Langit mulai mendung dan gelap. Awan sudah berubah menjadi kumpulan kapas abu-abu pekat. Beberapa mahasiswa sudah mulai resah dan berlarian ke sana kemari mencari tempat perlindungan. Seharusnya hari itu adalah hari yang menyenangkan bagi para mahasiswa baru untuk berkenalan dengan seniornya. Tapi semuanya berubah karena guyuran hujan. Beberapa panitia sibuk mencopot berbagai atribut, kabel, dan sound system yang terpasang di lapangan kampus. Jika tidak segera ditangani, entah berapa juta rupiah yang harus mereka keluarkan untuk membayar ganti rugi kerusakan alat dan properti yang telah mereka siapkan.
Tanpa memedulikan bajunya yang basah, seorang pemuda sibuk mengangkut barang-barang dari lapangan ke ruangan kelas terdekat. Jika yang lain terlihat lambat dengan dalih menghindari cucuran hujan, yang ini berbeda. Pria itu justru menikmati setiap tetes air yang mengenai tubuhnya. Sejak dulu memang ia menyukai hujan, dan tetap begitu hingga saat ini karena hujan adalah sahabatnya.
Mitos-mitos yang menyertai hidupnya berkata hujan adalah berkah, nikmati dan jangan disesali. Jika orang lain menggerutu karena hujan telah membatalkan acara orientasi ini, ia yang notabene ketua panitia acara ini justru berpikir sebaliknya. Menurutnya, suatu hal boleh gagal, tapi di saat yang sama pasti ada keberhasilan lain yang bisa didapatkan. Dan siapa juga yang akan berani menyalahkan dirinya karena kegagalan acara ini. Semua tahu, hujan adalah penyebabnya.
Pria itu kini sudah berganti baju dan tengah mengamati 100 mahasiswa baru yang terdaftar di jurusan Studi Hukum. Mereka duduk dalam ruang kelas yang diubah mendadak menjadi ruang pertemuan sementara. Umumnya mahasiswa baru, mereka tampak malu-malu dan rikuh. Pria itu tertawa mengenang masa lalunya saat pertama kali menginjakkan kaki di kampus ini dua tahun yang lalu.
"Mungkin aku juga seperti itu bahkan lebih parah," gumamnya.
Ini adalah hari terakhir acara pengenalan jurusan yang rutin diadakan untuk menyambut mahasiswa baru tiap tahunnya. Jika ketua sebelumnya lebih menekankan pada kegiatan yang bersifat militan, kali ini di bawah kendalinya mahasiswa baru diajak untuk lebih melihat dunia dari berbagai perspektif yang berbeda. Mereka dituntut untuk kreatif mencari solusi daripada hanya mengkritik dan mengeluh.
Matanya kini menatap lurus ke jajaran kursi bagian belakang. Hatinya tiba-tiba berdebar. Sudah kali keempat ia melihat gadis itu . Ada sesuatu yang berbeda dari dirinya, menarik hati Hadyan untuk memperhatikannya secara intens.
Ia seperti hidup dalam dunianya sendiri. Gadis itu tidak tertarik mengikuti setiap aktivitas dalam acara yang telah disusunnya. Bahkan ia enggan untuk sekedar berbasa basi dengan teman-teman seangkatannya. Gadis itu lebih memilih duduk di sudut, bungkam dan menatap apa yang ada di depannya dengan tatapan kosong, tidak peduli pada apapun. Padahal pemuda itu yakin, semua mahasiswa baru pasti akan menyukai programnya.
"Adinata Hadyan!"
Seseorang memanggilnya. Ternyata Alaric Bagas, koordinator bidang acara. Hadyan berbalik mencari asal suara.
"Apa ada yang salah dengan pekerjaanku?"
Hadyan mengangkat bahu sambil menggeleng,"Kenapa kau bertanya seperti itu?"
"Karena kau selalu berada di ruangan ini. Seakan-akan tidak percaya bahwa aku bisa menangani acara ini dengan baik. Aku merasa kau sedang mengawasiku."
Pemuda itu terkekeh mendengar keluhan Bagas, sahabatnya. Ia berujar pelan, "Aku di sini terus bukan berarti aku tidak percaya padamu."
"Seorang Ketua tidak seharusnya berada di lapangan," protes Bagas sambil memandang para peserta yang sedang melakukan diskusi kelompok, "Keberadaanmu membuat kami merasa tegang. Seperti ada inspeksi."
"Kau salah. Seorang Ketua juga harus berada di lapangan karena dialah yang paling bertanggungjawab jika ada masalah yang terjadi, bukan kau atau panitia lainnya."
