Aku merasakan seseorang menyentuh pipiku. Perlahan, aku membuka pejaman mata, dan dengan setengah sadar menegakkan tubuh.
"Mbak, udah pagi loh."
Aku langsung tersentak kaget saat mendengar suara seorang wanita dan langsung menegakkan tubuh, memaksakan diri untuk sadar dari alam bawah sadarku. "Saya di mana?" tanyaku linglung dan mengedarkan pandang, melihat rak-rak buku yang banyak.
Oh iya, aku sedang berada di perpustakaan.
"Mbaknya ketiduran," ucap wanita itu. "Saya mau bersih-bersih, terus ngelihat Mbak lagi tidur di sini."
"Oh ... Iya-iya, maaf. Saya bakalan segera pergi, Kak." jawabku pada petugas kebersihan itu.
Wanita itu mengangguk dan pergi dari hadapanku. Aku menghela napas, sepertinya Kak Gasta meninggalkanku karena aku tidak mau bangun saat Kak Gasta membangunkanku. Atau Kak Gasta yang tidak mau membangun, kan, aku?
Ah, tidak-tidak. Aku tidak boleh berpikiran buruk.
Saat aku hendak berdiri, aku merasakan ada sesuatu yang menempel di lutut kakiku. Aku melihat dengkul kakiku, ada handyplast yang tertempel di luka lutut kakiku. Siapa yang menempelkan handyplast ini di kakiku?
Siapapun itu, aku sangat berterima kasih kepadanya. Lalu, saat aku hendak melangkah, aku melihat di meja bundar di hadapanku ada selembar uang mata rupiah berwarna merah terletak di sana dengan kertas kecil di atasnya.
Aku meraih uang seratus ribu rupiah itu, lalu membaca tulisan rapi di kertas kecil itu.
Pakai uangnya buat mesan taksi.
Aku mengernyit heran, apakah uang ini ditujukan untukku?
Sepertinya iya, mungkin uang ini dari Kak Gasta.
Aaaa ... Aku sangat senang!
Kak Gasta memperdulikanku, Kak Gasta memberiku uang karena ia takut aku tidak bisa pulang. Atau jangan ... Jangan ...
handyplast di lutut kakiku adalah ulah Kak Gasta?
"AAAA KAK GASTA PUJAAN HATIKU!"
Aku berteriak kencang, membuat para petugas kebersihan perpustakaan menegurku. Dengan riang, aku berlari keluar perasaan tanpa memperdulikan mereka.
"Aw!" perih di lutut kakiku masih terasa saat aku berlari. Dengan terpaksa, aku berjalan tertatih keluar dari perpustakaan ini.
Senyumku melebar.
Kak Gasta, aku mencintaimu!
**
Siang ini, aku memiliki kelas praktik. Yaitu latihan vokal, bersama teman-teman kelasku yang lain di ruang khusus anak vokal.
Kami berjalan menuju ruangan vokal, dan hanya aku sendiri yang berjalan sendirian tanpa teman. Aku masuk ke dalam ruang vokal, duduk sendirian di sudut ruangan. Sedangkan teman-temanku yang lain memilih duduk di depan, dan tidak ada yang mau duduk di sampingku, bersamaku. Anggap saja mereka semua temanku, karena aku tidak tahu harus memanggil mereka dengan sebutan apa. Aku juga tidak mengenal mereka, apalagi menghafal nama-nama mereka. Itu sangat tidak mungkin dilakukan oleh gadis pemalas seperti diriku.
Dosen perempuan masuk paling akhir setelah semua mahasiswa dan mahasisiwi berada di dalam ruang vokal ini, bersama sosok lelaki tampan di sampingnya. Siapa lagi? Hanya ada Kak Gasta yang paling tampan di mataku.
Dosen dan Kak Gasta berjalan sampai di depan, kini bisik-bisik dari wanita-wanita yang mengagumi Kak Gasta terdengar. Sebelum Dosen berbicara, sosok perempuan cantik dengan rambut sepinggang yang terurai masuk ke dalam ruangan ini. Seperti ada sebuah cahaya dan angin yang langsung menyorot kedatangan perempuan itu.
Perempuan itu adalah perempuan yang sama dengan perempuan yang kemarin duduk berduaan dengan Kak Gasta di perpustakaan kota.
Perempuan itu ... Sangat cantik.
Perempuan itu berdiri di depan, tepat di samping Kak Gasta.
Dosen tersenyum. "Selamat pagi semua!" sapa Dosen ramah. "Hari ini, kita akan dibantu oleh Gasta dan Alice, senior kalian yang akan menampilkan bakat mereka di depan kalian semua. Sudah kenal kedua senior ini, belum?"
