Selesai memasak, aku segera berkemas, membersihkan dapur, ruang tengah, ruang tamu, lalu pergi mandi dan mengganti baju.
Ah, rasanya sangat lega. Tubuhku yang tadinya lengket, kini menjadi segar. Samar-samar, aku mendengar suara Mama yang sedang berbicara.
Mama berbicara dengan siapa?
Apakah Ayah sudah pulang berjualan martabak? Tapi tidak mungkin, ini belum jadwal pulang Ayah. Atau Mama sedang menelepon saudara dari kampung?
Aku berjalan keluar dari kamar menuju dapur. Aku harus segera menyiapkan makan malam sebelum Ayah pulang, dan memanggil Mama untuk makan.
Aku menaruh semua makanan yang tadi sudah aku masak ke atas meja makan. Gelas untuk minum aku susun rapi, begitu juga sayur dan lauk pauk kesukaan Mama yang sudah siap untuk disantap. Lalu aku menutupnya dengan tudung saji.
Sebentar lagi Ayah pasti pulang, mengingat hal itu, aku tersenyum.
Aku duduk di salah satu kursi depan meja makan, lalu merenung. Setelah aku berpikir, ternyata kesederhanaan yang selama ini kumiliki membuatku tidak pernah berhenti bersyukur.
Tetapi, saat aku menyukai kak Gasta, kini semua terasa kurang. Aku yang kurang cantik, kurang uang, kurang harta, kurang pendidikan dan ilmu, kurang biaya hidup, dan aku yang kurang pantas untuk Kak Gasta. Atau mungkin, aku yang tidak pantas sama sekali untuk bersanding dengan kak Gasta.
Ah, sial. Kenapa aku harus memikirkan Kak Gasta, sih?
Faya, ayo lupakan Kak Gasta!
"Assalamualaikum .... "
"Wa'alaikumussalam, Ayah ... Sudah pulang?"
Aku tersadar dari lamunanku saat mendengar suara Ayah. Aku segera berlari ke ruang tamu.
Tetapi langkah kakiku berhenti begitu saja saat melihat Kak Gasta yang sedang mencium punggung tangan Ayah begitu sopan.
Jangan-jangan, suara samar Mama yang terdengar seperti berbincang tadi adalah, Mama yang sedang berbicara dengan Kak Gasta?
"Faya? Kenapa nggak salam Ayah?"
"Ya?" aku mengerjap tersadar, lalu kulirik Kak Gasta yang menatapku tanpa ekspresi.
Ayah tersenyum hangat, Ayah melambaikan tangannya padaku menyuruhku untuk menghampiri Ayah. Entah mengapa, hatiku terenyuh melihat senyum yang tak pernah pudar itu.
"Wa'alaikumussalam, Ayah." ucapku sesampainya di depan Ayah dan mencium punggung tangan Ayah. "Faya udah masak, Ayah lapar?"
Aku melihat gerobak Ayah yang sudah terparkir di halaman rumah. Lalu perhatianku teralih pada mobil hitam yang mungkin milik Kak Gasta, yang juga terpakir di halaman rumah.
"Ayah mandi dulu ya, selesai mandi kita makan." ucap Ayah lalu mengelus lembut surai rambutku.
Lagi-lagi aku melirik Kak Gasta, berharap ada perubahan di wajahnya. Namun tidak, Kak Gasta tetap memasang ekspresi datar. Padahal aku pikir, setelah Kak Gasta melihat bagaimana Ayah memperlakukanku penuh dengan kasih sayang, ekspresi Kak Gasta yang datar akan berubah menampilkan wajah sesal karena ia telah jahat padaku.
Tetapi Kak Gasta tidak melakukan itu.
Aku tersenyum. "Iya, Ayah .... " sahutku pada Ayah.
"Oh iya Gasta, Om pergi sebentar ya, jangan pulang dulu. Nanti kita bicara,"
"Iya, Om." sahut Kak Gasta sopan.
Lihat, Kak Gasta sangat menghargai Mama dan Ayah. Tetapi mengapa ia jahat kepadaku?
Ayah pergi dari hadapan kami.
Mama kembali duduk di sofa ruang tamu, diikuti oleh Kak Gasta. Sedangkan aku masih berdiri mematung, menatap Kak Gasta tanpa berkedip.
