Siang ini Mall cukup ramai.
Aku dan Lea menyempatkan diri untuk mengisi perut di salah satu restoran Mall, sebelum jam tayang film dimulai.
Aku menatap Lea pasrah, kami baru kenal dan bertemu beberapa kali. Tetapi Lea bertingkah seolah-seolah kami adalah teman lama dan akrab, dia menceritakan banyak hal tentang dirinya. Lea yang tidak punya teman, Lea yang dimanfaatkan, Lea yang memiliki banyak mantan kekasih, Lea yang cantik dan tidak angkuh.
Setidaknya itu yang dapat aku simpulkan dari semua cerita panjang Lea kepadaku.
"Faya!" seru Lea tiba-tiba dan menegakkan tubuh. "Lima menit lagi filmnya tayang!" kata Lea dan menyimpan ponselnya kedalam saku.
Lea bangkit dari duduknya dan berlari ke arahku, menarik tanganku paksa dan membawaku ke luar restoran. Kami sudah selesai makan dan bayar sejak tadi, tetapi memilih tetap di restoran karena malas menunggu antrian bioskop.
Kini aku dan Lea berlari-lari menuju lantai empat, Lea dengan heboh mengusir orang-orang yang menghalangi jalan kami. Beberapa orang melayangkan tatapan aneh kepada kami bahkan mencibir tidak suka.
Aku ingin sekali mengucapkan kata maaf saat tubuhku tidak sengaja menabrak seseorang, tetapi hal itu tidak bisa kulakukan karena Lea terus menarik tanganku membawa tubuhku berlari bersamanya.
Aku terengah dengan napas yang memburu, menatap pintu lift yang masih tertutup. Disampingku, Lea mengatur napas dengan raut wajah paniknya.
Lea menatapku. " Dua menit lagi bakalan mulai!" paniknya dan mengepalkan tangan gemas karena lift masih tertutup.
"Kita belum mesan tiket," ucapku. "Lain kali, mungkin?"
Pintu lift terbuka.
Lea dengan cepat kembali menarik tanganku masuk ke dalam lift. Hanya ada kami berdua disini.
"Gak bisa! Gue harus jadi penonton gelombang pertama, ini bukti apresiasi gue ke penulis tersayang gue!" kata Lea menggebu, ia menatapku lekat. "Soal tiket, kita udah dipesanin sama Gasta. Lo tenang aja," ucapnya dan tersenyum.
Aku membeku. "Gas ... Ta?" bisikku pelan entah kepada siapa.
Aku pikir, Lea tidak mendengar bisikanku. Ia menunggu dengan tidak sabar pintu lift yang terbuka secara perlahan. Lea dengan cepat keluar pintu lift di lantai empat, sedangkan aku masih mematung di dalam lift.
"Faya, ayo!"
Aku mundur selangkah saat Lea hendak meraih tanganku, aku menatapnya. "Gue gak ikut .... " ucapku pelan.
Lea melotot kaget, ia menahan pintu lift agar tidak kembali tertutup. "Lo ngomong apa, sih? Ini tinggal beberapa detik lagi, Faya."
Aku menggigit bibir, perlahan kakiku melangkah keluar lift. Ada apa ini? Aku tidak ingin bertemu kak Gasta, dia bisa saja masih membenciku.
Tapi mengapa kakiku terus melangkah dan menerima uluran tangan Lea?
"Gue pikir lo benaran nggak mau ikut tadi," kata Lea khawatir. "Gasta udah nungguin kita."
Kini kami berhenti di pintu bioskop, aku melihat kak Gasta yang sedang berdiri dan bersandar pada dinding dengan mata memejam dan kedua tangan di masukkan ke dalam saku celana.
"Gasta!" Lea tersenyum ke arahku, ia menarikku mendekat pada kak Gasta yang menegakkan tubuh. "Ini teman gue, Faya." kata Lea lalu menatapku. "Fay, ini kembaran gue Gasta."
Aku tersenyum kikuk, menatap kak Gasta yang membalas tatapanku dengan datar. "Salam kenal, kak Gasta .... " ucapku memberanikan diri.
Aku tidak mendengar sahutan apapun dari kak Gasta, dia memalingkan wajah dariku. "Ayo masuk, film udah mulai." ucapnya terdengar datar dan masuk ke dalam bioskop.
"Sabar, ya. Gasta memang gitu orangnya, lain kali gue kenalin lo lagi sama dia."
Aku tersenyum tipis. "Nggak papa kok," sahutku pada Lea dan ikut masuk ke dalam bioskop.
Kak Gasta duduk di kursi sudut belakang bioskop, aku dan Lea terpaksa mengikutinya.
Layar bioskop masih menampilkan iklan, jadi kami belum terlambat untuk menonton. Dan para penonton yang lain-pun masih belum merasa terganggu atas kehadiran kami yang mungkin bisa menutup layar bioskop.
"Lo duduk di samping Gasta aja, biar bisa dekat-dekat." bisik Lea disamping telingaku saat kami hendak duduk.
Karena lampu bioskop sudah dipadamkan, samar aku menatap wajah Lea dan menggeleng takut. "Nanti kak Gasta marah," balasku berbisik pada Lea.
Lea mencebik, ia tiba-tiba mendorong tubuhku dan aku terdorong duduk pasrah di samping kursi kak Gasta.
Aku bisa mendengar Lea sedang cekikikan di samping kiriku, sedangkan mataku kini menatap kak Gasta di samping kananku.
Kak Gasta membalas tatapanku, lalu mendengus dan membuang muka. "Film udah mulai," kata kak Gasta entah ada siapa.
Aku berdeham, lalu ikut menghadap depan. Menonton layar bioskop yang sudah menampilkan adegan film.
