Aku pernah bilang, jika aku sempat trauma jatuh hati dan menerima perasan orang lain.
Ya, itu benar. Sebelum akhirnya aku jatuh hati dengan begitu mudahnya kepada sosok lelaki bernama Anggasta Erio, saat pertama kali aku melihatnya di hari terakhir ospek maba, ketika dia bermain piano di aula kampus.
Lelaki yang membuatku langsung terpana tepat di dada, ketika mendengarkan sebuah alunan indah yang ia ciptakan dari piano yang sedang ia mainkan.
"Kelas hari ini selesai." ucap seorang dosen yang berada di depan.
Aku langsung menutup buku, dan memasukkannya ke dalam tote bag.
Aku memperhatikan sekelilingku, melihat mahasiwa-mahasiswi yang lain, mereka tampak berkemas dan bubar meninggalkan kelas ini.
Mereka semua memiliki teman dan pasangan masing-masing.
Hanya aku yang sendirian.
Sampai hari ini, aku masih belum memiliki teman. Sebenarnya bukan tidak ada yang mau berteman denganku, tetapi aku yang merespon kehadiran mereka dengan cuek, membuat mereka memilih menjauh karena mungkin mereka tidak nyaman.
Aku berjalan keluar kelas, menelusuri lorong kampus menuju kantin kampus. Aku belum memakan apapun sejak pagi, dan sepertinya sekarang aku sedang lapar.
Sesampainya di kantin, aku melihat sekeliling kursi dan meja kantin yang penuh. Aku berjalan pelan menuju tempat memesan makanan.
"Mbak, jus alpukatnya satu." ucapku kepada penjual makanan kantin yang tampak masih muda.
"Oh iya Mbak, tunggu sebentar ya." sahut penjual kantin itu ramah.
Aku hanya membalas ucapannya dengan senyum tipis dan anggukan kepala. Sepertinya aku harus menahan laparku lagi, tidak ada meja dan kursi kosong disini.
Alpukat adalah jurus ninjaku untuk menahan lapar.
"Nih Mbak, silahkan dinikmati."
Aku menerima jus itu, dan memberikan uang pas kepada penjual jus. Mbak penjual jus mengucapkan terimakasih dan aku hanya berlalu pergi setelah mengatakan: "Sama-sama."
Aku melihat arloji cokelat di pergelangan tangan kiriku sembari meminum jus dan berjalan keluar kantin.
Sekarang sudah pukul dua belas siang waktu Indonesia Barat.
Bruk!
"Astaga!" latahku kaget saat tubuhku menabrak seseorang dari arah berlawanan. "Jus gue ... " lirihku melihat jus alpukatku yang baru kuminum sedikit dan sekarang sudah jatuh tak berbentuk di ubin lantai kantin.
"Bersihin."
Aku mendongak, menatap sang pemilik suara yang tidak terlalu asing memasuki indra pendengaranku. "Ya?" tanyaku ingin tahu apa maksud dari ucapan kak Gasta yang menatapku datar.
Aku cukup kaget, jika kak Gasta adalah orang yang kutabrak dan menabrakku.
Kak Gasta tampak menundukkan pandangannya, aku mengikuti arah matanya.
Aku terbelalak.
Jus alpukat milikku ternyata jatuh mengenai sepatu kak Gasta. Aku kembali menatap kak Gasta.
Kak Gasta menggerakkan dagu, menunjuk sepatu sneakers nya dengan dagu. "Ber-si-hin."
Aku menatap sekitar dengan takut, sudah banyak orang yang berkerumunan hingga membentuk lingkaran dan menyaksikan kejadian ini. Aku sangat benci menjadi pusat perhatian, tetapi ini memang salahku karena berjalan tanpa melihat kedepan dan sibuk menatap arloji di pergelangan tanganku. Membuatku menabrak kak Gasta tanpa sengaja. "Tapi ... Gue nggak sengaja. Jus gue juga jadi korban," sahutku mencoba membela diri.
Kak Gasta membuang muka dan sepertinya sedang menahan emosi. Ia kembali menatapku dengan tatapan menusuk. "Harga jus lo, satu persen-pun nggak sebanding sama harga sepatu gue." ucapnya datar dan sombong.
Aku meneguk ludah, merasa sedang dipermalukan. "Tapi ... Sepatu kak Gasta cuma kena sedikit."
Aku menatap kak Gasta penuh harap, berharap lelaki tampan ini memaafkanku.
"Lo nyari masalah sama gue?"
