handuk kecil lalu menempelkan handuk itu ke pipiku yang lebam dengan gerakan sangat pelan dan penuh kehati-hatian.
''Sshh .... '' aku meringis pelan saat handuk dingin itu menyentuh permukaan kulit pipiku.
Kak Gasta terus menempelkan handuk itu dengan pelan-pelan mengintari pipiku yang lebam. Setelah beberapa detik handuk itu menempel di pipiku, dia kembali membilas handuk itu dan menempelkannya lagi ke pipiku. Hal itu dilakukan kak Gasta secara berulang-ulang, hingga perlahan aku merasakan nyeri di pipiku mulai berkurang.
''Masih sakit?'' tanya kak Gasta dan menjauhkan handuk yang sedang menempel di pipiku.
Aku menggelengkan kepalaku pelan sembari tersenyum tipis. ''Udah berkurang rasa sakitnya,'' sahutku pelan dengan jawaban jujur.
''Baguslah,'' kata kak Gasta dan menaruh handuk itu ke dalam baskom lalu menatapku. ''Nanti pulang bareng gue, kita ke dokter buat periksa pipi lo biar dapat obat ampuh hilangin rasa sakit di pipi lo.''
Kak Gasta berbicara banyak?
Untuk pertama kalinya aku mendengar kak Gasta berbicara denganku sebanyak itu, dan apakah kak Gasta sedang mengkhawatirkanku?
Aku diam cukup lama dan menatap kak Gasta dengan tatapan kagum yang penuh cinta. Rasanya aku hampir gila karena mendapatkan perhatian dari kak Gasta, jantungku berdebar kencang dan aku merasakan sesuatu menggelitik perutku.
Tanpa sadar, aku tersenyum malu-malu saat kak Gasta membalas tatapanku. Wajahnya tetap datar seperti biasa, matanya tajam bak elang. Namun entah mengapa wajah datar dan tatapan tajam itu menyiksaku tapi sungguh candu.
''Kenapa lo senyum?'' tanya kak Gasta dengan serngitan di dahinya.
Aku dengan cepat mengulum bibir ke dalam dan menggeleng-gelengkan kepalaku sebagai jawaban dari pertanyaan kak Gasta. ''Bukan apa-apa,'' sahutku dan menundukkan kepalaku karena takut kak Gasta akan marah jika aku terus menatapnya secara terang-terangan.
''Hm, gue balikin ini dulu ke kantin.''
Aku menatap kak Gasta yang beranjak pergi meninggalkanku dengan baskom di tangannya yang dia bawa pergi.
Saat kak Gasta sudah keluar dari pintu UKS, aku dengan cepat memegangi dadaku yang berdegup kencang. ''Aaaa!'' tanganku yang bebas membekap mulutku yang berteriak karena ingin melampiaskan kegugupan yang sedari tadi kutahan saat kak Gasta mengompres lebam di pipiku.
Mengingat bagaimana wajah tampan kak Gasta yang fokus mengompres pipiku yang lebam dengan tatapan tajamnya dan jemarinya yang berusaha menyentuh pipiku sepelan mungkin agar aku tidak kesakitan membuatku mengerutuk. ''Faya bego, Faya bego, pasti muka lo jelek banget tadi!'' aku mengusap wajahku dan menepuk-nepuk pelan keningku. ''Huft ... tenang Faya, mau sejelek apa pun lo, lo tetap harus perjuangin cinta lo!'' aku menyemangati diriku sendiri dan mengepalkan tangan karena terlalu bersemangat.
''Faya?''
Aku refleks melepas kepalan tanganku dan mengangkat kepalaku menatap ke arah pintu UKS. ''Arga?'' gumamku pelan saat melihat sosok lelaki jangkung berdiri di ambang pintu UKS dan tengah menatapku.
Aku melihat Arga melanjutkan langkah kakinya yang sempat berhenti dan berjalan ke arahku. ''Lo baik-baik aja?'' tanya Arga sembari melangkah ke arahku.
''Hm,'' sahutku acuh dan memalingkan wajah.
Rasa sesak itu selalu timbul ketika aku melihat wajah Arga, karena kenangan saat dia mencampakkan ku bagaikan sampah tidak dapat aku lupakan begitu saja.
''Tadi gue lihat lo ngepalin tangan, lagi nahan sakit?''
Aku membisu.
Dari ekor mataku, aku bisa melihat jika Arga menghentikan langkah kakinya sedikit jauh dariku. ''Lo masih marah?'' tanya Arga terdengar lelah.
Aku berusaha menahan diri sekuat mungkin untuk tidak menoleh ke arahnya dan mempertahankan sikap dinginku.
''Gue minta maaf, gue salah.''
Aku mengepalkan tanganku.
''Faya, lo benci banget ya sama gue?''
''Iya.'' sahutku dan membalas tatapannya. ''Gue benci banget sama lo, jadi berhenti ikut campur sama urusan gue.'' aku menatapnya berapi-api dengan tangan yang masih terkepal berusaha untuk menahan emosiku agar tidak meledak saat ini juga.
''Oke, kalau itu yang lo mau.''
Aku menatap Arga sepenuhnya, tidak, lebih tepatnya aku meneliti wajah Arga yang terdapat banyak luka lebam. Aku tidak tahu, apakah aku harus mengikuti kata hatiku yang menyuruhku untuk memberi bantuan kepada Arga dan membantunya mengobati luka-luka di wajahnya atau mengikuti arahan otakku yang menyuruhku untuk tidak peduli tentang apa pun yang terjadi pada Arga.
''Fay, pipi lo biru?'' Arga dengan cepat melangkah ke arahku yang membuatku refleks memalingkan wajah.
''Ini karena pukulan Gasta, kan?'' tanya Arga yang sudah berdiri di sampingku dan hendak menyentuh lebam di pipiku.
''Gue bilang berhenti!'' seruku marah.
Arga menghentikan pergerakan tangannnya yang tergantung di udara. ''Gue nggak butuh rasa peduli lo, setelah apa yang lo lakuin ke gue dulu.'' aku menatap marah Arga yang sedang menatapku dengan tatapan yang tidak dapat ku artikan.
''Jangan pernah berharap gue maafin lo Ga, gue enggak akan pernah lupa gimana caranya lo dengan mudah buang gue kayak sampah.''