''Fay, pipi lo biru?'' Arga dengan cepat melangkah ke arahku yang membuatku refleks memalingkan wajah. ''Ini karena pukulan Gasta, kan?'' tanya Arga yang sudah berdiri di sampingku dan hendak menyentuh lebam di pipiku.
''Gue bilang berhenti!'' seruku marah.
Arga menghentikan pergerakan tangannnya yang tergantung di udara. ''Gue nggak butuh rasa peduli lo, setelah apa yang lo lakuin ke gue dulu.'' aku menatap marah Arga yang sedang menatapku dengan tatapan yang tidak dapat ku artikan.
''Jangan pernah berharap gue maafin lo Ga, gue enggak akan pernah lupa gimana caranya lo dengan mudah buang gue kayak sampah.''
Arga membisu, untuk pertama kalinya aku merasa bersalah atas apa yang kukatakan kepada Arga. Namun perkataanku benar, aku tidak akan mengatakan hal itu jika saja Arga tidak melakukan hal keji itu kepadaku yaang bahkan hingga kini lukanya masih saja terus menggrogoti.
''Fay ....'' Arga memanggil namaku dengan suara bergetar dan mata yang memerah. Aku membalas tatapannya, mencoba untuk mencari jawaban atas apa arti tatapan yang Arga layangkan kepadaku saat ini.
Tangan Arga yang semula tergantung di udara kini ia turunkan dan Arga mengatupkan kedua tangannya di depan dada. ''Fay gue mohon banget ke lo, tolong maafin---''
''Faya perlu ngomong berapa kali ke lo biar lo bisa berhenti gangguin dia?'' kak Gasta tiba-tiba datang dan memotong pembicaraan Arga yang membuatku terkejut mendengar celetukannya.
Sudah sejak kapan kak Gasta kembali ke UKS dan mendengar percakapan antara aku dan Arga? Pertanyaan itu tiba-tiba muncul di pikiranku seiring berjalannnya kak Gata ke arahku dan meraih pergelangan tanganku begitu saja.
''Ayo pulang, gue antar.'' ucap kak Gasta dan menatapku tepat di mata.
Tanpa sadar, perlahan mataku bergerak menoleh ke arah Arga dan membalas tatapannya yang terlihat menyedihkan. Aku meneguk ludah, mengapa aku harus merasa kasihan pada seseorang yang mencampakkan ku? Aku tidak yakin bahwa tatapan sendu itu benar-benar sedih, mungkin aku hanya salah mengartikan tatapan Arga.
''Ayo,'' ucapku pelan menyahut ajakan kak Gasta dan mengalihkan tatapanku dari Arga. ''Makasih kak Gasta,'' aku turun dari atas brankar atas bantuan dari kak Gasta dan berjalan bersama kak Gasta melewati Arga begitu saja.
Aku terus mengikuti langkah lebar kak Gasta yang membawaku berjalan menuju pintu UKS, dan berusaha menahan sekuat mungkin untuk tidak menoleh ke belakang seperti Arga memperlakukanku saat dia mencampakkanku. Namun saat di ambang pintu UKS, aku menghentikan langkah kakiku membuat kak Gasta yang menggenggam pergelangan tanganku ikut menghentikan langkah kakinya, aku sudah menahan diri sekuat mungkin namun kepalaku secara perlahan berputar ingin menoleh ke belakang dan memastikan keadaan Arga.
''Jangan lihat ke belakang, kalau lo masih mau sama gue.''
Refleks pergerakan kepalaku berhenti saat itu juga, aku langsung membalas tatapan datar kak Gasta dengan kerlipan polos. ''Ya?'' gumamku mencoba mencerna perkataan kak Gasta.
''Ayo,'' ajak kak Gasta menarikku paksa keluar dari UKS membuatku tidak jadi menoleh kepada Arga karena kini aku sudah berada di koridor kampus.
''Kenapa kak Gasta larang gue buat ngeliat Arga?'' tanyaku penasaran karena sudah berasumsi bahwa kak Gasta sedang cemburu. Aku tahu bahwa itu tidak mungkin, namun aku hanya ingin merasa lebih sedikit percaya diri.
Kak Gasta tiba-tiba melepas genggaman tangannya di pergelangan tanganku dan menghentikan langkah kakinya, ia menatapku datar dan tajam. Aku meneguk ludah, menatap tautan tangan kami yang sudah terpisah membuatku kecewa karena belum sempat menikmatinya.
