"Gasta, kenapa masih berdiri disini? Katanya mau pergi ajak Faya keluar."
Suara Ayah membuatku menoleh ke pintu rumah, aku melihat Kak Gasta yang sedang berdiri disana sembari memandangku dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan.
Sedangkan Ayah mengajak Kak Gasta untuk masuk.
Aku meneguk ludah.
Mungkin, kah, Kak Gasta mendengar ucapanku?
"Loh Gasta?" Mama tampak kaget. "Mau ajak Faya keluar ya?"
Aku menatap Mama, dan kembali menatap Kak Gasta yang masih diam di posisinya berdiri.
Suara Ayah terdengar tertawa. "Ini Mah, Gasta, dia adu catur sama Ayah. Kalau Gasta menang, Ayah harus bolehin Gasta bawa Faya keluar rumah. Eh malah menang," seru Ayah terdengar senang dan mengadu pada Mama.
Aku tersenyum kikuk, tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
Kak Gasta tersenyum. "Tante, boleh ijin ajak Faya keluar sebentar, kan?"
"Boleh dong!" sahut Mama senang. "Fay, sana ganti pakaian kamu."
Mama mendorong tubuhku agar turun dari sofa ruang tamu. Aku menurut, kini berjalan menuju kamar dan mengganti pakaian.
Sejenak, aku menatap pantulan diriku di cermin. Hoodie cokelat dengan jeans hitam, lalu rambut sebahu yang terurai. Ah, dengan gaya seperti ini tidak akan mengecewakan Kak Gasta, kan?
Aku tidak memakai polesan apapun di wajah, bahkan hanya untuk sekadar bedak tabur. Perlahan, aku berjalan keluar kamar. Di ruang tamu, Mama dan Ayah sedang bercanda tawa dengan Kak Gasta.
"Eung ... Kak?" panggilku pelan, membuat Ayah dan Mama kini menatapku. "Gue udah siap,"
"Astaga Faya, kamu kok pakai baju kayak gitu sih?"
Aku menatap Mama dengan serngitan di dahi. "Kenapa? Faya nyaman pakai ini."
Ayah tertawa. "Maaf ya Gasta, anak Om memang terlalu polos."
Kak Gasta tersenyum lalu beranjak dari duduknya. "Kalau gitu, Gasta ijin pergi bawa Faya dulu ya Om, Tante."
"Hati-hati ya Gasta," ujar Mama dan menatapku.
"Iya Tante."
Aku dan Kak Gasta berjalan ke luar rumah, diikuti oleh Mama dan Ayah yang kini berhenti di teras rumah.
Aku berjalan membuka pagar kecil rumah, membiarkan mobil Kak Gasta keluar dari halaman rumah. Mobil Kak Gasta berhenti di hadapanku, aku melambai pada Ayah dan Mama lalu masuk ke dalam mobil Kak Gasta. Kak Gasta menekan sekali klakson mobilnya, dan kami melaju pergi.
Susana terasa akhward.
Aku memang tidak suka keributan, tapi hening seperti ini pun membuatku tidak nyaman. Aku tidak tahu seperti apa Kak Gasta yang sebenarnya, apakah dia tidak suka banyak bicara sepertiku? Atau Kak Gasta hanya tidak suka berbicara denganku?
"Gue serius." ucap Kak Gasta tiba-tiba, memecahkan keheningan di antara kami berdua. "Soal ucapan gue yang tadi," lanjut Kak Gasta dan menatapku sekilas.
Aku mengernyit. "Yang mana, Kak?"
"Waktu gue minta maaf tentang perlakuan Mama, gue benaran minta maaf ke lo."
"Oh itu .... " Aku diam sejenak, memikirkan apakah aku harus berkata jujur dengan apa yang aku rasakan atau tidak. "Gak papa kok,"
Aku berbohong. Aku tidak tahu mengapa aku mengatakan hal yang jelas-jelas berbeda dengan isi hatiku. Mungkin aku bisa memaafkan perlakuan Ibu Kak Gasta kepada Mama, tetapi aku tidak akan pernah bisa melupakannya.
"Lea marah ke gue." Kak Gasta kembali berbicara saat kami berhenti di lampu merah. "Gue pengin lo tetap jadi teman Lea,"
"Jadi itu tujuan Kak Gasta ngajakin gue keluar?"
"Iya, terus apa lagi?"
Seharusnya aku tidak berharap lebih kepada lelaki seperti Kak Gasta. Atau aku akan kembali terluka.
"Bukannya Kak Gasta yang nyuruh gue menjauh dari Lea? Kenapa sekarang gak konsisten?" tanyaku pelan.
"Maaf, gue gak mau Lea marah ke gue." tidak ada nada memohon disana, Kak Gasta tetap datar seperti biasanya. "Tetap jadi teman Lea, ya?"
Aku sangat ingin menolak permintaan Kak Gasta. "Iya." namun bibirku berkata lain.
**
Kak Gasta membawaku pergi ke perpustakaan kota.
Aku tidak tahu, apakah Kak Gasta membawaku ke perpusatakaan karena ia tahu aku suka baca buku? Atau karena Kak Gasta pernah melihatku di perpustakaan. Sepertinya kedua dugaanku salah, Kak Gasta pasti membawaku ke perpustakaan ini karena dia sedang mencari sebuah novel.
Aku mengikuti langkah kaki Kak Gasta yang menyusuri rak novel romance.
"Lo nggak mau beli buku?" tanya Kak Gasta sembari memilah-milah di salah satu rak buku.
Aku berdiri agak jauh di belakang Kak Gasta. "Enggak bawa uang," jawabku jujur.
Kak Gasta menoleh, dengan satu novel di tangannya. "Ambil aja novel yang mau lo beli, gue bayarin."