Mendengar pertanyaan kak Gasta, aku langsung menggelengkan kepala dengan cepat. "Mana mungkin gue nyari masalah sama cowok yang gue sukai." ucapku keceplosan karena terlalu takut jika kak Gasta akan marah padaku.
Aku mendengar suara tawa, aku kembali menatap sekelilingku. Sekarang semua orang disini sedang menertawakanku, tawa itu terdengar mengejek, dan membuatku merasa bodoh.
Apakah sebuah perasaan hanya lelucon bagi mereka?
"Berani banget ya dia."
"Jamet dari mana ini?"
"Nyali jamet memang beda."
"Masih maba udah caper ya."
"Lupa ngaca kali,"
"Pede banget ngomong gitu depan Gasta."
"Alana yang cakep, body goals aja di tolak. Apalagi jamet kayak dia."
"Ke kampus pakai jeans lusuh? Warnanya udah pudar banget."
"Tote bag nya pasti murahan, liat tuh jahitannya nggak rapih."
"Rambutnya nggak pernah dibawa ke salon ya?"
"Bajunya norak banget."
"Sepatunya pasti habis ngutip dari tong sampah."
Aku mengerjap. Sekarang semua orang menatapku dengan tatapan remeh dan hina, mereka mengejek penampilanku dan menatapku jijik. Seolah-olah aku adalah perak di tengah-tengah berlian dan emas.
Apa ini semua karena aku menyatakan bahwa aku menyukai kak Gasta?
Apa perasaanku salah?
Aku menggigit bibir, mataku sudah berkaca-kaca. Mereka terus menghina penampilanku dan wajahku.
Sepertinya mereka sedang memperjelas bahwa aku sangat tidak pantas bersama kak Gasta. Mereka juga memperjelas bahwa perasaanku salah.
Dari semua hinaan itu, dan ucapan-ucapan menyakitkan yang mereka ucapkan.
Aku bisa menyimpulkan satu hal, 'bahwa perasaan juga memiliki kasta.'
Jangan jatuh hati kepada seseorang yang tidak sekasta denganmu, dari segi fisik, ekonomi, dan penampilan.
Entah sejak kapan bulir air hangat itu menetes, dan mengalir di pipiku. Aku merasakan bahwa pipiku basah, aku menatap kak Gasta dengan nanar.
Tak ada perubahan ekpresi di wajah kak Gasta, tatapannya tetap datar dan menusuk. "Gue nggak peduli sama perasaan lo." ucapnya dan kembali menatap sepatunya yang berpijak pada ubin lantai kantin. "Ber-si-hin." tegasnya semakin menatapku tajam.
Aku menatap kak Gasta tidak percaya. Memangnya apa yang aku harapkan? Mana mungkin kak Gasta membalas perasaanku.
Sudah diperlakukan seperti ini-pun, aku tidak bisa membencinya.
Seperti inilah aku. Aku akan menjadi wanita sangat bodoh ketika jatuh cinta.
Aku meraih tissue yang kubawa di dalam tote bag ku. Biasanya tissue ini kugunakan untuk mengusap wajahku yang kadang berminyak.
Aku berjongkok di depan sepasang sepatu kak Gasta. Bulir air hangat yang sedari kubendung sekuat mungkin, kini kembali menetes membasahi pipiku.
Tanganku bergerak maju, terulur dengan bergetar ke salah satu sepatu kak Gasta yang terkena cipratan jus alpukat milikku.
Sedikit lagi, tanganku akan sampai di sepatu kotor kak Gasta. Aku memejamkan mata. Ayah ... Lirihku membatin, tiba-tiba teringat sosok pahlawan hidupku.
Aku menguatkan diri, kini tissue ditanganku sudah menempel di sepatu kak Gasta.
Saat aku hendak mengusapkan tissue itu di sepatu bagian atas milik kak Gasta, seseorang tiba-tiba menyeletuk membuatku menghentikan pergerakan.
"Berhenti."
Aku mengerjap.
Kini bukan hanya sepasang sepatu sneakers milik kak Gasta yang berada di hadapanku, ada sepasang sepatu yang tiba-tiba datang dan berada di samping sepatu kak Gasta.
Tanganku sontak berhenti bergerak, aku mendongak saat sebuah tangan telurur di depan wajahku.
"Ayo."
Aku mengerjapkan beberapa kali mataku yang sembab. Mencoba memperjelas penglihatanku bahwa seseorang yang sedang mengulurkan tangan padaku ini adalah-----
"Ini gue, Arga."
Aku meneguk ludah.
"Ketemu." ucap sosok lelaki bernama Arga itu terdengar lega. "Ternyata lo disini, Faya."
Benar, dia Arga.
Mantanku.