Melihat pemandangan memuakkan yang tersaji di depannya, Lian dan Alka sontak melemparkan pandangannya ke satu sama lain.
"Emm, Alka, sebenarnya…."
"Ssttt jangan bahas soal berlian di sini," bisik Alka ke telinga Lian. Dengan pasrah, Lian pun langsung menganggukkan kepalanya.
"Feli, gue laper!" keluh Lian.
"Oh iya, gue lupa kalau cacing di perut lo udah pada demo! Oke, gue bilang dulu ke pelayannya ya kalau pesenan meja kita bagusnya dikeluarin sekarang aja!" cetus Feli sembari bangkit dari duduknya.
Diam-diam, Lian menatap Alka dengan pandangan takut. Bagaimana jika Alka tahu kalau ternyata berliannya akan menyebabkan hubungannya dengan kekasihnya kandas? Arrghhh Lian tidak bisa membayangkannya! Tetapi, Lian juga tak bisa membahasnya di sini. Mungkin, setelah pulang dari sini, Lian akan mencoba membahasnya dan memberikan berlian lain sebagai gantinya.
"Ah sorry, gue habis makan nanti pergi ya! Soalnya abis ini, gue ada meeting sama client-nya bokap! Bokap gue lagi di luar kota soalnya!" cetus Alka tiba-tiba. Seketika itu juga, Lian melebarkan matanya.
"Duh, gimana dong! Gue harus gimana nih!" keluh Lian dalam benaknya.
"Eh tapi, mungkin saja Mama salah! Mungkin saja Mama salah pilih berlian! Bisa aja, berlian dengan ramuan yang salah, masih ada di toko gue!" pikir Lian menenangkan pikirannya sendiri.
***
Keesokan harinya.…
Lian baru saja keluar dari kelas bersama Feli dan Andra. Namun, beberapa saat kemudian, Feli dan Andra memutuskan untuk pulang lebih dulu. Ingin pergi berduaan, katanya.
Lian pun menghela napasnya. Sembari menenteng sebuah buku tebal, Lian berjalan ke arah kantin sendirian.
"Jadi jomblo gini amat sih, kemana-mana sendirian," keluh Lian dengan nada lirih.
Namun, baru saja melangkahkan kaki sekitar enam langkah, seorang cowok bertubuh tinggi menghadang langkahnya. Cowok itu lantas melambaikan tangan ke arah Lian.
"Lian!" seru cowok itu. Lian hanya membalasnya dengan tersenyum dan mempercepat langkah kakinya.
"Alva, lo gak pulang?" tanya Lian sembari membenarkan letak tote bag-nya.
"Gak, laper nih gue. Males, kalau di rumah pasti bakal disuruh belajar mulu. Pengen ngebebas dulu di kampus hehehe," sahut Alva. Sementara Lian hanya ber-oh ria.
"Lo mau ke kantin? Bareng gue yuk! Ada banyak hal yang pengen gue tanyain ke elo," ucap Lian.
"Soal apa nih? Soal dunia sihir ya?" tanya Alva. Lian pun mengedipkan sebelah matanya.
"Sssttt, iya. But, kita ngomongnya jangan keras-keras ya. Masih ada banyak hal yang gue bingungin nih, Al," keluh Lian. Mendengar hal itu, Alva pun mengulas senyumnya.
"Ya udah, yuk!" ajak Alva. Lian hanya menganggukkan kepalanya.
***
Sesampainya di kantin, Lian memilih duduk di kursi dengan bangku paling pojok. Sementara Alva, ia memilih untuk menuruti Lian. Sebab, kata Lian, tempat yang ditempatinya itu adalah yang paling aman.
Kini, Lian sedang membawa dua mangkuk bakso dengan dua gelas es teh manis. Lian yang sedari tadi menunggu di tempat duduknya, guna untuk mem-booking tempat, pun langsung membuka mulutnya. Aroma lezat bakso terasa sangat menggoda untuk disantap.
Sembari mengaduk bakso, Lian pun berdehem sejenak. Kemudian, ditatapnya lekat-lekat Alva yang sudah mulai menyantap baksonya itu.
"Emang lo sebenarnya udah bisa ke dunia sihir sejak umur berapa?" tanya Lian. Alva tampak menelan bakso yang telah dikunyahnya dengan lembut.
"Sejak masih SMP. Nyokap gue yang ngajarin gue buat pergi di sana. Waktu itu, awalnya gue sih takut-takut, tapi ternyata, asyik juga di sana," ucap Alva.
"Iya sih, bener! Asyik banget," sahut Lian.
