Karena sudah tidak bisa menahan lebih lama lagi, aku memutuskan memejamkan mata sepenuhnya.
Aku tertidur.
Kepalaku bergerak mencari posisi nyaman, tetapi aku tiba-tiba teringat bahwa aku sedang berada di perpustakaan. Mataku mengerjap pelan dengan pipi yang masih menempel pada lengan meja, kini mataku terbuka lemah. Aku memaksakan diri untuk bangun dari tidur lelapku.
Hal yang pertama kali aku lihat saat membuka pejaman mata adalah wajah kak Gasta yang sedang menatapku. Aku pikir ini hanya halusinasi, atau mungkin aku masih berada di alam bawah sadar? Aku tersenyum bodoh, menatap lamat penuh kekaguman wajah Kak Gasta yang begitu dekat dan tampan. Sepertinya aku sangat menyukai pahatan sempurna di wajah Kak Gasta. Ini mimpi, kan? Tetapi mengapa di mimpi-pun wajah Kak Gasta tetap menatapku datar?
Tanganku bergerak pelan menyentuh pipi Kak Gasta, lalu mencubitnya. Aku melakukan ini karena kesal dengan Kak Gasta yang meninggalkanku tanpa pamit, selain itu, aku juga ingin memastikan apakah ini mimpi atau bukan.
Aku mendengar suata ringisan yang keluar dari bibir Kak Gasta. Berarti ini nyata, aku sedang tidak di mimpi!
BAGAIMANA INI?!
Aku langsung duduk menegakkan tubuh, menatap kaget Kak Gasta yang juga menegakkan tubuh di hadapanku. Aku mengusap kedua mata, memastikan bahwa seseorang yang sedang duduk di hadapanku adalah benar-benar Kak Gasta.
Astaga, apa yang sudah aku lakukan?!
"Kak Gasta?" cicitku pelan.
Kak Gasta mendengus. "Lo ketiduran."
"Itu karena Kak Gasta ninggalin gue sendirian di sini."
"Perpustakaan udah dikunci, gue nunggu lo bangun tapi nggak bangun-bangun."
Aku tersentak, dan langsung mengedarkan pandang ke sekeliling perpusatakan yang besar ini. Ya, hanya ada kami berdua di sini sekarang. "Kenapa nggak bangunin gue?" tanyaku panik kepada Kak Gasta.
Kak Gasta tidak menjawab pertanyaanku, ia justru menatapku tanpa ekspresi.
"Ayah bisa marah," ujarku dengan mata memanas. Sudah mulai berpikiran buruk bagaimana reaksi Ayah saat tahu bahwa anak gadisnya sedang duduk berduaan dengan laki-laki asing di larut malam begini.
"Gue udah ijin, tenang aja." Kak Gasta meraih buku yang sempat aku baca tadi di atas meja.
"Di bolehin?" tanyaku masih kaget.
"Hmm ... Kan gue menang catur," kata Kak Gasta santai sembari membaca buku yang aku baca tadi.
Aku menghela napas lega, walau ada perasaan takut yang menyelimutiku karena berada di ruangan sebesar ini. Sedangkan Kak Gasta sudah sibuk membaca, aku bertopang dagu dan menatap lamat wajah Kak Gasta. Hidung bangir, kulit putih, bibir bewarna merah jambu alami, alis tebal hampir menyatu, bulu mata lentik dengan tatapan tajam bak elang. Semua itu terpahat tampan di wajah Kak Gasta, membuatku semakin terpana karena terus memandangi wajahnya.
"Kenapa nggak tidur lagi?"
"Eh?" aku langsung mengalihkan pandang, berusaha menatap apapun kecuali Kak Gasta yang sedang menatapku. "Udah nggak ngantuk." jawabku pelan.
"Oh .... "
Aku meneguk ludah, kini kembali menatap Kak Gasta yang kembali sibuk membaca. Kapan ya, aku bisa memiliki Kak Gasta?
Pertanyaan bodoh itu tiba-tiba muncul di kepalaku.
Kantuk kembali menyerang mataku, padahal aku masih ingin berlama-lama menatap Kak Gasta. Semakin lama, tanganku semakin tidak kuat menopang dagu. Aku memutuskan untuk menempelkan pipi pada lengan meja, tidak memandangi Kak Gasta lagi. Aku merenung sesaat, aku tidak ingin tidur karena aku takut. Bagaimanapun, aku tidak bisa percaya dengan Kak Gasta yang baru kukenal. Walaupun Kak Gasta tidak mungkin memiliki niat jahat padaku.
Jadi, kuputuskan untuk beranjak dari dudukku dengan tidak bersemangat berjalan menyusuri rak buku. Meninggalkan Kak Gasta yang sama sekali tidak menanyakan kemana aku akan pergi. Toh, Kak Gasta tidak pernah peduli denganku.