''Lo nggak usah banyak tanya, gue ngobatin luka lo karena Lea, paham?''
''Ha?'' mataku memanas namun aku tetap berusaha membalas tatapan menusuk yang kak Gasta layangkan padaku.
''Jadi Kak Gasta nggak tulus ngobatin gue?'' aku sudah menahan diri untuk tidak begetar, tetapi suaraku tidak bisa diajak kerja sama.
Mengapa kak Gasta selalu mempermainkanku? Tadi saat dia mengobati luka lebam di pipiku, matanya sangat terlihat tulus menatapku dengan khawatir. Namun apa ini, kak Gasta bahkan sudah berubah dalam hitungan jam?
''Hm,'' gumam kak Gasta dan mengalihkan tatapannya dariku. ''Ke parkiran sekarang, gue nggak mau nunggu.''
Belum sempat aku menyahut ucapan kak Gasta, dia sudah pergi berjalan duluan meninggalkanku sendirian. Melihat kepergian kak Gasta, aku mengusap kedua pelupuk mataku dan menahan diri untuk tidak menangis sekuat mungkin.
''Gue yakin kalau lo kuat Fay, lo pasti bisa dapatin dia.'' ujarku menyemangati diriku sendiri.
***
Aku sampai di parkiran dan mengedarkan pandanganku mencari-cari mobil kak Gasta. Namun sudah lama aku mencari-cari dan berkeliling bahkan hingga di area luar kampus, mobil kak Gasta tidak ada dan aku pun tidak menemukan kak Gasta.
Aku duduk di halte, menyeka bulir keringat yang membasahi pelipisku. Aku bahkan tidak sadar bahwa senja akan tiba karena terlalu lama berkeliling mencari keberadaan kak Gasta yang sama sekali tidak membuahkan hasil.
''Motor gue masih di parkiran, gue nggak yakin bisa bawa motor sendiri dalam keadaan kayak gini.'' aku mengusap pipiku yang basah karena bulir air hangat itu menetes tanpa diminta
Rasanya ingin menangis dan berteriak sekuat mungkin, namun yang bisa aku lakukan hanya memendam setiap luka yang aku rasakan.
Aku berdiri, meyakinkan pada diriku sendiri bahwa aku pasti bisa pulang ke rumah tanpa bantuan kak Gasta. Dengan langkah pelan aku kembali masuk ke halaman kampus dan berjalan menuju parkiran motor, beberapa orang terlihat masih berlalu lalang di koridor kampus.
Motor cokelat kesayanganku terparkir di sudut dengan dua motor lainnya yang tidak aku tahu milik siapa, aku naik ke atas motor dan mengenakan helm sebagai pelindung kepala. Menyalakan mesin motor, aku menancap gas pelan keluar dari area parkiran dan kampus.
Kepalaku masih sedikit pusing dan mataku terasa berkunang, untuk sekadar jaga-jaga aku memilih jalan lain untuk pulang ke rumah karena ibu kota pasti sangat padat di sore hari. Jalan kecil yang sedang aku lalui sangat sepi dan dipenuhi oleh pepohonan, membuatku sedikit merasa tenang karena jauh dari keramaian.
Sekitar sepuluh meter dari jarakku berada, aku melihat sebuah mobil yang terlihat familiar sedang berhenti di tepi jalan. Sepertinya aku mengenal siapa pemilik mobil ini, namun aku takut salah orang dan memilih untuk tetap melanjutkan menancap gas motor.
Saat melewati mobil itu, tiba-tiba---
''TINN!''
Suara klakson mobil yang nyaring membuat tanganku refleks bergerak menekan pedal rem sekuat mungkin hingga motorku berhenti tiba-tiba.
''Faya,''
Jantungku masih berdegup kencang tidak berirama, namun panggilan seseorang membuatku langsung menoleh ke belakang. ''Kak Gasta?'' gumamku semakin kaget saat melihat kak Gasta keluar dari dalam mobil itu.
Tidak lama kemudian, sosok wanita cantik dengan rambut panjangnya yang menjuntai indah juga keluar dari dalam mobil kak Gasta. ''Kak Alice? kagetku lagi sangat tidak menyangka.