Dulu, saat aku masih duduk di bangku SMA. Aku pernah memiliki seorang kekasih, tampan, mapan, dan incaran satu sekolah para kaum hawa.
Dia, mantan pacarku yang terkenal play boy. Tetapi dengan bodohnya aku masih mau menerima perasaannya saat dia mengungkapkan perasaannya kepadaku.
Saat itu aku berpikir bahwa dia serius dengan ucapannya melihat bagaimana dia menatapku begitu dalam.
Dan kami berpacaran selama dua bulan, saat itu, dia memperlakukanku seolah aku adalah segalanya untuknya. Dia membuatku merasa seperti seorang ratu.
Dan tepat di Ke-60 hari kami pacaran, dia memutuskanku sebelah pihak tanpa alasan dan mencampakkanku begitu saja.
Dia adalah pacar pertamaku dan mantan pertamaku. Jadi, saat itu hatiku sangat sakit ketika dia memutuskan ku tiba-tiba. Hingga membuatku trauma untuk menerima perasaan orang lain dan jatuh hati lagi.
Sama seperti gadis semampai yang mengejar-ngejar kak Gasta dan menangis di pinggir lobi, aku juga pernah melakukan itu saat mantan pacarku memutuskanku waktu itu.
Saat itu aku benar-benar seperti wanita murahan yang mengemis cinta dan memintanya untuk tidak memutuskanku. Tetapi, seperti kak Gasta, dia berjalan cepat meninggalkanku yang menangis melihat kepergiannya.
Jadi, itulah alasanku memberi uluran tangan kepada gadis semampai dihadapanku ini. Aku pikir dia adalah kekasih kak Gasta, dan kak Gasta sedang mencampakkannya. Jadi sebagai wanita yang pernah merasakan hal yang sama, aku berinisiatif mengajaknya untuk pulang.
Tujuan awalku menghampirinya memang itu, sebelum ia mengucapkan sesuatu yang tidak pernah kusangka.
"Gue kembarannya Gasta."
Bibirku terkatup rapat, aku menatap gadis dihadapanku ini tanpa berkedip.
"Lea," gadis semampai yang ternyata kembaran kak Gasta itu menjulurkan tangannya kehadapanku.
Aku mengerjap, "Faya." jawabku dan membalas uluran tangannya beberapa detik, lalu kami sama-sama melepaskan jabatan tangan itu.
Lea terlihat canggung, membuatku berdeham dan melangkahkan kaki menuju parkiran kampus. "Gue bawa motor, lo pulang naik apa?" tanyaku sekali lagi, sebelum benar-benar pergi meninggalkan Lea.
"Eungg ... Gue bakalan naik busway." jawabnya dengan ekpresi bingung.
Aku menganggukkan kepala. "Gue pikir lo mau bareng gue." ucapku dan melambai. "Gue pulang----"
"Gue ikutttt!" Lea memotong ucapanku dan berlari ke arahku. "Gue nebeng lo, bolehkan?"
"Boleh, kok. Bukannya tadi udah gue tawarin?" tanyaku dengan ekspresi bodoh.
Lea menggelengkan kepala. "Lo cuma nyuruh gue pulang."
"Aaa..." Aku menganggukkan kepala berusaha menutupi rasa maluku. "Gue pikir udah nawarin lo. Yaudah ayo, tapi gue cuma bawa satu helm."
Lea tersenyum lebar, mungkin perasaannya sudah sedikit membaik. "Gue juga lagi butuh banyak angin, jadi nggak papa."
"Ouh, oke."
Kini kami sama-sama berjalan menuju perkiraan kampus.
"Fay," panggil Lea terdengar akrab, membuatku menoleh, menatapnya yang lebih tinggi dariku.
"Kenapa?"
"Lo mau mampir beli makanan dulu nggak?"
Kami sampai di parkiran, aku naik ke atas motor scoopy cokelat kesayanganku. "Lo laper?" tanyaku pada Lea yang langsung menganggukkan kepala antusias.
"Ho'oh, Gasta buat gue kehilangan banyak energi." ucapnya dan naik ke jok belakang motorku, aku menyalakan mesin motor.
Aku diam-diam tersenyum. Kak Gasta membuatnga kehilangan banyak energi? Sedangkan menurutku, kak Gasta memberiku banyak energi.
"Gue sih mau aja kalau di traktir." ucapku kini sudah melajukan motor meninggalkan parkiran kampus.
Aku mendengar suara tawa Lea, dia menepuk bahuku. "Boleh, boleh. Lo juga udah bantuin gue!" ucapnya kini terdengar riang, sudah tidak secanggung tadi.
Aku hanya membalas ucapannya dengan senyum tipis.
***
Malam ini aku memutuskan untuk pergi ke perpustakaan di kota Jakarta.
Jalanan Ibu Kota malam ini cukup ramai, membuatku sedikit kewalahan untuk sampai ke perpustakaan.
Aku sampai di parkiran gedung perpustakaan. Mematikan mesin motor, aku turun dan melepaskan helmku, menaruhnya di atas spion motor.
Aku sangat senang ke perpustakaan, bagiku, membaca karya-karya penulis yang kusukai membuatku merasa lebih baik dan memiliki kehidupan yang menarik.
Hari ini, novel dari penulis terkenal telah terbit. Sebelum kehabisan stuck, aku melangkahkan kaki sedikit lebih cepat menyusuri rak-rak buku bagian romance.
Ah, itu dia!
Aku naik ke atas kursi yang ada didepan rak buku itu, disaat seperti ini, aku berharap ada sosok lelaki yang tiba-tiba datang dan mengambilkan buku itu untukku.