Aku langsung menggelengkan kepala sekuat mungkin. "Gue gak boleh terus-terusan di bayarin orang lain, nanti ketagihan."
Benar, aku sedang tidak berbohong tentang alasan yang aku ucapkan kepada Kak Gasta. Hanya lagi, selain alasan itu, ada alasan lain yang tersembunyi. Yaitu, aku takut jika Kak Gasta membelikanku novel lagi, ia akan menyuruhku menjauh dan tidak mengganggu hidupnya. Seperti saat kami pertama kali bertemu di perpustakaan ini, Kak Gasta menyuruhku untuk tidak menganggunya setelah membelikanku satu novel.
Jadi, lebih baik aku tidak membeli novel apapun dan hanya menemani Kak Gasta daripada harus menjauh dari Kak Gasta.
Kak Gasta duduk di salah satu kursi perpus, ia mulai membaca novel yang diambilnya tadi. Aku ingin duduk di hadapan Kak Gasta, namun seseorang tiba-tiba datang menyalipku dan duduk di hadapan Kak Gasta, berdua. Ya, memang hanya ada dua kursi di tempat yang Kak Gasta duduki dengan meja bundar di tengahnya.
Aku merutuk kesal. Padahal aku sudah membayangkan bagaimana bahagianya aku yang bisa menikmati wajah tampan Kak Gasta saat Kak Gasta sedang sibuk membaca.
Aku mengambil asal dengan kesal salah satu buku di rak yang ada di dekatku. Lalu aku duduk di kursi yang menghadap Kak Gasta, dan berjarak satu meter dengan posisi Kak Gasta. Kupandangi perempuan yang duduk di depan Kak Gasta yang sedang memunggungiku penuh dendam.
Aku bertopang dagu, menatap Kak Gasta dari jauh. Aku melihat Kak Gasta mengalihkan tatapannya dari novel yang sedang ia baca, lalu berbicara dengan perempuan yang duduk di hadapannya.
Aku bisa mendengar suara tawa perempuan itu, dan Kak Gasta menegurnya.
Wah, berani sekali!
Bahkan tanpa sadar, aku meremas buku yang kuambil secara asal tadi.
Kak Gasta sedang tersenyum sembari menatap perempuan berambut sepinggang di hadapannya. Sepertinya mereka saling kenal, karena Kak Gasta bukan orang yang mudah akrab dengan orang baru.
Tetapi mengapa Kak Gasta sangat akrab dengan perempuan itu?!
Aku terus membatin dan menatap Kak Gasta kesal dengan alis yang tertaut. Sampai tanpa kusadari, Kak Gasta sekarang sedang membalas tatapanku dengan datar.
"Uhuk! Uhuk!" aku terbatuk pelan dan pura-pura membaca buku di tanganku.
Sepertinya Kak Gasta risih karena sedari tadi aku terus memandangnya.
Setelah beberapa menit aku pura-pura membaca, dan tak ada satupun kalimat yang bisa kutangkap dari buku ini. Aku tidak sabar, lalu aku kembali mengangkat pandangan. Melihat Kak Gasta yang sedang berbicara dengan perempuan itu.
Mereka bicara beberapa saat, lalu kulihat Kak Gasta yang beranjak dari duduknya. Di ikuti oleh perempuan itu, mereka pergi entah kemana. Dan Kak Gasta meninggalkanku sendirian di sini.
Aku tidak punya nomor ponsel Kak Gasta, aku tidak tahu Kak Gasta pergi kemana, dan aku tidak mungkin mengikuti Kak Gasta. Jadi bagaimana aku akan menghubungi Kak Gasta nanti? Sampai kapan Kak Gasta akan pergi, aku tidak ingin sendirian di sini. Aku tidak punya uang untuk membayar taksi atau ojek online agar bisa pulang ke rumah.
Tanpa sadar, aku sudah menunggu Kak Gasta sekitar setengah jam. Aku mulai bosan termenung, kini kuputuskan untuk benar-benar membaca buku di tanganku.
Aku larut dalam membaca buku, lembar demi lembar aku buka dan aku baca. Buku ini menceritakan tentang kisah nenek tua yang hidup di hutan selama bertahun-tahun. Nenek itu menghabiskan hidupnya untuk tinggal di hutan dan menjaga alam hutan. Nenek itu menjadi terkenal karena ia pernah menolong para penumpang kapal yang kehabisan bensin di tengah lautan.
Wow, hebat sekali nenek itu. Aku jadi ingin bertemu dengannya dan belajar berenang, memanjat, juga menangkap ikan hanya menggunakan kedua tangan. Bagaimana bisa nenek itu hidup tanpa listrik dan teknologi? Apa beliau tidak takut dengan kegelapan? Aku sangat penasaran sampai aku membaca semua lembar buku yang berisi 50 lembar ini. Pada akhirnya, nenek itu meninggal di kerumunan warga, karena seseorang mengajaknya untuk tinggal di tempat yang normal. Maksudku, tempat di mana ada orang yang bernamakan manusia, tempat kita bisa bersosialisasi, tempat dimana ada listrik dan teknologi. Nenek itu meninggal dunia saat umurnya sudah 83 tahun.
Yah, berarti aku tidak bisa bertemu nenek itu dong?
Aku menutup sampul buku itu. Aku sudah selesai membacanya, dan sekarang sudah pukul sepuluh malam. Aku menguap kecil, kantuk mulai menyerang mataku. Kak Gasta tak kunjung datang, aku sudah tidak kuat menahan kantuk lagi. Dan kuputuskan untuk menempelkan pipiku pada lengan meja, perlahan mataku mulai terpejam.
Karena sudah tidak bisa menahan lebih lama lagi, aku memutuskan memejamkan mata sepenuhnya.
Aku tertidur.