Kak Gasta sangat tampan. Ia memakai kemeja dan jeans selutut, se-simpel itu, tetapi sangat pas untuk gaya kak Gasta dan memberikan kesan yang WOW.
"Faya, kenapa gak duduk?" tanya Mama. "Kenalin, ini Gasta, anak dari Nyonya tempat Mama kerja."
"Nyonya?" beoku tanpa sadar. "Nyonya siapa?"
"Ibunya Gasta," jawab Mama dan berdeham. "Gasta, ini anak Mbok, namanya Faya."
"Mbok?" kagetku lagi, masih berdiri di posisi yang sama. "Kenapa enggak manggil Tante?" tanyaku heran.
"Faya .... " panggil Mama lembut. "Kamu, kan, sudah tahu kalau Mama bekerja sebagai pembantu. Jadi---"
"Benar kata Faya, Gasta seharusnya manggil Tante, bukan Mbok." kata Kak Gasta tiba-tiba.
Aku melihat sorot mata Mama yang tampak ketakutan. "Ta-tapi Gasta---"
"Tidak apa-apa, Tante." kata Kak Gasta memotong ucapan Mama, lalu menatapku yang langsung mengerjap. "Gasta datang kemari karena mau minta maaf sama perlakuan Mama ke Tante. Mungkin ... Mama sedikit kasar, tapi itu bukan sikap asli Mama kok."
Aku menggigit bibir bawahku. Kak Gasta meminta maaf kepada Mama, tetapi ia terus menatapku.
Apakah Kak Gasta sedang mengancamku? Aku tidak tahu apa arti dari tatapan Kak Gasta, tetapi itu membuatku gugup.
"Tidak apa-apa, Gasta. Mbok----"
"Tante." tegas Kak Gasta meralat ucapan Mama.
Mama meringis pelan. "Tante sudah maklum sama sifat Nyonya. Jadi, Tante tidak tersinggung sama sekali."
Tidak salah, kan? Aku mengatakan bahwa Mama itu hebat. Mama bisa memaafkan orang-orang yang menyakitinya tanpa merasa tersinggung sama sekali.
Berbeda denganku yang sangat mudah tersinggung lalu menangis.
"Makasih Tante, " Kak Gasta dan kembali menatapku tanpa kata. "Kamu juga maafin Mama aku, kan?"
Aku diam.
Beberapa detik terlewati, yang aku lakukan hanya membalas tatapan Kak Gasta.
"Faya? Gasta lagi nanya ke kamu loh, Nak." kata Mama di sela-sela keheninganku yang menatap Kak Gasta tanpa suara.
"Ya?" kagetku dengan bola mata yang hampir keluar.
Apa tadi? Kak Gasta bicara denganku? Pakai Aku-Kamu?
Aku tidak salah dengar, kan?
"Faya," panggil Kak Gasta. "Tolong maafin Mama aku ya,"
TIDAAAAK.
Kak Gasta benar-benar sedang berbicara denganku menggunakan bahasa aku-kamu.
Dan mengapa Kak Gasta terlihat sangat menggemaskan?!
Jelaskan padaku, kenapa sosok Kak Gasta yang kejam, datar, dan menusuk itu berubah menjadi kalem hanya karena nada bicaranya yang biasanya terdengar marah kini berubah menjadi lembut, dan penggunaan bahasa yang biasanya 'lo-gue' kini menjadi 'aku-kamu'.
Aku merasakan pipiku memanas. "Enggak kok, Kak." sahutku malu-malu. Seolah-olah, aku bukanlah gadis bernama Faya yang menangis beberapa jam yang lalu karena lelaki bernama Gasta.
"Mama, Faya, ayo makan." Ayah datang dari dapur, lalu Ayah memandang Kak Gasta. "Gasta, kamu mau ikut makan malam?" tanya Ayah ragu.
Aku dan Mama ikut memandang Kak Gasta, menunggu jawaban lelaki itu.
"Eung ... " Kak Gasta menatapku.
Entah mengapa jantungku jadi berdegup kencang, aku sangat ingin Kak Gasta mencicipi masakanku.
Mama juga diam, Mama dan Ayah sama-sama menunggu keputusan Kak Gasta.
Beberapa detik terlewati dengan keheningan, bahkan suara jarum jam yang berdetak mengisi kekosongan di ruang tamu.
"Gasta mau, Om."
Aku menghembuskan napas yang tertahan selama Kak Gasta mempertimbangkan keputusannya.
