Benar, dia Arga.
Mantanku.
Aku masih belum bisa mencerna semuanya dengan baik.
Semua terjadi begitu cepat dan berlalu begitu saja.
Rasanya baru kemarin aku menceritakan tentang Arga yang mencampakkan-ku. Lalu aku mengakui perasaanku bahwa aku menyukai kak Gasta, dan sekarang Arga tiba-tiba datang entah darimana dan sejak kapan.
Arga masih mengulurkan tangannya dihadapanku dan tersenyum mempesona. Senyum yang dulu pernah membuatku begitu candu dan tergila-gila.
Aku menatap tangan Arga dengan tatapan kosong.
"Faya?"
"Ya?" sahutku dan tersadar. Arga meraih tangan kananku yang sedang memegang tissue, membuatku kini jadi berdiri di hadapan antara Arga dan kak Gasta.
Aku menatap kak Gasta yang membalas tatapanku datar. Namun tubuhku tiba-tiba terasa oleng karena Arga menarik tanganku membuatku yang tidak siap hanya bisa menurut pasrah mengikuti langkah lebar kaki Arga yang membawaku entah kemana.
Aku tidak tahu kemana Arga akan membawaku melangkah.
Tetapi, baru beberapa langkah kami melangkah, sebuah tangan tiba-tiba menahan pergelangan tangan kiriku.
Aku berhenti melangkah, Arga juga ikut menghentikan langkah kakinya.
Aku menatap pergelangan tangan kiriku yang dicekal, lalu perlahan tatapanku naik ke atas. Menatap siapa pemilik tangan yang mencekal pergelangan tangan kiriku.
Pemilik tangan itu adalah kak Gasta.
Aku terbelalak, kini kutatap pergelangan tangan kananku yang di genggam Arga. Lalu pergelangan tangan kiriku yang dicekal oleh kak Gasta.
Kutatap kedua lelaki jangkung itu, mereka saling menatap satu sama lain dan melayangkan tatapan sengit.
Aku melotot kaget.
Ini benar-benar diluar dugaanku.
Arga mencoba menarik tanganku lebih kuat untuk pergi, dan kak Gasta menahan pergelangan tanganku lebih kuat agar tetap tinggal.
"Ah ... Tangan gue," lirihku tanpa sadar karena kesakitan saat mereka berdua menarik tanganku kuat.
Arga melepaskan tanganku, raut wajahnya tampak khawatir.
"Lo nggak papa?"
Aku hanya meringis kecil dan menarik tanganku menjauh dari Arga.
Sedangkan kak Gasta mengendurkan cekalannya namun tetap mencekal tanganku.
Arga tiba-tiba maju kehadapanku dan melepas paksa cekalan kak Gasta dari pergelangan tangan kiriku.
Aku hanya bisa pasrah dan mundur saat cekalan kak Gasta berhasil lepas dari tangan kiriku. Aku menundukkan kepala dan menatap kedua pergelangan tanganku yang memerah.
"Gue bakal ganti sepatu lo." ucap Arga tiba-tiba membuatku mendongak dengan tatapan terkejut.
Kak Gasta menatapku bergantian dengan Arga. "Bukan urusan lo." sahutnya dan berlalu pergi.
Meninggalkanku yang menatap sedih kepergiannya.
***
"Faya!"
Aku melangkahkan kaki dengan cepat.
"Faya!"
Aku melangkahkan kaki lebih cepat lagi.
"Faya!" Arga berhasil mengejarku dan memblokir jalanku.
Aku mencoba menahan amarah dan membuang muka. Menatap apapun selain lelaki jangkung dihadapanku ini.
"Faya ... " panggil Arga terdengar begitu lembut.
Aku tanpa sadar tertawa sinis. Dulu, saat kami masih memiliki hubungan, begitulah cara Arga memanggilku begitu lembut dan penuh perhatian.
"Lo masih marah?"
Aku memejamkan mata, memberanikan diri membalas tatapan Arga. "Marah? Apa gue punya hak buat marah?"
"Fay ... "
"Kenapa lo datang lagi? Apa? Lo mau ngapain abis buang gue kayak sampah? Lo nggak berniat, ngutip gue, lagi kan?"
Aku melihat gurat wajah tertekan yang terpancar dari wajah Arga. Tidak, aku tidak ingin percaya dengan tatapan itu lagi.
"Fay ... " Arga menatapku putus asa. "Lo bukan sampah, di mata gue, lo berlian. Lo selalu bersinar."
Aku tertawa, kini tertawa kencang seperti orang gila. "Lo pikir gue bakalan kemakan ucapan lo lagi?" tanyaku di sela-sela tawa.
Arga tersenyum tipis. "Udah cukup lama kita nggak ketemu. Lo nggak mau tahu kenapa gue mutusin lo, waktu itu?"