"Baiklah, soal siapa yang bertanggungjawab, aku sepakat denganmu. Jadi, posisiku aman?" tanya pemuda itu, berharap Hadyan memberinya nilai A.
"Tidak."
Bagas terkejut. Padahal ia sudah mengerahkan semua kemampuannya untuk meramu acara ini menjadi sangat sempurna.
"Apa salahku?" tanya Bagas lemah, penilaian Hadyan penting untuk membuatnya terus dipertahankan menjadi koordinator acara selanjutnya.
"Kau tidak salah. Hanya terlalu fokus pada yang terlihat."
"Maksudmu?"
Hadyan akhirnya menunjuk gadis penunggu sudut ruangan itu, "Dari awal ia sudah tidak menikmati acara ini. Seharusnya kau bisa mendeteksi itu dan mencari tahu kenapa. Walaupun hanya satu orang."
Bagas menatap ke arah yang ditunjuk Hadyan dengan pandangan heran, "Lea Kinandita maksudmu?"
Hadyan mengangguk.
"Tolonglah, aku tidak mungkin harus bertanggungjawab pada 100 orang mahasiwa baru yang ada di sini. Satu orang tidak puas bukan berarti acara ini gagal."
"Aku tidak mengatakan gagal, hanya kau harus lebih peka terhadap semua mahasiswa baru itu. A different person will need a different treatment. Kau harus mengenal semua anggotamu."
"Ya, ya, aku mengerti. Baiklah Lea Kinandita. Gadis cantik, rambutnya indah, matanya bulat bening dan memiliki tubuh paling bagus di antara mahasiswa baru itu."
Hadyan menatap Bagas dengan tatapan 'kau katakan itu lagi, aku akan membunuhmu'.
Bagas tertawa,"Maaf, kuganti, Lea Kinandita, mahasiswi dari Bandung, yatim piatu, hidup bersama salah satu Bibinya. Bekerja sebagai kasir untuk mendapatkan uang tambahan."
"Bekerja sebagai kasir?" ulang Hadyan penuh selidik.
Bagas mengangguk, "Tapi kini tidak lagi. Ia cukup kaya sekarang karena dukungan finansial dari kekasihnya."
"Kekasih?" rasanya ada sesuatu yang tak nyaman di hatinya ketika mendengar kata tersebut.
"Iya, namanya Arka Aditya. Kudengar dia anak orang kaya… yah, begitulah."
Bagas mengangguk-angguk tak jelas. Ia sibuk memilah-milah file dalam otaknya. Arka Aditya? Aditya yang mana, ya? Oke, nanti dia akan mencari tahu. Ia penasaran seperti apa pria yang bisa menaklukkan gadis dingin seperti Lea Kinandita.
Bagas terus berbicara, "Jadi kau salah menilaiku. Aku sangat memperhatikan semua mahasiswa baru jurusan kita. Bahkan informasi pribadi mereka pun aku punya."
Hadyan tersenyum, "Baiklah, untuk hal ini kuakui kau benar. Tapi yang kau dapat sebagian hanya berupa gosip. Seharusnya kau mendekatinya dan mencari tahu kenapa dia tidak terlalu aktif dalam acara kita . Hal-hal yang kau sebutkan tadi hanyalah data pendukung."
"Entahlah mungkin dia malas, banyak pikiran, atau apa. Tapi khusus mendekati Lea Kinandita, kuserahkan padamu saja."
"Apa maksudmu?" tanya Hadyan bingung.
Bagas tidak menjawab. Ia hanya mengedipkan sebelah matanya sambil tertawa dan pergi menjauh. Hadyan menggeleng-gelengkan kepala sambil berjalan menuju teras kelas. Ditatapnya hujan yang semakin deras turun sementara benaknya mengelana. Semakin banyak informasi yang disampaikan Bagas, semakin banyak yang ia ingin ketahui tentang gadis itu. Walaupun sekarang ia sudah berubah dari Upik Abu menjadi Cinderella, tapi mengapa Hadyan menangkap sorot tidak bahagia dari matanya? Ada sesuatu yang mengetuk nuraninya untuk mencari tahu dan menolong. Tapi siapa dia? Dia bukan siapa-siapa, kenal juga tidak. Hanya kakak kelas yang kebetulan menjadi ketua panitia di acara penerimaan mahasiswa baru.