"Beluumm .... "
Aku mendengus dan tidak ikut menyahut pertanyaan Dosen itu.
"Baiklah. Gasta, Alice, silahkan perkenalkan diri kalian sebelum kelas dimulai."
Perempuan yang bernama Alice itu tersenyum ramah, ia melambaikan tangan sembari menyapa. Membuat sorak menggoda dari mahasiswa terdengar riuh, dan Dosen langsung menyuruh mereka untuk tenang.
"Sebelumnya, perkenalkan nama saya Alice. Bisa di panggil Al, atau Lice."
"Kalau dipanggil sayang, boleh nggak?"
Semua orang tertawa di ruangan ini saat mendengar celetukan dari salah satu mahasiswa yang duduk di depan.
Kak Alice tersenyum samar, ia mengabaikan celetukan itu. "Saya pemenang vokal solo se-Nasional, dan sudah mencapai ajang Internasional."
Aku terperangah, suaraku yang seperti tikus terjepit menangis mendengar prestasi Kak Alice yang bukan main-main.
"Saya Gasta, pemenang kompetisi piano ASA se-Indonesia. Dan sedang dalam mode perjuangan ajang kompetisi piano ajang Internasional."
"Waah ....!" aku berdiri, bertepuk tangan sembari tersenyum lebar. "Hebat!" pujiku berteriak keras. Hanya aku satu-satunya yang berteriak keras sampai berdiri di ruangan ini.
Membuat ruangan ini tiba-tiba hening. Semua pasang mata menatapku dengan tatapan aneh.
Dan ... Kak Gasta menatapku datar. Lalu tidak lama kemudian, aku mendengar suara tawa dari teman-teman satu kelasku, mereka menertawakanku karena terlalu bersemangat.
Aku tersenyum kikuk, dan kembali duduk sambil menahan malu setengah mati. Aku terlalu antusias jika menyangkut sesuatu hal yang ada hubungannya dengan Kak Gasta.
"Okey-okey!" Dosen menenangkan. "Sudah cukup perkenalannya, sekarang, kalian bisa menyaksikan penampilan dari Gasta dan Alice."
Seruan kagum dan tepuk tangan terdengar riuh.
"Tenang, tenang!" Dosen itu meringis pelan. "Saya meminta bantuan Gasta dan Alice bukan untuk kalian tonton begitu saja bakatnya! Tetapi, penampilan vokal dan piano dari Gasta dan Alice adalah contoh untuk kalian. Setelah Gasta dan Alice selesai menampilkan bakat mereka, saya mau kalian mencari pasangan masing-masing untuk tampil berikutnya. Hanya boleh 2 orang dalam satu pasangan, terserah mau itu cowok cewek, atau sesama cewek dan sesama cowok."
Dosen itu bersedekap. "Yang terpenting, setiap pasangan ada tugas masing-masing. Satu menjadi pemain piano, satu lagi penyanyi atau vokalisnya. Jangan anggap sepele praktik ini, karena praktik ini dilaksanakan untuk pengambilan nilai."
Aku menggigit bibir bawah, di saat yang lain sudah sibuk grasak-grusuk mencari pasangan masing-masing. Aku hanya diam dan tak bisa berbuat apa-apa, tidak ada yang menawarkanku untuk menjadi pasangan penampilan praktik. Aku-pun tidak ingin menawarkan diri karena takut ditolak mentah-mentah.
"Saya bilang mencari pasangan saat Gasta dan Alice sudah tampil! Bukan sekarang waktunya."
Mahasiswa dan mahasiswi yang sedang sibuk mencari pasangan langsung diam dan berhenti berbisik-bisik.
Aku menghela napas panjang, dan menatap ke arah luar jendela kaca di sampingku, yang memperlihatkan pemandangan pohon-pohon di taman belakang kampus. Mataku menyipit saat sinar matahari menyinari wajahku, rasanya hangat dan menenangkan, membuatku tanpa sadar memejamkan mata. Menikmati kehangatan yang hanya bisa aku dapatkan dari sinar matahari, di saat yang lain membuatku kedinginan.
Suara tuts piano yang di ketuk terdengar. Secara perlahan-lahan, nada piano itu mulai mengalun indah.
"Bun, hidup berjalan seperti bajingan
Seperti landak yang tak punya teman
Ia menggonggong bak suara hujan
Dan kau pangeranku, mengambil peran~
Bun, kalau saat hancur ku disayang
Apalagi saat ku jadi juara
Saat tak tahu arah kau di sana
Menjadi gagah saat ku tak bisa~"
Aku membuka pejaman mata, menatap Kak Alice yang sedang bernyanyi dengan suara lembutnya beriringan dengan piano yang mengalun indah.
