KAK GASTA?!
Jantungku berdegup kencang, aku bisa merasakan hembusan hangat napas Kak Gasta di leherku. Dan itu membuatku merinding, hawa tubuhku tiba-tiba panas.
"Ka-kak Gasta, hantu nya udah hilang."
Kak Gasta mengangkat kepala, melepaskan pelukannya dari tubuhku yang rasanya sudah membeku.
Aku masih tidak menyangka bahwa sosok lelaki sedingin Kak Gasta sedang memeluk tubuhku beberapa detik yang lalu. Memeluk tubuhku?
TUBUHKU?!
Aku jadi berpikir bagaimana pendapat Kak Gasta tentang tubuhku? Bukan, bukan tentang apakah tubuhku menggoda baginya atau tidak. Tetapi, apakah aku memiliki aroma yang membuat Kak Gasta nyaman di pelukanku?
Namun aku tidak memakai parfum apapun di bajuku, bahkan di tubuhku, selain minyak kayu putih milik bayi yang selalu ku usapkan ke perut, leher, dan telapak tanganku.
Aku meringis pelan. Dasar bodoh, bagaimana mungkin Kak Gasta nyaman dengan aroma minyak bayi?
"Lo masih hidup, kan?"
Pertanyaan dengan suara berat khas Kak Gasta itu membuatku tersadar dari lamunan. "Kak Gasta ngomong sama siapa, ya?" tanyaku pada Kak Gasta yang kini memutar bola mata.
Sepertinya memutar bola mata adalah hobi kak Gasta.
"Siapa lagi?" jawab Kak Gasta dan mendengus. "Gue pikir lo mati karena gue peluk." gumamnya malas.
Aku menggeleng sembari tertawa kecil. "Gue hampir mati sih," jawabku bodoh.
Faya sialan, kenapa aku bertingkah sok imut sih?
Aku bisa melihat dengan samar kedua sudut bibir Kak Gasta yang tertarik.
Apakah Kak Gasta sedang tersenyum? Kepadaku?
Tanpa kami sadari bahwa film di layar telah habis dan tamat, lampu bioskop tiba-tiba hidup. Semua menjadi terang.
Yang pertama kali kulihat dengan jelas adalah wajah datar Kak Gasta.
Apakah Kak Gasta langsung mengubah eskpresinya ketika lampu bioskop hidup? Atau aku yang salah lihat bahwa Kak Gasta sedang tersenyum kepadaku di saat lampu bioskop masih padam?
"Faya, ayo pulang."
"Ha?" Aku langsung menatap Lea yang sudah berdiri dengan wajah melongo. "Ah, iya." aku ikut berdiri dan melangkah di belakang Lea yang berjalan keluar bioskop.
"Sumpah ya, kenapa akhir filmnya sedih?" Lea menyeka sudut matanya yang berair. "Gue masih nggak ikhlas kalau hantu sama manusianya milih buat hidup masing-masing."
Lea menghentakkan kaki dengan kesal ke ubin lantai. "Ah, nyesel gue nonton. Gue mau mereka hidup bersama terus bahagia! Bukan malah pisah!"
"Tapi itu cuma fiksi ... Lo nggak perlu nangis," gumamku pelan.
Lea menatapku kesal. "Heh!" bentaknya yang membuat orang-orang di sekitar kami ikut menoleh. "Buat gue, mau itu fiksi atau enggak, kalo gue udah sayang sama pemerannya, gue mau mereka bahagia!"
"Kenapa bukan lo aja yang bahagia sama hantu?"
Tidak, itu tidak suaraku.
Suara berat itu milik Kak Gasta yang ternyata berjalan di belakangku dengan satu earphone yang terpasang di telinga kanannya.
Aku pikir Kak Gasta memilih berpisah dari kami setelah keluar dari bioskop. Ternyata dia berjalan dibelakangku sedari tadi tanpa aku sadari.
Sebenarnya, aku ingin tertawa mendengar ucapan Kak Gasta yang tertuju untuk Lea. Tetapi melihat bagaimana raut kesal di wajah Lea yang begitu kentara, membuatku menahan tawa karena kasihan kepada Lea. Dan memilih tertawa di batin saja.
