Mama Alva tampak menopang dagunya. Segeralah ia menatap Lian lekat-lekat. Sementara Alva dan Lian, kini antusias mendengarkan suara yang dikeluarkan oleh Mega (Nama Mama Alva di dunia sihir) barang sepatah katapun.
"Jadi, maksudmu, berlian itu kamu jual? Terus pelanggannya marah-marah sama kamu karena berlian yang dibelinya tidak sama dengan yang diinginkannya?" tanya Mega. Sontak saja, Lian menganggukkan kepalanya.
"Iya, Bu Arda, betul. Nah, yang membuat saya bingung, kemana ya, Bu, saya harus mencari penawar dari ramuan itu? Soalnya, seumur hidup saya, saya baru kali ini tidak sengaja menjual berlian dengan ramuan yang salah. Lagipula, Oma saya sudah meninggal beberapa waktu lalu, saya bingung ingin bertanya sama siapa lagi kalau bukan bertanya kepada Bu Arda," cetus Lian. Mendengar hal itu, Mega tertawa pelan.
"Lucu juga. Sebenarnya, ini kisah rahasia dari para jiwa murni. Ada sebuah penawar di bukit berlian. Di bukit itu, setiap tanggal tujuh, akan turun hujan berlian. Di sana, kamu bisa mendapatkan sebuah berlian berwarna hitam, yang bisa menjadi penangkal segala sihir," cetus Mega. Sontak saja, Lian mengerutkan keningnya.
"Hujan berlian? Berlian warna hitam? Bagaimana cara mendapatkannya?" tanya Lian bingung.
"Bukit berlian letaknya sangat jauh dari sini. Butuh kurang lebih enam sampai tujuh hari untuk bisa ke sana. Di sana, kamu harus mengucapkan mantra khusus untuk mendapatkan berlian hitam dan menunggu satu berlian hitam tumbuh di atas rumput pada bukit tersebut," jelas Mega. Lian pun kini mulai mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Mantra khusus? Bagaimana bunyinya?" tanya Lian bingung.
"Hanya para jiwa murni yang bisa melafalkannya. Mantra itu, sudah ditanamkan dalam jiwanya dan hanya bisa digunakan ketika hujan berlian tiba. Untuk yang tidak berjiwa murni, mereka tidak akan bisa melafalkan mantranya," cetus Mega.
DEG!
Untuk kesekiankalinya, otak Lian dipaksa untuk berpikir lebih keras. Ya, mau bagaimana lagi, semuanya terasa sangat asing di mata dan pendengaran Lian. Walaupun Lian termasuk penghuni yang lumayan lama, tetapi baru kali ini, Lian benar-benar tahu mengenai dunia sihir. Padahal biasanya, Lian hanya mendekam di ruangan sihir pribadinya bersama Oma.
Lian menghela napasnya. Semua menjadi terasa lebih rumit.
"Bu Arda, bolehkah saya pergi ke bukit berlian bersama Alva? Bukankah, Alva juga berjiwa murni?" tanya Lian, meminta persetujuan.
Sontak saja, Mama Alva terbatuk ketika mendengar penuturan Lian barusan. Mega lantas melemparkan pandangannya ke arah Alva, begitupun sebaliknya. Seakan mereka sedang berbicara tanpa suara.
"Maaf, Lian, sepertinya Alva tidak bisa ke sana. Alva sedang sakit dan tubuhnya terlalu lemah untuk bisa sampai di sana," cetus Mega, yang malah membuat Lian semakin menautkan kedua alisnya.
"Tapi, kelihatannya, Alva baik-baik saja, Bu Arda. Memangnya, Alva sakit apa?" tanya Lian bingung.
"Fisik Alva di dunia manusia memang sehat, bahkan saat ini, Alva masih terlihat sehat-sehat saja. Namun, kekuatan fisiknya Alva di dunia sihir sungguh lemah. Apa kamu tidak merasakannya, bahwa kekuatan Alva belum terlalu bisa dikendalikan oleh Alva?" tanya Mega balik. Lian pun kini mulai mengangguk paham.
"Ah, pantas saja. Waktu itu di bukit buah traw, tubuh Alva terlempar ketika memetik buah traw. Lalu, Alva terlihat sangat aneh dan bertingkah seperti amnesia dadakan. Untungnya, dalam percobaan kedua, Alva berhasil memetik buah traw dari pohonnya," cetus Lian.
Mendengar hal itu, Mega langsung melirik Alva dengan sorot mata tajam. Sementara Alva, kini malah menggaruk tengkuknya sembari memasang sebuah cengiran lebar.
"Ya, maka dari itu. Yang kamu lihat, saat Alva bersikap aneh itu, bukan Alva yang sesungguhnya, melainkan jiwa murni Alva. Sudah saya bilang, fisik Alva itu lemah. Jadi, saya mohon dengan sangat, saat kamu bersama Alva, jangan bawa Alva ke tempat-tempat yang berbahaya ya!" seru Mega. Lagi-lagi, Lian mengernyitkan dahinya.
"Maksud Bu Arda, bukit traw juga bahaya?" tanya Lian tidak mengerti. Mendengar hal itu, Mega pun langsung menganggukkan kepalanya.
