"Bentar, kok tempayan yang berisi berlian sudah kosong? Apa kurir berlian belum datang juga?" tanya Lian kepada buku tua itu.
"Mana saya tahu, saya kan cuma buku! Coba tanya pada kucingmu, biasanya kan dia yang menerima orderan berlianmu!" suruh buku tua tersebut.
"Aishh, iya, iya! Terus, kucingnya di mana? Kok gak ada di ruangan?" tanya Lian sembari memutar bola matanya malas.
"Mungkin keluar, jalan-jalan. Lagian dia juga bosan kamu kurung di ruangan ini mulu, udah sumpek, bau, gak pernah dibersihin lagi, huh!" ceplos buku tua tersebut. Seketika itu juga, Lian memelototi buku tua yang melayang tidak jauh dari tempatnya berdiri itu.
"Dasar, buku tua! Di mana-mana, buku itu nambahin ilmu, lah ini, kerjaannya nyinyir mulu sama gue!" omel Lian dalam benaknya.
"Eh, tapi aku belum pernah keluar. Apa di luar sana benar-benar aman?" tanya Lian sembari menatap buku tua itu lekat-lekat.
"Tergantung. Sudahlah, aku mau tidur. Jangan bangunkan aku jika kamu belum menyiapkan bahan-bahan ramuan itu!" ketus si buku tua.
"Eh bentar, tapi tadi bahannya apa aja? Mau sekalian kucari di luar! Habisnya, bahan-bahan ramuan biasanya udah tersaji di tempat ini. Jadi, aku lebih mudah bikinnya. Nah sekarang, malah bahan-bahannya belum siap sama sekali!" keluh Lian.
"Itu karena Oma-mu yang menyiapkannya. Kamu lupa, wanita baik itu telah meninggal dua minggu lalu? Hah, sekarang, tidak ada wanita baik lagi di sini. Cucunya sangat menyebalkan!" pekik buku tua itu.
"Aishh dasar. Seandainya aku bisa mengutukmu, pasti sudah kukutuk kamu jadi buku tulis bergaris yang tidak bisa berbicara! Biar tau rasa!" ketus Lian dengan tatapan tajam.
"Dasar penyihir jahat! Pergi kamu! Hengkanglah dari hadapanku!" seru buku tua itu.
"Yeee dasar, kalau gini lebih jahatan siapa coba?" Lian tampak mengerucutkan bibirnya.
"Ah sudahlah. Ambil kertas ini. Dalam kertas ini, ada beberapa bahan resep yang harus kamu cari di dunia sihir. Ingat, jangan hilangkan kertas itu, karena kertas itu bagian dari diriku. Jika kertas itu sampai hilang, kamu selamanya tidak akan bisa membukaku," ucap buku tua itu. Dan benar saja, sebuah kertas berwarna kecokelatan mulai terbang dan jatuh tepat di telapak tangan Lian.
"Ya sudah, aku mau cari bahan untuk membuat ramuan dulu. Daaaa!" seru Lian sembari melambaikan tangannya.
Di tangan kirinya, ia telah menjinjing sebuah keranjang yang lumayan besar. Keranjang ini merupakan keranjang milik ibunya, yang dengan sengaja ia sembunyikan di ruangan sihir tersebut. Persetan dengan ibunya yang mengomel, sebab secara mendadak, keranjang yang baru dibelinya lenyap begitu saja. Dasar anak durhaka kamu, Lian! Hahahaha!
Tanpa perlu berbasa-basi lagi, Lian pun buru-buru melangkahkan kakinya menuju ke arah pintu. Entahlah, ia merasa sedikit takut. Oma bahkan tak pernah mengajaknya untuk keluar dari ruangan ini, sejak pertama kali Lian memutuskan untuk mempelajari dunia sihir.
Berbeda dengan pintu portal, pintu ruangan ini, persis seperti pintu di rumahnya. Mungkin, Oma telah menggantinya menjadi lebih modern beberapa waktu lalu.
CEKITTT!
Terdengar suara pintu berderit. Lian yang sedari tadi menutup matanya, kini mulai membuka mata secara perlahan. Setelah pandangannya terasa lebih jelas, Lian segera menengokkan kepalanya ke kanan dan kiri. Sementara bibirnya, mulai terangkat, seperti mencetak ekspresi terpukau.
"Wah, kereeeennnn! Gue gak tahu kalau dunia sihir seindah ini! Ternyata jauh berbeda dengan yang ada di film-film itu! Padahal aslinya, terlihat lebih indah!" seru Lian dengan pandangan berbinar.
Bagaimana tidak? Seluruh wilayah seperti terdominasi oleh warna hijau. Rumput-rumput hidup dengan begitu subur. Bunga-bunga banyak bermekaran.
Lian menghirup napasnya dalam-dalam. Semerbak bau petrichor langsung membelai hidungnya. Rasanya segar. Lian bisa menebak jika di dunia ini, pasti telah didatangi hujan beberapa waktu lalu.