"Lo ada masalah apa sih, sama gue?" Lea menarik tanganku agar berjalan di sampingnya. "Jauh-jauh dari teman gue, lo bisa nularin virus ke Faya."
Aku meringis pelan. Kenapa Lea tidak peka sekali? Aku-lah yang ingin dekat-dekat dengan Kak Gasta. Dan Kak Gasta pasti sangat ingin jauh-jauh dariku, karena aku yang akan menularkan virus kepada Kak Gasta. Bukan Kak Gasta.
Lea ini ada-ada saja. Apa dia tidak sadar bahwa dia sedang membalikkan fakta?
Aku melirik kecil Kak Gasta yang berjalan tidak jauh di belakang kami, lalu aku melambaikan tangan riang kepadanya. Aku tidak tahu mengapa aku melakukan hal konyol ini, tetapi merayu Kak Gasta begitu menyenangkan.
Kak Gasta memalingkan wajah dariku.
Aku tertawa pelan, membuat Lea yang sibuk berceloteh menoleh ke arahku yang langsung menutup mulut rapat-rapat.
"Kenapa ketawa?"
"Eung ... " aku menggigit bibir bawahku, takut jika Lea akan marah kepadaku seperti ia marah kepada Kak Gasta. "Nggak kenapa-kenapa."
Lea memajukan bibir bawahnya, kembali merengek pelan. "Pokoknya gue nggak terima kalau hantunya gak bahagia sama manusia! Mereka gak boleh hidup masing-masing."
Aku hanya diam, tidak tahu harus menjawab apa perkataan Lea karena aku juga tidak menonton sepenuhnya film di bioskop tadi.
"Menurut lo gimana Fay?"
"Ya?" Aku menghela napas, "seharusnya happy ending biar para penonton ngerasa puas."
"Nah, kan! Semua orang selalu mengharapkan akhir yang bahagia di hidupnya!" Lea menoleh kebelakang. "Kecuali cowok satu itu, beda cerita kalau dia yang jadi hantu di film itu. Yang ada si manusianya dibunuh." cibir Lea dan kembali menghadap kedepan saat Kak Gasta menatapnya.
Aku langsung menghadap depan saat Kak Gasta juga menatapku.
"Oh iya Fay, beli es krim yuk?"
Aku melihat Lea dan menimang-nimang ucapannya. "Boleh, tapi selesai beli es krim kita pulang ya?"
"Kok buru-buru banget sih, Fay?"
"Gue nggak boleh pulang lama-lama," jawabku dan menatap lantai yang kupijaki. "Nanti ada yang marah."
"Pacar lo yaaa???" tanya Lea dengan suara yang cukup keras dan menggoda. Ia merangkul pundakku sambil tersenyum. "Gue pikir lo nggak tertarik sama yang namanya pacaran, ternyata udah ada yang punya hihihi
... Gak jadi deh gue kenalin lo ke Gasta, nanti pacar lo marah."
Aku hanya tersenyum tipis membalas ucapan Lea. Namun entah mengapa naluriku membawa mataku untuk melihat kebelakang, ingin tahu bagaimana reaksi Kak Gasta yang mungkin mendengar ucapan Lea barusan.
Aku bodoh ya?
Kak Gasta bahkan tidak melihat ke arah kami, ia sibuk berjalan dengan ponsel yang menempel di samping telinganya. Dia tidak mungkin mendengarkan percakapanku dengan Lea, ketika Kak Gasta sendiri sedang menelepon.
Aku memang bodoh karena berharap Kak Gasta cemburu padaku.
Hahaha dasar Faya bodoh!
Kami berhenti di toko es krim, masih di dalam Mall. Aku dan Lea duduk di kursi bagian tengah yang kosong, kami langsung memesan saat salah satu pelayan toko es krim datang menanyakan pesanan.
Saat Lea sibuk berbicara dengan pelayan itu, aku justru memandang Kak Gasta yang masih berada di luar toko. Dia sedang tertawa, aku tidak apa alasannya tertawa hingga menjauhkan ponsel dari telinganya.
