''Lo harus tanggung jawab sampai Faya sembuh.''
Aku melototkan mata sempurna saat mendengar ucapan Lea. Apakah Lea tidak tahu, bahwa untuk mengasihaniku saja tidak mungkin Kak Gasta lakukan, apalagi untuk bertanggung jawab atas perbuatannya yang menurut Kak Gasta bahwa lebam di pipiku akibat kesalahan diriku sendiri.
''Oke.'' sahut Kak Gasta.
Aku diam membisu menatap Kak Gasta yang juga membalas tatapanku tanpa kata. Wajah datarnya membuatku tidak bisa menerka-nerka isi pikirannya, dia hanya membalas ucapan Faya dengan satu kata namun membuatku terdiam seribu bahasa.
''Oke?'' tanya Kak Alice kaget. ''Sejak kapan lo jadi penurut gini, sama adik tingkat?'' Kak Alice menatap Kak Gasta penuh keheranan.
Aku berdeham saat melihat gerak-gerik Lea yang sudah siap meledak dan menatap geram Kak Alice yang tidak sadar siatuasi. Namun belum sempat Lea mengucapkan sepatah kata, aku melihat jemari tangan Kak Gasta bergerak meraih pergelangan tangan Kak Alice.
''Gue pamit keluar sebentar,'' pamit Kak Gasta dan membawa Kak Alice yang tertarik pasrah keluar dari UKS bersama Kak Gasta.
''Huft ... '' Lea duduk di sampingku setelah Kak Gasta dan Kak Alice pergi. ''Kok bisa sih, Gasta nyelakain lo sampai lebam gini?'' tanya Lea dan menatap pipiku yang membiru penuh prihatin.
Aku meringis pelan dengan hati yang berdesir hangat, setidaknya masih ada Lea yang tulus memberikan rasa simpatinya untukku. ''Eung ... itu cuma kecelakaan kecil, gue nggak papa kok.''
''Nggak papa apanya pipi lo sampai biru gini!'' sewot Lea dan menatapku kesal.
''Sumpah ya, gue kesal banget sama cewek itu, siapa sih namanya?''
''Kak Alice?'' gumamku pelan.
''Nah iya, songong banget mentang-mentang terkenal karena vokalnya bagus. Lihat aja, gue nggak bakal pernah restsuin dia sama Kak Gasta.'' kata Lea dengan napas menggebu-gebu karena emosi yang menyelimutinya.
Aku hanya diam sembari memandangi paras cantik Lea dari samping penuh kekaguman, bahkan saat marah pun Lea tetap terlihat cantik.
Kapan ya, aku bisa secantik Lea atau Kak Alice?
Jika aku secantik Lea dan Kak Alice, apa Kak Gasta akan menghargaiku atau justru jatuh cinta denganku?
''Tenang aja Fay, Gasta bakalan tanggung jawab sama perbuatannya.''
''Hm?''
''Gasta pasti nurutin gue, karena dia paling nggak bisa gue diamin seharian. Lo tahu kan, jiwa anak kembar itu gimana? Gasta nggak bisa musuhan sama gue, so dia pasti bakal nurutin semua permintaan gue.'' Lea tersenyum senang dan mengelus dahiku lembut.
Aku kaget saat Lea menyentuh keningku dan mengusapnya lembut, namun saat melihat senyuman Lea yang begitu tulus, aku ikut tersenyum. ''Makasih, Lea.''
***
''Eung .... '' aku meregangkan otot-otot tanganku dengan pelan.
Perlahan aku membuka pejaman mataku sembari meringis pelan saat merasakan nyeri di bagian pipiku.
Apakah aku tertidur?
Saat mataku terbuka sempurna, aku mengedarkan pandangan dan meihat sekelilingku bahwa aku masih berada di dalam UKS dan terbaring di atas brankar.
''Ah ... ''
Aku melihat ke sisi kananku dan mendapati kak Gasta yang sedang meringis sembari mengobati luka lebam di sudut bibirnya.
''Kak Gasta?'' sapaku kaget membuat kak Gasta menoleh ke arahku dengan wajah datar.
Aku berusaha bangkit untuk duduk dengan perlahan, mataku masih memandang ke arah kak Gasta yang melanjutkan gerakannya mengoleskan alkohol ke sudut bibirnya tanpa mengubris kehadiranku.
Saat tubuhku sudah berhasil duduk, dengan keberanian yang hanya tertinggal sedikit di dalam diriku. Tanganku bergerak pelan berusaha meraih kapas dan alkohol itu dari tangan kak Gasta, tubuhku berputar sepenuhnya ke arah kak Gasta dengan kaki yang terjulur ke bawah brankar.