"Hape gue! Hape gue mana ya?" tanya Lian entah kepada siapa. Kedua tangannya kini sibuk mencari-cari ponselnya di kedua celananya.
"Astaga! Gue lupa kalau hape gue lagi di-charger! Ah kenapa gak gue bawa sih tadi!" keluh Lian, merutuki kebodohannya.
"Tau ah, gue kan ke sini niatnya buat nyari bahan buat bikin ramuan, bukan buat selfie terus upload di telegram! Emangnya kek Feli apa, dikit-dikit cekrek, dikit-dikit cekrek, ya kek gue juga sih," racau Lian.
Tanpa pikir panjang, Lian pun segera melangkahkan kakinya menuju area terbuka tersebut. Tepat saat Lian menapakkan kakinya ke rumput, secara tiba-tiba, terdengar suara misterius yang menggema entah dari mana asalnya.
"Pintu portal ditutup!" seru suara misterius itu.
Dengan raut wajah kaget, Lian pun langsung membalikkan tubuhnya. Dan benar saja, pintu yang tadinya ia gunakan untuk keluar, kini tiba-tiba menghilang begitu saja. Sebagai gantinya, tercipta sebuah danau dengan bunga-bunga teratai bermekaran di atasnya.
"Lah, ruangan Oma kenapa jadi danau? Ah dasar! Pasti ini alasan kenapa Oma gak nyuruh gue keluar dari ruangan pribadinya. Aduh, terus gue kembalinya gimana dong ini?" keluh Lian dengan raut wajah cemas.
Lian meletakkan lututnya di atas rerumputan sembari menatap nanar ke arah danau. Entahlah, ia sungguh merasa menyesal karena sudah keluar dari ruangan itu tanpa membawa petunjuk mengenai cara kembali ke ruangan itu lagi.
"Meong!" Secara tiba-tiba, telinga Lian mendengar suara meongan kucing.
"Permisi, ada yang bisa saya bantu?" tanya seseorang setelah suara kucing itu menyapa.
"Ada!" jawab Lian cepat. Buru-buru, Lian bangkit dari bersimpuhnya, kemudian membalikkan badan untuk berhadapan dengan lawan bicaranya.
"A-Alva?" kaget Lian ketika menyadari orang yang diajaknya bicara sangat mirip dengan Alva.
"Sstttt! Di sini, nama gue Alka!" bisik Alva tiba-tiba.
"Alka? Kenapa nama lo ganti?" tanya Lian bingung. Secara tiba-tiba, Alva tampak menghela napasnya.
"Di dunia nyata, lo boleh panggil gue Alva karena itu memang nama gue. Namun, di dunia ini, tolong panggil gue Alka. Jangan sampai lo keceplosan panggil gue Alva, itu bisa gawat!" jelas Alva. Hal itu tentu membuat Lian menyatukan kedua alisnya.
"Oh jadi harus ganti nama gitu ya? Apa gue juga harus ganti nama Berli? Kan nama gue Berlian?" tanya Lian.
"Kalau lo, gak perlu ganti nama. Cukup gue aja yang ganti nama," cetus Alva. Hal itu tentu membuat benak Lian bertanya-tanya.
"Ah sudahlah. Eh tunggu, gue sepertinya gak asing sama kucing yang lo bawa ini?" tanya Lian. Sontak saja, Alva menganggukkan kepalanya sembari meletakkan kucing tersebut di atas rerumputan.
"Oh, pantesan aja kucing ini tadi menggiring gue ke sini. Ternyata ini kucing lo ya? Eh tunggu, bukannya kucing ini milik nenek-nenek gitu ya? Soalnya gue pernah lihat kucing ini digendong nenek-nenek?" tanya Alva sembari mengangkat sebelah alisnya. Mendengar hal itu, sontak saja, Lian menganggukkan kepalanya.
"Beliau Oma gue," cetus Lian. Hal itu tentu mengundang tatapan bingung dari Alva.
"Oma lo penyihir juga?" Lagi-lagi, Alva menaikkan sebelah alisnya.
"Iya, bukannya gue pernah bilang ke elo, kalau gue punya kemampuan istimewa ya? Inilah yang gue maksud!" seru Lian dengan penuh percaya diri. Mendengar hal itu, Alva pun langsung bertepuk tangan meriah.
"Wuahhh hebat! Hebat! Salut gue sama lo, Lian!" seru Alva dengan mata berbinar. Lian pun seketika memutar bola matanya.
"Gak usah sok terkagum-kagum sama gue! Lo juga sama, ternyata lo ahli dalam segala kemampuan ya! Iri gue sama lo!" cibir Lian. Mendengar hal itu, membuat Alva langsung terdiam sembari menatap Lian dengan sorot mata tajam.
"Lo gak tahu apa-apa!" sentak Alva. Lian pun langsung menggaruk tengkuknya. Tiba-tiba, rasa canggung menyebar melalui udara di sekitarnya.