Tapi Hadyan menguatkan dirinya, hari ini ia harus bisa berkenalan dengan gadis itu. Harus hari ini, karena setelah itu ia tidak punya kesempatan lagi. Acara orientasi akan berakhir beberapa jam lagi dan Hadyan tidak yakin akan memiliki alasan untuk mendekati gadis itu setelahnya.
Tapi skenario hujan saat itu tidak berpihak pada Hadyan. Berbekal payung yang ia siapkan untuk mengantar Lea pulang, pria itu dihadapkan kenyataan pahit. Lea telah dijemput tepat di depan kelas oleh seorang pemuda yang baru saja keluar dari mobil mewah. Ada semburat merah di pipinya ketika pemuda itu memeluknya. Mata itu memancarkan rasa bahagia. Ada kemesraan yang sedikit menciptakan percikan api di hati Hadyan.
Hadyan menatap kaku pemandangan di depannya. Tanpa disadari, payung yang dipegangnya terlepas dan jatuh.
Kesempatan itu hilang sudah. Ia tidak punya alasan lagi untuk bisa mendekati Lea. Tuhan tahu, ia hanya butuh satu alasan. Tapi sekian waktu berlalu, tak ada alasan yang dapat membuatnya bisa berkenalan dengan Lea. Gadis itu benar-benar menarik diri dari pergaulan, selalu sendirian dan enggan didekati. Bukan pribadi yang menarik, tapi entah kenapa Hadyan tidak dapat melupakannya. Dari sekian gadis cantik yang lebih ramah yang mencoba mendekatinya, entah kenapa ia hanya tertarik pada Lea. Dunia ini memang sudah gila dan Hadyan dibuat gila dengan perasaannya sendiri, hanya bisa memandang dari jauh tanpa sanggup mendekati. Ia bahkan sampai hapal jadwal Lea dijemput Aditya dan mobil mewah merk apa lagi yang akan dikendarai kekasihnya itu. Tapi itu dulu, Hadyan sudah memantapkan diri untuk berhenti menguntit Lea sejak setengah tahun yang lalu. Melihatnya bersama Aditya ternyata sangat menyakitkan.
Dan pada saat-saat seperti itu, ia membutuhkan hujan. Hujan adalah sahabatnya.
Hujan memang tiba-tiba turun dengan deras. Apakah memang ada chemistry antara harapan dengan pergerakan alam, tidak ada seorang scientist pun yang tahu. Tapi ini nyata, begitu Hadyan berharap, hujan turun setelah sekian lama menghilang. Hadyan menjulurkan telapak tangannya, merasakan hawa dingin dan segar menembus kulitnya. Ia percaya hujan akan menolongnya dan ia percaya itu.
Sebaliknya, di sebuah taman kampus tak jauh dari tempat Hadyan berdiri. Seorang gadis mencoba bertahan untuk tetap duduk di kursi taman yang terbuka. Udara dingin masuk kedalam tenggorokannya, air hujan membasahi baju dan kulit tubuhnya, namun bukan perasaan lega melainkan sesak yang ia rasakan.
Awan tebal itu membuatnya terhanyut dalam ketakutan. Ia benci hujan, sangat benci. Ia juga takut karena saat hujan ia tak bisa melakukan apa-apa. Hujan membuatnya lemah. Semua hal buruk yang terjadi pada hidupnya selalu terkait hujan dan itu begitu menyakitkan. Gadis itu mencoba berdiri tegak walau air deras mengguyur tubuhnya.
Lea menangis dan terduduk sambil memeluk erat lututnya. Ia tidak berusaha keluar dari area taman atau mencari tempat berteduh. Dalam hatinya, ia ingin menantang musuh sejatinya, sekuat apa dia bisa bertahan menghadapi hujan. Mungkin orang berpikir dia bodoh, tapi peduli amat dengan apa yang mereka katakan. Jika mereka mengalami hal sama sepertinya, mereka mungkin akan melakukan hal yang jauh lebih bodoh dari apa yang dilakukannya hari ini.
Lea mengelus jari manisnya. Setengah tahun yang lalu sebuah cincin masih tersemat di jarinya, bukti cinta seseorang padanya. Tapi ia telah membuangnya. Cincin itu tak bernilai lagi. Lea mendesis kedinginan.
" SELAMAT ULANG TAHUN! "
Samar-samar diingatnya detik demi detik kejadian yang menghancurkan jiwanya. Pikirannya melayang ke belasan orang yang bersorak sorai merayakan ulang tahun kekasihnya, Arka Aditya.