Kak Gasta menatapku dengan serngitan, namun membiarkanku mengambil alih kapas dan alkohol itu. Tanpa suara, aku meneteskan sedikit alkohol ke atas kapas. ''Biar gue bantu,'' ujarku ragu dan menatap kak Gasta takut. ''Boleh lebih dekat dikit nggak, Kak?''
Dengan wajah datar dan tanpa menjawab pertanyaanku, kak Gasta mendekatkan wajahnya ke arahku. ''Pelan-pelan,'' kata kak Gasta dan mengalihkan tatapannya dariku.
Aku berusaha menahan senyum dengan hati yang berdebar-debar. ''Iya ... ''
Perlahan tanganku bergerak mengusap sudut bibir kak Gasta dengan pelan dan telaten, beberapa bagian wajahnya terlihat lebam. ''Sakit ya?'' tanyaku lirih karena tidak tega melihat luka-luka di wajah kak Gasta.
Kak Gasta membalas tatapanku tepat di mata, sejenak aku terpaku dan refleks gerakan tanganku berhenti. ''Maaf .... '' ujarku dengan mata berkaca-kaca.
Kak Gasta tidak menjawab ucapanku, dia menatapku lamat dengan wajah datarnya membuatku tidak bisa menebak isi pikirannya. Aku menghembuskan napas pelan dan melanjutkan gerakanku mengobati luka lebam di bagian bawah mata kak Gasta yang membiru.
''Udah siap,'' ucapku dan mengangkat wajah lalu menjauhkan tanganku dari wajah Kak Gasta.
Kedua bola mataku bergerak ke atas, membalas tatapan dalam Kak Gasta yang sedang menatapku dengan ekspresi datarnya.
Apakah kak Gasta sedang marah?
Apa yang sedang kak Gasta pikirkan?
Mengapa kak Gasta menatapku dengan tatapan seperti itu?
Aku sudah sibuk sendiri dengan pikiranku yang berusaha menebak-nebak isi pikiran kak Gasta walau pun aku tidak akan bisa mengetahuinya.
''Ehem!'' aku berdeham dan memalingkan wajah karena sudah tidak tahan lebih lama lagi menatap wajah kak Gasta.
Pipiku terasa panas.
''Maaf,'' kata kak Gasta tiba-tiba.
Aku menatap kak Gasta kaget dengan kedua bola mata yang hampir keluar. ''Maaf?'' beoku dan mengulang ucapan kak Gasta.
''Gue nggak sengaja,'' kak Gasta menatap pipiku yang lebam. ''Sakit?''
Aku menganggukkan kepalaku untuk menjawab pertanyaan kak Gasta. ''Tapi nggak papa kok,'' aku terkekeh pelan dan menyelipkan anak rambutku ke samping telinga. ''Kan Kak Gasta nggak sengaja,'' aku tersenyum manis. ''Aw!''
''Kenapa?'' kak Gasta mendekat ke arahku dan menyentuh lebam pipiku pelan. ''Sakit banget?'' aku mendengar ada nada khawatir dari pertanyaan kak Gasta dan perubahan di raut wajahnya yang lagi-lagi tak dapat ku artikan.
Aku menggigit bibir bawahku dan menganggukkan kepala pelan. ''Iya .... ''
Kak Gasta menjauhkan jari telunjuknya dari pipiku dan berdiri. ''Tunggu sebentar, jangan kemana-mana.'' kata kak Gasta dan berjalan meninggalkanku keluar dari UKS tanpa menunggu jawaban dariku.
Aku masih berusaha mencerna semuanya.
''Kak Gasta khawatir sama gue?'' tanyaku pada diriku sendiri. ''Nggak, enggak mungkin Kak Gasta khawatir ke gue. Pasti karena Lea yang nyuruh Kak Gasta buat tanggung jawab, iya pasti karena itu.''
Aku menghembuskan napas lelah, akhir-akhir ini aku terlalu sibuk memikirkan kak Gasta yang tidak memikirkanku. Selain itu, aku juga memikirkan Arga yang tiba-tiba kembali datang ke dalam kisah hidupku yang pernah dia hancurkan.
Ngomong-ngomong tentang Arga, dia apa kabar ya?
Apakah luka di wajahnya sebanyak luka di wajah kak Gasta atau malah lebih banyak lagi?
Kenapa Arga tidak pergi ke UKS?
Walau pun aku sedang tidak ingin bertemu dengan Arga, tetapi lukanya butuh diobati.
Setidaknya aku masih peduli pada Arga karena rasa simpati sebagai manusia, dan alasan Arga terluka juga karenaku meskipun aku tidak meminta Arga untuk ikut campur dengan urusanku.