"Dan lo anak dari salah satu pembantu di rumah gue."
Aku menangis. Kak Gasta jahat banget ya?
"Gue bukan anak pembantu, Mama nggak pembantu." ucapku di sela-sela tangisku.
Aku yakin bahwa orang-orang di toko es krim ini pasti sedang menatapku yang menangis.
"Jauhin Lea." tegas Kak Gasta.
"Ke-kenapa gue harus jauhin Lea?"
"Karena derajat kalian berbeda. Kalau lo masih mau hidup dengan tenang, lo nurut aja. Jangan banyak tingkah,"
"Ta-tapi .... "
"Buat ganti sepatu gue, gaji nyokap lo bakalan di potong."
Mama pembantu? Di rumah Kak Gasta?
Berarti Ibu-Ibu kejam itu adalah Mamanya Kak Gasta?
Aku semakin menangis. Mama tidak pernah memberi tahuku bahwa ia bekerja sebagai pembantu di rumah orang. Ia hanya mengatakan bahwa ia mendapatkan pekerjaan paruh waktu.
Seandainya aku tahu, aku tidak akan membiarkan Mama bekerja menjadi pembantu di rumah Ibu kejam itu. Aku akan memilih untuk tidak kuliah dan membantu Ayah jualan martabak.
"Faya, lo nangis? Gasta! Lo apain Faya?!"
Lea sudah kembali. Aku bangkit dari duduk-ku dan menatap Lea juga Kak Gasta secara bergantian dengan linangan air mata yang membasahi pipiku.
Aku mengusap kedua pipiku yang basah, tersenyum paksa ke arah Lea. "Lea, lo pulang bareng kak Gasta ya? Gue lagi sakit perut, gue mau pulang dulu."
Lea menahanku, aku justru menatap Kak Gasta yang tidak bereaksi apa-apa.
"Kenapa? Ayo gue anter ke rumah sakit, lo bahkan belum makan es krimnya!" panik Lea dan memandangku khawatir. "Ayo, biar gue yang bawa motor."
Aku melepas pegangan Lea di lenganku. "Nggak perlu Le," tolakku halus dengan suara serak. "Gue bisa sendiri."
Aku memandang Kak Gasta yang sama sekali tidak merasa bersalah atas ucapannya yang begitu menyakitkan. Lalu aku melangkah pergi meninggalkan Lea yang menyerukan namaku berkali-kali, bahkan aku masih bisa mendengar bahwa Kak Gasta menahan Lea agar tidak mengejarku.
Aku kembali menangis.
Jatuh cinta itu menyakitkan, ya?
Langkah kakiku semakin lama semakin cepat, bahkan tanpa sadar aku sudah berlari.
Ternyata pertemanan juga memiliki kasta. Itulah alasan mengapa selama ini aku tidak memiliki teman, karena tidaj ada yang se-kasta denganku.
Arga satu-satunya lelaki yang mau denganku, walaupun pada akhirnya ia menghempaskanku dari langit ke tujuh hingga ke jurang terdalam sampai badanku remuk tak berbentuk.
Aku sudah sampai di hadapan motor cokelat kesayanganku, hasil kerja kerasku saat SMA. Aku mengenakan helm pemberian Ayah, dan menancap gas meninggalkan Mall ini.
Rasanya sangat sakit. Seperti sebuah belati yang di tancapkan ke dada, dan itu sangat menyakitkan. Ucapan setejam belati Kak Gasta menembus relung hati terdalamku hingga memberikan luka disana.
Aku baik-baik saja jika Kak Gasta mempermalukanku di depan umum, atau bahkan menyuruhku menjauhi Lea.
Tetapi mengapa ia ikut merendahkan Mama? Seorang wanita hebat yang kumiliki, dan Kak Gasta mengatakan bahwa Mama adalah seorang pembantu di rumahnya.
Pagar rumah megah dan mewah itu terbuka, aku masuk dan memarkirkan motorku di halaman rumah.
Aku menunggu Mama keluar dari rumah itu, aku terlambat beberapa menit menjemput Mama.
Ya, selama ini Mama hanya mengatakan bahwa ia bekerja paruh waktu. Aku tidak bertanya pekerjaan seperti apa yang dilakukan Mama di rumah besar ini, dan mengapa Mama selalu mendapatkan perlakuan kasar dari Ibu kejam pemilik rumah ini.
Dan, jika aku bertanya. Mama akan menjawab, 'tidak apa-apa'.
Pintu utama rumah itu terbuka. Aku melihat Mama keluar dari rumah itu dengan wajah ketakutan.
Aku turun dari motor dan segera menghampiri Mama.
"Saya sudah bilang kalau tidak mampu bekerja dengan baik, silahkan berhenti bekerja."