Karena hujan, Lea tidak bisa datang tepat waktu ke pesta kebun yang diadakan kekasihnya itu. Ia tidak merasakan keganjilan dan tidak berpikir terlalu jauh mengapa Aditya tidak menjemputnya seperti biasa. Atau mengapa ia mengetahui acara pesta itu justru dari mulut orang lain. Lea selalu berusaha berpikir positif, Aditya mungkin sibuk.
Walaupun diganggu hujan, pesta itu berlangsung meriah. Semua membentangkan payung beraneka ragam. Dengan dada berdebar, Lea mendekati pemuda itu. Ia ingin memberinya kejutan. Tapi bukan senyuman dan rasa senang yang ia dapatkan.
"Jangan mencoba menghubungiku lagi, pergilah," ucap suara berat dari balik payung hitamnya. Lea menatap nanar ke arah laki-laki itu. Apakah ia tidak salah dengar, Aditya mengusirnya?
"Kenapa? Apa salahku? Apa karena aku terlambat datang ke pestamu?" tanya Lea dengan bibir bergetar.
Arka Aditya adalah pemuda impiannya. Pernyataan pendek itu membuatnya serasa jatuh ke jurang. Lea ingin mencari kebohongan dalam raut matanya tapi ia tidak menemukan indikasi apapun. Ia mencoba tetap berpikir positif.
"Mungkin kau lelah dengan pekerjaan dan kuliahmu. Aku mengerti. Aku akan menunggu sampai kita bisa bicara baik-baik."
Bahkan pemuda itu tidak sudi menatap gadis itu. Payung merah dalam genggaman Lea terlepas. Bajunya sudah mulai basah terkena hujan.
"Aku membuat sesuatu yang spesial untukmu, terimalah," Kado khusus yang dibuat dengan tangannya sendiri selama berbulan-bulan pun tidak diindahkan Aditya.
"Kau bawa lagi saja kadomu itu. Aku tidak membutuhkannya."
Rasa sakit tiba-tiba menusuk hatinya. Lea tidak mengerti padahal beberapa minggu kemarin, mereka masih berkomunikasi dengan baik. Walaupun ia akui, pria itu sering melamun akhir-akhir ini.
Aditya berlalu begitu saja tanpa penjelasan. Lea mengejarnya. Ia menarik tangan pria itu tapi pria itu menghempaskannya
"Jelaskan padaku, tolong. Setelah itu aku akan pergi. Aku berjanji."
Aditya terdiam sejenak, "Aku akan pindah ke Amerika dan akan menjalankan hidup baru dengan Alinka Atmadja," ucapan itu terdengar sangat ringan diucapkan pria yang tiga tahun terakhir ini menjadi kekasihnya. Alinka Atmadja? Sahabat Lea Kinandita sejak kecil yang notabene nya sudah mengenal Arka Aditya sejak 3 tahun yang lalu. Mereka akan menikah? Aditya pasti berbohong!
"Kenapa? Kenapa harus Alinka Atmadja?"
"Orangtuaku benar. Kita terlalu berbeda, Lea. Aku membutuhkan pasangan yang bisa menjadi partnerku, bukan seseorang yang harus kuangkat derajatnya dan kusuapi terus menerus agar bisa sama dan sejajar."
Kata-kata itu mengiris perasaan Lea. Apakah hanya karena dia seorang yang miskin lantas Aditya memutuskannya dan memilih wanita lain?
"Aku tidak pernah meminta apapun darimu, Dit. Kaulah yang memberikannya. Semua barang-barang mewah itu, aku tidak menginginkannya."
Aditya tersenyum sinis, "Tidak menginginkannya? Bibimu yang serakah itu selalu menekanku untuk membelikanmu dan keluarganya ini itu. Walaupun menjengkelkan aku tidak masalah. Uangku bisa memenuhi semuanya."
Lea memang tahu bagaimana Bibinya memanfaatkan Aditya untuk mengeruk harta pria itu tapi dia tidak bisa melakukan apa-apa. Lea memang lemah, ia terlalu takut untuk melawan orang yang telah menampungnya beberapa tahun terakhir ini.
"Tapi sebentar lagi aku akan mengurusi salah satu perusahaan Ayahku. Beberapa tahun ke depan aku akan menjadi direktur utama menggantikannya. Kupikir kau bukan sosok yang tepat untuk bisa mendampingiku. Kau bukan dari keluarga yang setara. Bibimu nanti hanya akan mengacaukan usahaku. Kupilih Alinka Atmadja karena ia tampak ideal dari berbagai sisi. Keluarganya tidak akan memeras hartaku karena mereka orang berada."
Tetesan air mata jatuh dari kedua pelupuk mata Lea, kata-kata itu begitu kasar tapi benar adanya, "Apa kau mencintai Alin?"