"Ya, benar! Karena perjalanan ke bukit berlian sangat jauh, dengan berat hati, saya tidak bisa mengizinkan Alva untuk pergi dengan kamu. Namun, kamu bisa pergi sendiri ke bukit berlian. Siapa tahu, di pertengahan jalan, kamu bisa bertemu dengan penyihir berjiwa murni ataupun penunggu bukit berlian yang berjiwa murni. Itu pasti akan lebih memudahkan kamu dalam mencari berlian hitam untuk menangkal kekuatan sihir dari ramuan kamu itu," cetus Mega.
Dengan napas berat, Lian pun tampak menghela napasnya. Lian bisa menebak, bahwa perjalanannya pasti akan terasa lebih rumit.
"Baik, Bu Arda, saya paham," sahut Lian.
Sepertinya, Mega mulai menyadari ekspresi wajah lesu dan putus asa dari Lian, sehingga hatinya tergerak untuk memberikan sedikit bantuan kepada Lian.
"Baiklah, kalau begitu, saya akan memberi kamu sebuah peta. Peta ini akan mengantarkan kamu ke bukit berlian," ucap Mega sembari memberikan sebuah peta. Melihat hal itu, mata Lian menjadi berbinar-binar.
"Apa ini peta ajaib?" tanya Lian dengan nada bersemangat. Namun, Mega malah menggelengkan kepalanya.
"Ah bukan, itu peta biasa," jawab Mega dengan menyajikan senyuman manisnya. Mendengar hal itu, Lian hanya ber-oh ria dengan ekspresi wajah kecewa.
"Eh sebentar, dari mana kamu bisa tahu tentang peta ajaib?" tanya Mega curiga. Lian pun sontak mengangkat wajahnya.
"Dari Alva, waktu ke bukit traw, Alva tiba-tiba saja pergi meninggalkan saya, dan memberikan saya peta ajaib untuk membantu saya melanjutkan perjalanan saya untuk mencari bahan ramuan lainnya," cetus Lian. Wajah Mega pun tampak terkejut ketika mendengar Alva memberikan sebuah peta ajaib kepada Lian.
"Ah sepertinya sudah cukup pembicaraan kita ya. Untuk ke bukit berlian, ada yang mau tanyakan lagi?" tanya Mega. Sontak saja, Lian menggelengkan kepalanya.
"Sepertinya tidak. Dengan peta ini saja, sepertinya sudah cukup untuk menunjukkan di mana letak bukit berlian," cetus Lian.
"Oh iya, ada sebuah pantangan yang ada di dunia sihir. Jangan pernah membawa seorang manusia ke dalam perjalanan kamu ke bukit berlian," cetus Mega. Mendengar hal itu, tentu Lian menganggukkan kepalanya. Kalau pantangan itu, Lian sudah sering mendengar dari Oma, bahwa manusia tidak boleh ikut ke dunia sihir.
"Lagipula, seorang manusia biasa juga tidak akan bisa masuk ke dunia sihir kan, Bu Arda? Mereka akan terpental keluar karena ditolak kehadirannya oleh sang portal putih. Jadi, itu terasa lebih aman kan?" tanya Lian sembari mengangkat sebelah alisnya.
"Ya benar. Manusia biasa akan terpental keluar dari portal. Namun, masih ada seorang manusia yang tidak akan terpental saat memasuki portal," cetus Mega. Mendengar hal itu, Lian pun langsung membelalakkan matanya lebar-lebar.
"Wuah, bagaimana bisa?" tanya Lian kaget.
"Sebab, dia penyihir jahat yang menjelma menjadi manusia. Sehingga, fisiknya terlihat seperti manusia biasa. Dia tidak akan bisa menciptakan portal, tetapi secara mudah, bisa masuk ke dalam portal yang kamu buat," jelas Mega.
"Astaga, penyihir jahat? Mengerikan sekali! Baik, Bu Arda, saya akan berusaha sekuat mungkin untuk menjaga dunia sihir!" seru Lian.
"Baguslah kalau seperti itu," cetus Mega.
"Baiklah, yuk, kita pulang. Sepertinya hari di dunia manusia telah menjadi gelap. Oh iya, Alva, kamu jangan lupa untuk mengantar Lian pulang ke rumah ya," cetus Mega.
"Tapi, bukankah Alva sedang sakit?" tanya Lian bingung. Mendengar hal itu, Alva dan Mega serempak meledakkan tawanya.
"Itu hanya berlaku di dunia sihir, Lian, bukan di dunia nyata. Di dunia nyata, gue baik-baik aja," sahut Alva dengan masih terkekeh pelan.
"Yuk kita pergi!" ajak Alva sembari menggandeng tangan Lian keluar dari ruangan itu.
"Ah sepertinya kalian berdua dulu yang pergi, saya masih ada urusan di sini, selamat bersenang-senang!" seru Mega ketika melihat Alva menggandeng tangan Lian.
Setelah Lian dan Alva pergi, wajah Mega pun berubah menjadi sedih.
"Berapa lama lagi, aku harus meminjam kekuatan Alka. Alva semakin melewati batasnya, ini bisa saja membahayakan nyawa Alka. Ah aku tidak mau Papa marah kepada Alva, karena Alva telah membahayakan nyawa Alka seperti ini," keluh Mega sembari mengusap wajahnya. Jujur saja, ia merasa bersalah kepada Alka dan suaminya, tetapi, Mega juga tak ingin jika Alva merasa tidak mendapatkan keadilan.