Ah, buku itu berada di rak terlalu tinggi. Aku berjinjit, ujung jari telunjukku sudah berhasil menyentuh buku itu. Namun begitu sulit untuk meraihnya, dengan kenekatan penuh, aku melompat kecil di atas kursi untuk meraih buku itu.
Yes, aku mendapatkannya!
Namun tubuhku tiba-tiba oleng dan aku tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhku karena kakiku terpeleset.
"Kyaaa .... " Aku menatap langit-langit perpustakaan karena tubuhku rasanya sedang melayang, sedangkan tanganku sedang menggenggam novel itu erat-erat.
Aku memejamkan mata, aku yakin sebentar lagi tubuhku akan membentur keras ubin lantai perpustakan.
Namun beberapa detik aku memejamkan mata, aku sama sekali tidak merasakan sakit di tubuku. Maksudku, tubuhku tidak membentur lantai.
Kubuka pejaman mataku, lalu kulihat wajah sosok lelaki tampan yang begitu dekat dengan wajahku.
Aku merasakan sebuah tangan dibawah lipatan dengkul kakiku dan dibawah leherku. Lelaki dihadapanku ini menangkapku dan sekarang sedang membopong tubuh mungilku ala bridal style.
Kalian tahu siapa sosok lelaki itu?
Dia .... Kak Gasta.
Setelah beberapa detik kami saling tatap satu sama lain, akhirnya kak Gasta menurunkan tubuhku dari gendongannya.
Jantungku berdegup kencang, dan pipiku memanas. Aku rasa pipiku sudah semerah tomat sekarang.
Akhirnya aku merasakan adegan novel yang sering kubaca. Ah, aku tidak bisa menahan bibirku agar tidak tersenyum saat mengingat bahwa sosok pangeran kampus yang kusukai menangkap tubuhku.
Aku masih diam, memandang kak Gasta dengan mata berbinar.
Kak Gasta membalas tatapanku datar.
Tubuh jangkungnya membuatku mendongak ke atas. Aku berdeham, memperbaiki ikatan rambutku. "Makasih, kak Gasta." ucapku dan menahan napas. Jantungku rasanya seperti ingin meledak.
Aku yakin, pasti aku terlihat bodoh dihadapan kak Gasta.
Aku memang bodoh. Seharusnya aku tidak perlu tersenyum malu-malu seperti sekarang.
Kak Gasta menatapku sebentar. "Hn." sahutnya bergumam dan berjalan ke rak buku, tempatku mengambil novel yang sekarang sudah kupeluk.
Aku mundur, melihat kak Gasta meraih dengan mudah sebuah novel di rak tinggi tempatku meraih novel dipelukanku ini.
Sedangkan aku harus menaiki kursi dahulu, untuk meraih novel itu. Dan itu-pun hampir terjatuh menubruk ubin lantai perpustakaan, jika saja kak Gasta tidak menyelamatkanku.
Aku memperhatikan novel itu, novel yang di ambil kak Gasta sama dengan novel yang kuambil.
"Kak Gasta juga suka baca buku ini?" tanya ku saat kak Gasta hendak berbalik pergi meninggalkanku.
Kak Gasta menghentikan langkah, ia menoleh ke arahku. "Hm," jawabnya dan melihat novel yang kupeluk.
Aku tersenyum. "Gue pikir cowok nggak bakal suka novel romance." ucapku dan mengekori kak Gasta yang sedang berjalan, dari belakang.
"Bukan buat gue." sahut kak Gasta terdengar cuek.
"Yah ... " desahku kecewa.
Langkah kaki kak Gasta membawaku ke kasir tempat pembelian buku. Setelah memberikan buku itu pada kasir, kak Gasta menoleh sebentar ke arahku. "Saya beli dua," kak Gasta tiba-tiba meraih novelku dari pelukanku. Ia memberikannya pada kasir. "Totalnya berapa, Mba?"
Aku mengerjap, seperti dihipnotis. Aku baru sadar apa yang dilakukan kak Gasta padaku.
"Kak, punya gue biar gue aja yang bayar." ucapku pura-pura tak enak hati, padahal dadaku sudah berdebar-debar kegirangan.
Kak Gasta sudah membayar kedua novel itu, dia meraih novel yang sudah dibungkus oleh kasir. "Nih, abis ini jangan ganggu gue." ucapnya sembari menyerahkan satu novel yang sudah dibungkus untukku.
Senyum manisku lenyap saat itu juga.
Kak Gasta dengan santai berjalan melewatiku, meninggalkan aku yang menatap sedih kepergiannnya dan kehilangan kata-kata.
Setelah punggung kak Gasta tidak terlihat, aku menatap sedih novel pemberian kak Gasta di genggamanku.
Aku tersenyum paksa, menguatkan diri. "Ayo Fay, lo nggak selemah ini." ucapku dan menyemangati diri sendiri.
Aku sudah berjanji akan mendapatkan kak Gasta.
Jadi, aku akan terus mengejarnya.
Sampai aku mendapatkannya.
Karena, aku sudah lelah dengan hidupku yang begitu membosankan.
Kehadiran kak Gasta berhasil membuatku sedikit lebih bersemangat, berhasil membuatku berdebar-debar, dan tersenyum lebar.
Kak Gasta, maaf, aku tidak bisa menuruti ucapanmu.
Akan kujadikan kau sebagai lelakiku!
Kau akan mengemis cintaku dan hanya memainkan piano itu untukku.
Hanya aku yang boleh mendengar alunan indah itu. Ya, hanya aku.