Film yang kami tonton sekarang adalah film ber-genre horor dan comedy. Dan yang pastinya di bumbui romance, kisah cinta antara sang hantu dan manusia.
Aku mengerjap, menatap takut layar bioskop yang menampilkan sosok hantu sang pemeran utama di dalam film itu.
Awal film cukup menegangkan. Bahkan membuatku sempat menahan napas karena merasa tegang.
Baguslah, aku berhasil tidak berteriak saat melihat wajah hantu itu di saat penonton lain berteriak ketakutan. Bahkan Lea sampai memelukku dari samping sembari merapalkan do'a, dan aku hanya bisa menerima pasrah perlakuannya.
Lea kembali menghadap depan, scene sudah berganti.
Aku terkekeh kecil, ralat, para penonton sedang tertawa karena menonton adegan lucu yang mengocok perut.
Sang hantu sedang jatuh terjembab karena mengejar manusia yang menjahilinya.
Aku tertawa, kali ini mengeluarkan suara. Lea bahkan menepuk-nepuk tanganku, dia tertawa terpingkal-pingkal hingga memegang perut.
Setelah beberapa saat aku tertawa, rasanya tenggorokanku kering. Aku meraih minum yang tadi sempat di belikan oleh Lea.
Aku meminum minumanku, lalu menaruh ke tempatnya kembali, bersampingan dengan minuman milik kak Gasta.
Sepertinya adegan horor akan segera muncul, aku mempersiapkan diri dan mental. Netra mataku menangkap sesuatu, oh, itu tangan kak Gasta yang bergerak meraih minum. Aku menatap kak Gasta, dia sangat tampan. Di kegelapan seperti ini, aku tiba-tiba teringat saat di aula kampus ketika kak Gasta bermain piano dan hanya dia satu-satunya yang bersinar terang saat itu. Sama seperti sekarang, kak Gasta selalu bersinar di mataku.
Aku bisa melihat bahwa kak Gasta meraih minumnya namun mata tajamnya fokus menatap layar bioskop. Aku masih memperhatikannya lamat-lamat, dan aku terbelalak kaget. Tidak, bukan karena kak Gasta teramat tampan, tetapi tangannya yang meraih minumanku dan meneguknya.
Kak Gasta salah raih, dia tidak tahu jika minuman yang sedang di minumnya adalah milikku.
Aku meneguk ludah. Kami ... Sedang ciuman secara tidak langsung, kan?
Kak Gasta tiba-tiba membalas tatapanku. Ia melepas sedotan itu dari mulutnya, lalu kembali menaruh minumanku ke posisi semula.
Kak Gasta langsung sadar bahwa ia salah meraih minuman karena melihat di tempat minumnya ada sebuah minuman. Sedangkan di tempat minum milikku-lah yang kosong.
Kak Gasta menatapku bergantian dengan minuman yang masih di tangannya. Kak Gasta berdeham, mengembalikan minumanku di tempat asalnya. Setelah itu dia kembali duduk dan bersandar pada kursi bioskop.
Aku masih menatapnya, menunggunya mengatakan sesuatu. Walau sebenarnya aku sangat senang dengan ketidak-sengajaan yang dilakukan oleh kak Gasta, bahkan pipiku memanas.
Kak Gasta mengambil ciuman pertamaku! Walau secara tidak langsung, tetapi seharusnya kak Gasta meminta maaf padaku.
"Hahaha .... " tanpa sadar aku tertawa pelan dengan pikiran-pikiran anehku itu. Namun hal itu membuat kak Gasta kembali menatapku datar.
Aku mengulum bibir ke dalam, kak Gasta sepertinya terusik dengan tawaku.
"Kak Gasta takut?" tanyaku tiba-tiba.
Aku menatap bergantian kak Gasta dan layar bioskop yang menampilkan adegan menegangkan.
Kak Gasta menaikkan alis, menatapku datar. "Siapa yang takut?" tanya nya angkuh dan kembali menghadap depan, menonton layar bioskop.
Aku menghembuskan napas, kenapa sikap kak Gasta dingin sekali?
Aku masih memandang kak Gasta dalam diam, memikirkan bagaimana caranya membuat kak Gasta jatuh hati padaku?
Aku tiba-tiba mendengar teriakan-teriakan takut dari para penonton. Syukurlah, karena terlalu fokus menikmati wajah tampan kak Gasta, aku jadi tidak menonton adegan horor itu.
Lea memeluk lenganku dari samping, ia berteriak ketakutan dan semakin mengeratkan pelukannya.
Apa kak Gasta tidak takut? Ketika semua orang berteriak ketakutan, kak Gasta dengan santainya menatap layar bioskop dengan tatapan datar.
Aku hanya melengos pasrah ketika Lea memelukku dan menarik kepalaku hingga aku tidak bisa menatap kak Gasta lagi.
"Faya lo gak takut? Demi apa?" tanya Lea dan menyembunyikan wajahnya di samping leherku.
"Gue gak nonton adegan horornya," balasku pada Lea.
Lea mengangkat wajah. "Hantunya udah gak ada, kan?"
Aku menoleh pada layar bioskop. "Iya, udah hilang. " jawabku dan Lea menjauhkan diri, kembali menyandarkan punggungnya pada kursi bioskop.
Lalu, tiba-tiba suara tawa horor terdengar dari layar bioskop.
Aku terperanjat kaget.
Bukan, bukan karena wajah mengerikan hantu yang ada pada layar bioskop. Bukan pula karena teriakan Lea yang begitu nyaring hingga memekakkan telinga.
Tetapi ....
Ada merasakan tubuh seseorang yang sedang memelukku.
Bukan Lea yang berada di samping kiriku.
Seseorang itu berasal dari samping kananku.
Dia ....
Kak Gasta.
KAK GASTA?!