"Terus, lo masih jadian sama cewek yang waktu itu di perpustakaan?" tanya Lian lagi. Sontak saja, Alva terbatuk setelah mendengar pertanyaan dari Lian.
"Cewek yang di perpustakaan? Siapa?" tanya Alva sembari menautkan kedua alisnya.
"Itu, cewek yang paling populer di sekolah. Bukannya kalian jadian? Gue waktu itu gak sengaja lihat sih kalian ciuman di sana," cetus Lian. Mendengar hal itu, Alva sontak menatap Lian dengan tatapan tajam.
"Lo lihat apa aja? Cuma itu doang kan?" tanya Alva. Lian pun sontak menganggukkan kepalanya.
"Iya. Lagipula, ngapain gue ngeliatin orang ciuman lama-lama, bikin baper juga enggak tuh weeekkk!" Lian menjulurkan lidahnya. Terdengar helaan napas lega dari Alva.
"Untunglah kalau lo cuma lihat adegan itu doang," cetus Alva santai.
"Maksud lo?" tanya Lian bingung. Namun, dengan cepat, Alva menggelengkan kepalanya.
"Ah enggak kok. By the way, gue gak nyangka kalau lo juga sama-sama dari dunia sihir," cetus Alva. Mendengar hal itu, Lian lantas terkekeh pelan.
"Kenapa? Memangnya gadis payah kayak gue gak bisa ke dunia sihir gitu? Setiap manusia pun juga punya kelebihan masing-masing," cetus Lian. Terdengar helaan napas dari Alva.
"Maksud gue bukan gitu," keluh Alva. Mendengar hal itu, sontak saja, Lian mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ya, gue paham kok. Lo kan the perfect man, udah pinter, ganteng, kaya juga. Lo bahkan punya nyokap yang kelihatan sayang banget gitu sama lo," ungkap Lian. Lagi-lagi, terdengar helaan napas berat dari Alva.
"Gak semenyenangkan itu kok. Gue malah terkadang, iri sama kehidupan orang di luar sana. Mereka bebas melakukan apa saja, bebas bermimpi menjadi apa saja, juga bebas mencintai siapa aja," cetus Alva.
"Gue yang malah iri sama lo kali, Alva!" protes Lian. Namun, Alva tiba-tiba menatap Lian lekat-lekat.
"Gue cinta sama elo, Lian!" seru Alva tiba-tiba. Sontak saja, Lian membelalakkan matanya.
"Apa-apaan sih lo! Kenapa lo malah bahas ini sih?!" pekik Lian kesal.
"Gue bener-bener suka sama lo. Gue suka sama lo udah dari dulu, gue gak tau apa lo menyadari hal ini atau tidak," cetus Alva. Lian tampak membuang pandangannya sembari menghela napas berat.
"Terus? Lo mau kita jadian gitu?" tanya Lian sembari melirikkan matanya ke arah Alva. Mendengar hal itu, Alva pun langsung menggelengkan kepalanya.
"Enggak," sahut Alva. Lian lantas memutar bola matanya.
"Terus? Maksud lo buat nyatain perasaan lo ke gue itu apa? Cuma mau nge-prank-in gue doang?" tandas Lian sembari menaikkan sebelah alisnya.
"Sudah gue bilang, kita bukan manusia biasa, Lian. Kita berbeda. Kita gak berjodoh," cetus Alva dengan menundukkan wajahnya.
"Alva, gak ada yang tahu dengan siapa kita berjodoh. Memangnya, lo bisa melihat masa depan gitu, terus lo bisa menebak siapa jodoh gue nantinya? Enggak kan? Kenapa lo sok tahu gitu sih perkara kita jodoh atau enggaknya!" protes Lian.
"Gue gak bisa jelasin soal ini. Ini sudah menjadi peraturan di dunia sihir. Sebab, setiap bayi yang terlahir dari dunia sihir, jodohnya sudah ditetapkan," cetus Alva.
"Seorang bayi berjiwa murni, bisa berjodoh dengan yang tidak berjiwa murni. Yang berjiwa murni juga bisa berjodoh dengan yang berjiwa murni juga, tetapi bayi yang tidak berjiwa murni, tidak akan bisa berjodoh dengan orang yang tidak berjiwa murni," jelas Alva. Mendengar hal itu, sontak saja, Lian mengerutkan dahinya.
"Terus maksud lo, gue berjiwa murni atau tidak? Ah parah, makin ngaco aja sih!" keluh Lian sembari mengerucutkan bibirnya.
"Kalau gue tebak, lo tidak berjiwa murni, Lian," cetus Alva. Mendengar hal itu, Lian pun langsung mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Terus kalau lo? Berjiwa murni atau gak?" tanya Lian.