Untuk pertama kalinya aku melihat lelaki sedingin Kak Gasta tertawa. Aku penasaran, siapa sosok dibalik telepon itu dan apa yang ia katakan hingga berhasil membuat Kak Gasta tertawa.
Seandainya aku bisa membuat Kak Gasta tertawa seperti itu, apakah Kak Gasta akan bersikap hangat kepadaku?
Tidak mungkin.
Sedangkan yang kulakukan hanya bisa mengaguminya dari jauh, bahkan sekalipun jarak kami dekat, namun kak Gasta tetap terasa jauh dan tidak bisa digapai.
Aku menopang dagu, masih memandang penuh kagum pada Kak Gasta yang sedang tersenyum.
"Faya!"
Aku tersentak.
"Lo lihatin siapa sih?" Lea mengedarkan pandangannya. Aku dengan cepat menegakkan tubuh dan memalingkan wajah dari Kak Gasta sebelum ketahuan oleh Lea.
"Kenapa?" tanyaku pada Lea yang sedang memegang perut. Ternyata ia sudah selesai berbicara dengan pelayan itu.
"Gue kebelet pipis!" Lea berdiri. "Gue pergi ke toilet dulu ya, nanti Gasta suruh duduk disini aja! Gue pergi dulu!" Lea berlari terburu-buru keluar dari toko es krim, aku bisa melihat Lea yang berbicara sebentar dengan Kak Gasta di luar toko es krim. Kak Gasta sepertinya sudah selesai menelepon.
"Ini Mbak pesanannya, silahkan dinikmati ya."
Perhatianku teralihkan saat sosok pelayan toko es krim datang mengantarkan es krim pesanan kami. Aku tersenyum, "iya, makasih mbak." sahutku kepada pelayan wanita yang itu yang membalas ucapanku dengan anggukan kepala lalu pergi.
Saat pelayan itu pergi, aku kembali menoleh ke luar toko. Mencari keberadaan Kak Gasta disana.
Dimana Kak Gasta? Dia sudah tidak ada di tempat dimana aku melihatnya tadi. Kemana Kak Gasta pergi? Apa dia menemani Lea atau memilih pulang dibanding bergabung bersamaku dan Lea?
"Nyari gue?"
Aku melotot kaget. Ya Tuhan, lelaki tampan ini selalu membuatku terkejut.
Kak Gasta duduk dihadapanku dengan wajah datarnya.
Aku tidak menjawab pertanyaan Kak Gasta dan memilih untuk tersenyum. Semoga saja Kak Gasta terpikat dengan senyumku yang hambar ini karena dibalas dengan tatapan menusuk dari mata tajam milik Kak Gasta.
"Ini punya Kak Gasta," aku menggeser es krim pesanan Lea untuk Kak Gasta, ke hadapan Kak Gasta.
Kak Gasta menaikkan satu alisnya, ia menatap acuh es krim di atas meja itu.
Dia menyimpan ponselnya ke dalam saku kemeja yang ia kenakan. Lalu menatapku. "Lo teman Lea?"
Aku meneguk ludah, tiba-tiba takut jika Kak Gasta akan mempermalukanku lagi. "Iya .... "
"Sejak kapan?"
"Sejak hari ini, mungkin?" aku menatap ragu Kak Gasta. "Kenapa ... Kak?"
"Jauhin Lea." kata Kak Gasta tiba-tiba.
Aku diam.
Kak Gasta memalingkan wajah dariku. "Lo nggak pantas temanan sama dia, lo bakalan bawa pengaruh buruk buat kehidupan Lea. Dan satu lagi, lo belum bertanggung jawab sama sepatu gue yang lo tumpahin jus busuk lo."
Apa ini? Ini mimpi, kan? Tidak mungkin Kak Gasta mengatakan hal sejahat itu kepadaku.
Tidak, Kak Gasta tidak mungkin mengatakan itu.
"Gue udah cari tahu tentang kehidupan lo, ternyata lo cuma anak pembantu."
Aku mengerjapkan mataku yang berair, masih menatap Kak Gasta yang menatapku tanpa ekspresi.
"Dan lo anak dari salah satu pembantu di rumah gue."
Dunia, benar-benar jahat ya?