Aku tersenyum, kini menatap Kak Gasta dengan berbinar. "Ayo Kak, ke dapur." ajakku ramah padanya.
Kak Gasta mengikuti langkah kakiku menuju dapur.
Ternyata aku begitu cepat memaafkan ucapan menyakitkan dari Kak Gasta, bahkan aku sudah bisa tersenyum dan kembali menatap kagum Kak Gasta.
"Akhirnya," Mama tersenyum. "Suatu kehormatan bagi kami, kalau kamu mau makan di rumah Tante, Gasta."
Ayah merangkul Mama sembari berjalan ke dapur. "Terima kasih Nak, telah menghargai kami." kata Ayah dan tersenyum kepada Kak Gasta.
Aku menghentikan langkah saat itu juga.
"Menghargai?" beoku, lalu menatap Kak Gasta yang juga menghentikan langkah.
"Kenapa?" tanya Kak Gasta padaku.
"Bukan apa-apa."
***
Selesai makan malam, aku dan Mama duduk di sofa sembari menonton televisi.
Sedangkan Ayah dan Kak Gasta sedang bermain catur di teras rumah.
Sesekali aku mendegar suara Ayah yang sedang tertawa kencang, lalu suara Ayah yang mendesah kecewa.
Sepertinya sangat seru jika aku bergabung dengan Kak Gasta dan Ayah. Aku ingin melihat bagaimana ekspresi datar Kak Gasta saat berhadapan dengan Ayah, tetapi aku takut Kak Gasta terganggu dan tidak nyaman atas kehadiranku disana.
"Ma," panggilku. Mama menunduk, menatapku yang tiduran di sofa dan berbantalkan paha Mama. "Kak Gasta ngapain ke rumah?"
"Loh, bukannya mau minta maaf?"
"Emm ... Maksud Faya, sejak kapan?"
Mama tidak curiga sama sekali, Mama mengelus dahiku secara berulang dengan lembut. "Waktu kamu masak, Gasta sudah datang." jawab Mama seadanya.
Aku mengerjap. "Udah lama ya? Mama bicarain apa aja sama Kak Gasta sampai Ayah datang?"
"Iya udah lama." kini Mama menatapku. "Awalnya Gasta bilang dia cuma sekalian mampir, karena lewat jalan depan rumah. Terus bicarain hal lain, Mama lupa. Soalnya Gasta pintar banget nyari topik pembicaraan, sampai Mama nggak sadar kalau Ayah udah pulang." Mama tertawa renyah.
Aku mendesah. Kenapa Kak Gasta tidak banyak bicara padaku?
Kenapa Kak Gasta banyak bicara dengan Mama?
Maunya Kak Gasta siapa, sih?
Mama atau aku?
"Oh iya, Gasta bilang, kamu sama Gasta satu kampus, ya Nak?"
Aku menatap Mama, lalu langsung duduk. "Kak Gasta ceritain apa aja tentang Faya?" tanyaku antusias dan tak menggubris pertanyaan Mama.
Mama mengerutkan dahi. "Gak ada, dia tahu kamu anak Mama karena tadi sore kamu jemput Mama dan kebetulan ada Nak Gasta di situ."
Aku mengerucutkan bibir, lalu kembali tidur dan menaruh kepala di atas paha Mama. "Iya, Faya sama Kak Gasta satu kampus, Ma." jawabku malas-malasan.
"Kamu suka Gasta, ya?"
"HA?!" pita suaraku rasanya ingin putus karena kaget mendengar pertanyaan Mama.
"Kamu kok teriak, Nak?" Mama mengelus kedua kupingnya. "Syukur Mama nggak punya penyakit jantung."
Aku meringis pelan, kembali duduk. "Faya gak mungkin-lah, suka sama Kak Gasta." aku diam sejenak. "Kan beda kasta, Ma." ucapku dan tersenyum tipis.
Walau hatiku tersayat saat mengatakan itu.
"Gasta, kenapa masih berdiri di sini? Katanya mau pergi ajak Faya keluar."
Suara Ayah membuatku menoleh ke pintu rumah, aku melihat Kak Gasta yang sedang berdiri di sana sembari memandangku dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan.
Sedangkan Ayah mengajak Kak Gasta untuk masuk.
Aku meneguk ludah.
Mungkin, kah, Kak Gasta mendengar ucapanku?