Aku ingin membaca novel romance karya penulis favoritku. Aku melompat kecil, berusaha menggapai buku yang berada lumayan tinggi dari jangkauanku. Salahkan tubuhku yang pendek ini, selalu menjadi penghalang ketika aku ingin meraih sesuatu yang tinggi.
Apa karena aku pendek, jadi aku tidak bisa meraih Kak Gasta yang tinggi tak tergapai? Apakah tubuhku menjadi penyebabnya?
Aku terus melompat, sampai tanpa sadar dengkul kakiku menyikut rak buku dengan kuat.
"AW!" lutut kakiku berdarah tergores dan ini benar-banar sakit. Aku bahkan sampai terjatuh di ubin lantai perpus karena terlalu kuat menendang rak buku itu.
Aku melihat satu persatu buku berjatuhan dari rak buku di hadapanku, kutatap rak buku itu yang hendak tumbang ke arahku. Aku tidak bisa berlari kemana-mana karena keadaan lutut kakiku yang teramat nyeri.
Aku hampir saja berteriak saat rak buku itu hendak jatuh ke arahku. Namun tangan kekar seseorang tiba-tiba menahan rak buku itu, membuat rak buku itu kembali ke posisi semula.
Aku menghembuskan napas lega. Kak Gasta menyelamatkan aku lagi.
Kak Gasta melepas kedua tangannya dari rak buku itu, lalu menatapku marah. "Bisa nggak usah ngulah, sekali aja?" tanya Kak Gasta datar.
Aku meneguk ludah. "Ma-maaf .... " ringisku sembari menahan sakit di lutut kakiku yang mengeluarkan darah.
Kak Gasta mengehela napas, menatapku bergantian dengan lutut kakiku yang berdarah. "Beresin buku-buku yang jatuh!" titah Kak Gasta dan pergi dari hadapanku.
Aku menahan tangis. Memang selalu seperti ini, kan? Kak Gasta akan datang menolongku saat aku butuh bantuan, lalu setelah itu, ia akan pergi meninggalkanku dengan menggoreskan luka di hatiku. Sekejam itu, seperti diterbangkan menembus langit ketujuh, lalu di hempaskan ke bumi hingga jatuh di jurang terdalam.
Sesakit itu.
Perlahan, aku memaksakan tubuh untuk berdiri dan memungut satu persatu buku yang berjatuhan dan mengembalikannya ke tempatnya berasal. Tidak terlalu banyak buku yang jatuh, sekitar dua puluhan. Tetapi gerakanku begitu lama memakan waktu yang lama, karena harus berjongkok dan menahan perih di lutut kakiku yang sekarang sudah membiru.
Hanya tinggal tiga buku lagi, buku-buku itu cukup terlempar jauh. Aku memungut ketiganya, dan mengembalikan ke tempatnya masing-masing.
Selesai, aku memilih duduk di ubin lantai daripada duduk berdua dengan Kak Gasta di kursi itu. Sepertinya Kak Gasta butuh waktu untuk sendiri, sama seperti diriku.
Tetapi, sebuah bayangan tiba-tiba melintas. Aku merinding, dan dengan gerakan takut berjalan menuju Kak Gasta. Aku duduk di hadapan Kak Gasta yang ternyata sudah tertidur. Kak Gasta tidur dengan posisi yang sama sepertiku, menempelkan pipinya ke lengan meja dengan mata terpejam.
Ketakutanku tiba-tiba hilang di gantikan perasaan senang. Sekarang, aku bisa menatap Kak Gasta tanpa di tatap balik. Aku bisa mengatakan apapun yang aku ingin katakan, tanpa dimarahi dan dibentak oleh Kak Gasta. Aku bisa melakukan apa yang aku mau.
"Kak Gasta tidur ya?" tanyaku pelan. "Tidur aja ganteng, canda ganteng."
Kini aku ikut menempelkan pipi di lengan meja Kak Gasta, menatap Kak Gasta dari dekat dengan wajah yang saling berhadapan.
"Kak Gasta jangan jahat-jahat ya?" bisikku pelan, berharap Kak Gasta tidak mendengar pekataanku. "Kak Gasta jangan marah terus kalau ketemu aku, aku juga pengin lihat Kak Gasta senyum ke aku."
Mataku memanas, kini bulir air mataku menetes dari sudut mata, yang mengalir membasahi batang hidungku. Aku masih menatap wajah kalem Kak Gasta yang sedang tertidur. "I love you Kak Gasta," bisikku pelan dengan mata yang mulai terpejam secara perlahan.
Sebelum mataku benar-benar terpejam karena tertidur, aku bisa merasakan sesuatu menyentuh pipiku yang basah, mengusapnya lembut.
Sepertinya aku sedang bermimpi.