Suara Kak Alice benar-benar membuat candu, sangat serasi saat berpadu dengan tuts piano yang Kak Gasta ketuk.
Kak Alice menarik nafas, ia kembali bernyanyi.
"Sedikit kujelaskan tentangku dan kamu
Agar seisi dunia tahu~
Keras kepalaku sama denganmu
Caraku marah, caraku tersenyum
Seperti detak jantung yang bertaut
Nyawaku nyala karena denganmu~
Aku masih ada sampai di sini
Melihatmu kuat setengah mati
Seperti detak jantung yang bertaut
Nyawaku nyala karena denganmu~"
Aku menatap wajah Kak Gasta yang terkena paparan sinar matahari. Seperti lirik lagu yang dinyanyikan oleh Kak Alice, nyawaku benar-benar nyala karena dengan menatap wajah tampan Kak Gasta yang sedang fokus bermain piano.
Dadaku berdebar, kupu-kupu beterbangan menggelitik perutku. Aku benar-benar jatuh cinta pada Kak Gasta.
"Bun, aku masih tak mengerti banyak hal
Semuanya berenang di kepala
Dan kau dan semua yang kau tahu tentangnya
Menjadi jawab saat ku bertanya~"
Kak Gasta ... Menatapku ....?
"Sedikit kujelaskan tentangku dan kamu
Agar seisi dunia tahu .... "
Suara tepuk tangan yang riuh terdengar.
Kak Gasta mengakhiri ketukan pianonya begitu merdu bersamaan dengan suara Kak Alice yang berhenti mengalun.
Sama seperti yang lain, aku ikut bertepuk tangan, merasa kagum pada dua senior yang sangat berbakat itu.
Kapan ya, aku bisa seperti mereka?
Pertanyaan konyol itu tiba-tiba muncul di kepalaku, sedangkan tanganku kini berhenti bertepuk. Aku menghela napas panjang, dan kembali dalam mode sedih.
Aku sangat ingin bisa bernyanyi dengan Kak Gasta yang menjadi pemain pianonya. Tetapi suaraku sudah membuktikan bahwa aku tidak mungkin bisa melakukan hal itu.
Perlahan, suara tepuk tangan meredam dan kini Dosen kembali berbicara.
"Okey, selesai. Alice dan Gasta, kalian sangat serasi dan berbakat!" puji Dosen itu senang. "Terima kasih karena sudah berpartisipasi dalam praktik ini!"
"Sama-sama, Bu." jawab Kak Alice. Sedangkan Kak Gasta hanya menganggukkan kepala dengan senyum tipis.
"Kalau begitu, silahkan cari pasangan kalian untuk menjadi tim meraih nilai praktek tertinggi!" celetuk Dosen yang membuatku langsung panik. "Kalau sudah menemukan pasangan, bisa laporkan ke saya. Karena kalian sudah dewasa, dan bukan anak remaja lagi, jadi saya hanya akan memberikan waktu selama lima menit!"
Di saat semua orang saling mencari satu sama lain, saling bertanya satu sama lain, dan melaporkan tentang nama pasangan mereka kepada Dosen, sedangkan yang aku lakukan hanya diam dengan perasaan yang bercampur aduk.
Waktu lima menit berlalu begitu lama, semakin membuatku merasa tersudut karena tidak bisa berbuat apa-apa.
Semakin lama, semakin banyak yang menemukan pasangan. Bahkan, aku pikir, hanya aku yang belum beranjak ke depan, melapor pada Dosen.
"Wow, semua sudah dapat pasangannya masing-masing!" celetuk Dosen, semakin membuatku panik. "Oh tunggu ... Sepertinya ada yang belum mendapatkan pasangan."
Jantungku rasanya ingin lepas.
Dosen mengangkat pandangan, seperti sedang mencari-cari seseorang. Lalu bola matanya mengarah padaku. "Faya .... ?"
Aku mengerjap, kini semua mata ter-arah kepadaku, tidak terkecuali Kak Gasta yang juga ikut menatapku. "Ya, Bu?" sahutku ragu.
"Kamu belum dapat pasangan, kan?" tanya Dosen. "Dan satu lagi, Arg----"
BRAK!
Ucapan Dosen berhenti saat suara pintu yang di dobrak keras, terdengar. Semua pasang mata kini mengalihkan tatapannya dari aku, ke arah pintu ruangan vokal yang terbuka lebar.
"Faya, pasangan saya Bu."
Arga ....?