Aditya tersenyum pendek. "Itu bukan urusanmu. Sekarang pulanglah. Sebentar lagi keluargaku dan keluarganya datang. Aku tidak menginginkan keributan di tempat ini. Jangan sampai Alinka melihatmu."
"Dit, kau benar-benar yakin dengan keputusanmu?"
"Maafkan aku Lea, tapi aku belum pernah seyakin ini."
"Kau tidak mencintaiku lagi?" Padahal ia masih ingat sumpah setia yang pernah diikrarkan Aditya untuknya.
"Cinta adalah masalah kebersamaan dan waktu. Ketika aku pergi dan waktu berjalan maju, rasa itu bisa hilang dengan sendirinya."
"Tapi aku tidak bisa, aku mencintaimu Dit," Lea menangis, berharap Aditya bisa memberinya kesempatan kedua. Ia berjanji akan memperbaiki semuanya. Pria itu tidak suka dengan dandanannya yang dianggap kampungan. Lea berjanji akan berubah. Termasuk pada Bibinya sendiri, ia tidak mau terjebak dalam keserakahan wanita tua itu. Akan ia buktikan bahwa Lea bukanlah wanita yang materialistis.
"Kita memiliki takdir masing-masing. Kuyakin kau bisa hidup tanpa aku. Ada lelaki diluar sana yang sangat mencintaimu bahkan sebelum kita pernah bersama"
Pria itu berbalik meninggalkan Lea.
Gadis itu terdiam. Aditya sudah jelas-jelas memutuskan hubungan dengannya. Ia beringsut pulang dengan rasa sakit dan berjalan tanpa payung. Ribuan bahkan jutaan butiran air serasa jarum yang menusuk kulitnya. Ia tidak bisa mempertahankan Aditya. Pemuda itu dengan sadar telah membuat keputusan. Airmatanya kini sudah bercampur dengan tetesan hujan. Aditya telah pergi meninggalkan Lea beriringan dengan jatuhnya butiran hujan ke tanah.
Untuk yang kedua kalinya, Lea kehilangan orang-orang yang dicintai dalam suasana hujan. Setelah orangtuanya, kali ini Aditya. Hujan selalu memberikan duka. Ia membenci hujan.
Lea hanya bisa meratap. Dulu, kehadiran Aditya telah mengusir mendung besar dalam dirinya. Tanpa pemuda itu di sisinya, bagaimana ia bisa bertahan? Hujan telah menenggelamkan sisi bahagianya. Gadis ceria yang dulu dikenal orang telah berganti menjadi gadis pendiam yang sulit disentuh. Aditya kemudian datang dan memberinya sedikit matahari. Ia bisa tertawa saat pemuda itu hadir, walaupun ia kembali menjadi kabut dingin ketika laki-laki itu pergi.
Suara petir membuatnya tersadar. Ia ternyata masih berada di tengah taman kampus. Bajunya basah dan badannya menggigil kedinginan. Mungkin sebentar lagi ia akan mati. Tak apalah, mungkin itu lebih baik. Ia ingin menyusul Ayah dan Ibunya di surga.
Lea masih menangis sambil memeluk kedua lututnya. Matanya terpejam, ia tidak menyadari payung besar telah melindungi seluruh tubuhnya selama beberapa saat.
"Sebaiknya kau segera mengeringkan diri. Tidak baik berlama-lama di bawah hujan."
Suara itu membuat Lea sedikit tersentak. Ia baru sadar bahwa dirinya sudah tertutupi payung sejak tadi. Gadis itu berbalik ke belakang, menengadah, mencari asal suara.
Ia mengenalnya, "Kau?"
Pria itu tersenyum tipis. Ia membawa dua payung, satu untuknya, satu lagi untuk melindungi Lea.
"Kenangan buruk?"
Lea terdiam. Ia bukan orang yang mudah diajak bicara.
"Sekarang bawalah payung ini. Segeralah ganti baju. Kau benar-benar basah kuyup. Jika kau tidak punya baju ganti, aku bisa meminjamkan kostum anak-anak teater."
Lea menatap pria itu. Hadyan, kakak kelasnya yang menjadi ketua panitia pada acara pengenalan jurusan satu setengah tahun yang lalu. Ia tidak terlalu mengenalnya tapi pria itu sangat populer. Lea merasa jengah, ia tidak biasa dalam suasana yang menuntutnya untuk berkomunikasi dengan baik. Ia hanya biasa dengan Aditya, tidak dengan orang lain.