"Ma-maaf nyonya, saya tidak akan ulangi lagi."
"Sudah berapa banyak baju yang gosong karena setrikaanmu?!"
Aku mematung, menatap Mama yang sedang dimarahi oleh Ibu kejam itu.
"Saya minta maaf, nyonya."
"Ma .... " pangggilku dengan suara bergetar.
Perhatian Ibu kejam itu teralih kepadaku. "Sana pulang! Anak miskin itu sudah menjemputmu!" pintu rumah itu di tutup keras.
Aku menatap Mama.
Mama tersenyum, wajah keriputnya terlihat semakin jelas. Ia berjalan menghampiriku, dan menggenggam tanganku seolah ia baik-baik saja sekarang.
"Sayang, ayo pulang."
Tubuhku bergetar.
Bagaimana mungkin Mama bisa sekuat ini?
Mama tersenyum menenangkan sedangkan ia sendiri butuh di tenangkan. Dan itu membuat hatiku semakin tersayat.
"Mama ... pembantu?"
Aku melihat sorot kaget di mata Mama. "Faya ... Mama---"
Aku memeluk Mama, dan menangis di pelukannya. "Ma, makasih ya." bisikku pelan.
Mama tersenyum, ia melepas pelukanku. "Ayo pulang," ajak Mama.
Aku menganggukkan kepala, walau air mataku masih menetes. Aku pikir, Mama tidak ingin berlama-lama di rumah Ibu kejam ini.
Saat aku dan Mama berbalik, aku melihat Kak Gasta dengan ekspresi datarnya sedang menatapku dari halaman rumah, tempat mobilnya terparkir.
Aku meneguk ludah.
Di sebelah Kak Gasta ada Lea yang menatapku kaget.
Aku menggenggam tangan Mama. "Ayo Ma, kita pulang."
Aku memalingkan muka dan naik ke atas motor di ikuti oleh Mama yang duduk di jok belakang motor.
Aku menancap gas. Meninggalkan rumah yang ternyata tempat Kak Gasta dan Lea hidup bahagia disana.
Sedangkan Mama terluka karena sikap kejam Ibu pemilik rumah itu.
Sepanjang jalan menuju rumah, aku menahan tangis. Mengingat bagaimana Mama diperlakukan oleh Ibu kejam itu membuatku semakin ingin menangis.
Ternyata, aku dan Kak Gasta tinggal di komplek yang sama. Namun rumah sederhanaku di sudut komplek, berbeda dengan rumah mewah Kak Gasta.
Kami di blok yang sama, namun aku berada di ujung blok utama perumahan ini.
Tetapi mengapa saat mengantar Lea pulang, Lea tidak menyuruhku mengantarnya ke rumah Ibu kejam itu?
Pertanyaan itu tiba-tiba terlintas di otakku saat aku mematikan mesin motor di halaman kecil rumah kami.
Mama turun dari atas motor. "Fay, kamu mau makan apa? Biar Mama masakin."
Aku melepas helm, hatiku terenyuh mendengar pertanyaan Mama. "Hari ini biar Faya yang masak Ma." aku tersenyum tulus. "Mama istirahat aja, Faya masakin makanan kesukaan Mama."
Mama mengusap sudut matanya yang berair. "Kamu gak malu punya Mama pembantu?"
Aku membuka kunci pintu rumah. Menahan diri agar tidak menangis mendengar pertanyaan Mama. "Aku justru malu karena gak bisa bantu Mama, aku malu karena kuliah sedangkan Ayah sama Mama kerja keras buat nafkahin aku." aku menangis, air mata yang sedari tadi kubendung kini keluar. Aku berbalik, menatap Mama. "Aku nggak pernah malu punya wanita hebat kayak Mama, aku juga gak pernah malu punya pahlawan kayak Ayah. Mama jangan ngomong gitu lagi, hati Faya sakit dengarnya."
Mama menangis. "Maafin Mama," kata Mama dan memelukku. "Kamu harus tetap berkuliah, kamu nggak boleh kayak Mama. Kamu harus sukses, kamu harus berhasil, kelak kamu akan dihargai orang lain."
Aku menangis, semakin menangis mengingat bahwa aku tidak bisa membanggakan Mama.
Beruntungnya, area lingkungan rumah kami sepi karena sangat jarang orang yang lewat jalan kecil di depan rumah kami.
Mama mengusap punggungku. "Kamu harus di hargai, jangan seperti Mama dan Ayah."
Perkataan Mama membuatku semakin menangis.
Ma, Kak Gasta tidak menghargaiku.
Aku ingin mengucapkan itu, tetapi aku tidak ingin membuat Mama bersedih.