Aku mengerjap. Dengan egois dan amarah membara dalam waktu panjang yang selama ini aku pendam kepadanya yang tak sempat terlampiaskan. Aku menggelengkan kepala, menatapnya dingin. "Udah nggak penting." jawabku dan berlalu dari hadapannya.
Aku mencoba memperlakukan Arga seperti saat ia mencampakkan-ku waktu itu. Melewatinya begitu saja tanpa mendengar penjelasannya dan memperdulikannya.
Walau sebenarnya aku tahu, bahwa akulah yang tetap tersakiti dan aku yang kalah di kisah cinta kami.
Sesudah di luar lobi kampus, kini air mataku luruh.
Luka lama itu kembali mengaga, luka yang kucoba pendam dan ikhlaskan selama ini.
Seharusnya aku bisa melupakan Arga sepenuhnya jika dia tidak tiba-tiba kembali datang. Membuat raga dan batinku yang belum siap kembali terluka.
"Fayaaa!"
Aku menyeka dengan cepat air mataku dan mengusap asal pipiku yang basah.
Lea dengan langkah riang dan senyum lebarnya berlari ke arahku. "Gue pulang bareng, lo, ya!"
Aku menghembuskan napas lelah. "Lo ditinggal lagi?" tanyaku dengan suara serak.
Lea menghentikan langkahnya, ia mensejajarkan tinggi tubuh semampainya dengan tubuh pendekku. "Lo abis nangis?" tanya nya dan meneliti seluruh wajahku.
Aku menjauhkan diri dan mundur dari hadapannya. "Nggak." sahutku dan melanjutkan langkah menuju parkiran kampus.
Lea menyusul langkahku dengan cepat. "Gue nggak di tinggal kok, tapi gue pengin pulang bareng lo."
Aku berdeham pelan, berusaha menormalkan suaraku agar tidak serak. "Kenapa?"
"Karena lo teman pertama gue di kampus, jadi gue mau kita lebih dekat."
Aku menghentikan langkah, tepat dihadapan motor scoopy cokelat milikku. "Teman?" tanyaku memastikan, kini menatap Lea dengan serngitan.
Lea menganggukkan kepala antusias. "Lo mau kan, temenan sama gue?" tanya nya dan tersenyum manis.
Aku tiba-tiba teringat salah satu celetukan yang menghina penampilanku saat di kantin tadi. Tanpa sadar, aku menatap Lea dari ujung kaki sampai ujung kepala. Bahkan meneliti wajah cantiknya.
Aku meneguk ludah. Dia perfect.
Tidak seperti diriku yang penuh dengan kekurangan, dari segi fisik bahkan penampilan.
Apakah pertemanan juga memiliki kasta?
"Lo nggak lagi bandingin diri lo sama gue, kan?"
Aku melotot kaget, menatap Lea yang tampak menghembuskan napas gusar.
"Lo tahu nggak, kalau gue gak pernah punya teman dekat atau sahabat."
"Kenapa?"
"Karena mereka selalu bilang kalau mereka insecure tiap dekat sama gue."
"Terus lo selama ini sendirian?" tanyaku mulai peduli.
Aku naik ke atas motor, memakai helm dan Lea ikut naik ke jok belakang motorku.
"Enggak, masih ada teman palsu yang manfaatiin gue."
Aku menghidupkan mesin motor dan kini menancap gas, meninggalkan parkiran kampus. "Manfaatin gimana?"
Lea mendekatkan kepalanya ke samping telingaku yang tertutup helm. "Manfaatin ketenaran gue, manfaatin uang gue, dan manfaatiin kecantikan gue."
Aku menghembuskan napas, rasanya sedikit lebih baik ketika angin menerpa wajahku dan memiliki teman mengobrol seperti sekarang yang membuatku sedikit lupa tentang masalah Arga dan kak Gasta.
Lea tiba-tiba menepuk pundakku. "Kita ke mall dulu yuk, gue traktir nonton."
Aku mengangkat sebelah alis tinggi, "gue .... " aku mencoba mencari alasan untuk menolak.
"Ayo dong, sekarang jam tayang film romance dari penulis fav gue."
Aku mengerjap, tiba-tiba teringat dengan kak Gasta yang membeli novel romance yang sama denganku.
"Gue udah nyusun rencana buat nonton nanti malam," ungkapku jujur, karena aku tahu film apa yang dimaksud Lea. Sepertinya kami memiliki selera yang sama.
Aku mendengar Lea berseru kecewa, namun ia kembali menepuk-nepuk pundakku bersemangat. "Lo mau tahu sesuatu?" tanya nya antusias.
Wanita tipikal Lea memang butuh banyak energi dan extra kesabaran lebih untuk menghadapinya. "Apa?" sahutku malas.
"Gasta juga nonton."