Deg, deg, deg ....
Haisha jauhkan tubuhnya, ia sampai terjungkal karena bergulung menjauh dari Fahri yang masih dengan posisi nyaman memeluk tubuhnya yang terbalut selimut tebal itu.
"Bodoh!" umpat Fahri, sebenarnya itu untuk dirinya sendiri.
Haisha bergegas menuju ruang ganti untuk merapikan selimut dan bantal yang tadi ia sembunyikan masuk begitu saja, beruntung Meri tidak berinisiatif untuk masuk ke sana, bisa hancur semua drama pagi ini.
Wanita itu sudah cukup senang melihat Haisha tertidur di pelukan Fahri, dia bisa curiga dan menghukum Fahri kalau sampai ketahuan.
"Mas masih mau tidur? Ica mau rapiin spreinya."
"Entar aja, gue masih males turun, lo aja yang turun duluan. Bilang sama Mama kalau gue semalam begadang," jawab Fahri.
"Tapi, kan tadi Mas Fahri yang bangun duluan, masa Ica yang turun sendiri."
Fahri buka matanya lebar kembali, mengesah pelan dan terpaksa beranjak bangun. Ia masih ingin tidur, mimpinya masih belum tuntas tadi.
"Buruan mandi terus turun, awas kalau nanti ngomong sama Mama masalah tidur di lantai!"
"Iya, Ica nggak bakal ngomong."
Fahri dorong sedikit bahu itu mundur, bergaya seperti seorang raja yang tengah berbicara dengan pelayan mereka, Haisha tahan kepalannya kuat, sedari malam pria itu sangat menyebalkan, ingin sekali ia jitak kepala keras seperti batu itu.
Waktu sarapan,
Haisha sudah rapi dengan baju baru untuk mulai mengejar kuliah, jelas pemandangan itu sangat menghibur dan membuat Meri terkagum.
Berbeda dengan pria yang masih memakai piyama dan makan bergaya acuh di sebrang sana, tidak memandang Haisha sama sekali.
'Memangnya kamu aja apa yang bisa cuek sama Ica, aku juga bisa, lihat aja Ica bakal cuek juga sama kamu ... Biar kesepian di rumah nanti!' gerutu Haisha dalam hati.
Semua perhatian, sikap lembut dan ramahnya tidak membuat Fahri luluh atau setidaknya berubah lebih baik. Pria dengan semua sikap labilnya itu semakin menyebalkan dan terus saja menyalahkannya dalam hal apapun, menganggap Haisha hanya orang asing yang tidak berguna sama sekali di rumah ini, kecuali untuk akting di depan orang tua.
"Ica, bantu Fahri benerin dasinya dong." Meri kedipkan matanya.
Fahri baru saja membersihkan diri dan memakai baju kerjanya, bergegas turun karena sebenarnya tidak ingin mengantar Haisha kuliah.
Langkah dan niatnya terhenti, Meri masih ada di sana, mau tidak mau dia harus berbalik dan mendekat pada Haisha.
Gadis itu setengah berjinjit memperbaiki ikatab dasi Fahri, memberi usapan terakhir dan memeriksa kancing lengan kemeja Fahri, kemudia Haisha tersenyum sembari mengangkat dua ibu jarinya.
Sempurna!
"Apa lagi, Ma?" jengah ditahan oleh Meri lagi.
"Kamu inget gimana kalau Papa berangkat kerja kan ... Tuh, Ica masih di sana, cium dulu keningnya Ica, Fah," cetus Meri.
Apa!
Haisha remat ujung jaketnya, nanti malam sepulang kerja bisa Haisha pastikan akan mendengar omelan Fahri yang panjang lebar, lagi-lagi bukan maunya bersentuhan, tapi keadaan selalu memaksa mereka untuk saling bersentuhan.
"Aku kerja dulu," ucap Fahri, lebih lembut karena ada Meri.
Haisha mengangguk, matanya terpejam saat bibir Fahri mendarat di keningnya, bibir hangat setengah basah yang mampu membuat bulu kuduk Haisha berdiri menegang.
Jantung di dalam sana kembali melonjak-lonjak, rona merah sontak mekar di wajah Haisha, membuat Meri semakin menarik senyum lebar melihat tingkah pengantin baru itu.
"Fah," panggil Meri.
"Iya, Ma?" apa lagi coba ini.
"Mama rasa kerjaan kamu masih bisa ditunda deh, Fah. Anterin Ica dulu ke kampus gih," pinta Meri.
Perintah yang terpaksa lagi Fahri penuhi, ia putar kakinya dengan deretan gigi yang gemertak.
"Ica," panggilnya.
"Iya, Ica ambil tas sekarang."
Meri hampiri dan senggol lengan putranya, "Fah, jangan cuek-cuek gitu sama Ica. Yang manis dan lembut dong kayak waktu dia tidur tadi, kamu malu apa?"
Malu, lembut dan manis yang mana? Astaga.
"Dengerin Mama nggak?"
"Iya, Ma. Aku dengerin selalu pesen Mama."
Meri tersenyum lega, ini mungkin berat untuk Haisha, semalam dia tahu Haisha tidur di dekat ruang ganti, ia sengaja masuk karena merasa curiga dengan ekspresi keduanya.
Dan ternyata benar, hubungan Fahri dan Haisha tidak sepenuhnya baik seperti yang ia lihat.
Meri rasa hubungan ini perlu tangannya untuk mendekat satu sama lain. Entah apa yang Fahri rasakan dan fikirkan sampai bisa berlaku kejam seperti itu pada Haisha.
"Kalian hati-hati, Ica kabarin Ibu kalau kamu perlu sesuatu ya," ujar Meri, ia usap kepala Haisha.
"Iya, Bu."
Haisha melambaikan tangannya, sebentar lagi Meri juga akan pergi dari rumah itu, dia harus memberi akting terbaik seperti senyumnya sebelum pertemuan ini berakhir.
Mobil Fahri melaju ke luar pekarangan rumah, Fahri sendiri yang mengemudi dan Haisha duduk di sampingnya, hal yang membuatnya ingat pada sosok Klareta, gadis itu dulu yang sering duduk di dekatnya, bahkan dia menyetir dengan satu tangan, sementara tangan yang lain menjadi tempat Klareta bergelayut manja.
"Lo bisa kan pulang sendiri?"
"Mas nggak jemput Ica?"
"Siapa lo? Gue udah kasih lo uang saku, pakek buat naik taxi online sama makan, enak banget minta jemput!"
"Yaudah, Ica naik taxi aja, atau kalau nggak gitu ya Ica bareng sama Kiano, kebetulan dia ada kuliah hari ini."
Fahri menginjak remnya mendadak, Haisha terdorong ke depan dan keningnya membentur ringan di sana.
"Aduuhh," keluhnya.
"Aakh!" Haisha sontak mendongak dengan rambut yang tertarik kuat ke belakang.
Rambut panjang yang terikat satu itu dicengkram kuat oleh Fahri, sorot mata menyebalkan dari Fahri berubah menjadi seram.
Hal yang mulai Haisha hafalkan, Fahri akan menampilkan sisi seperti ini kalau dia mulai membahas pria lain, Fahri pasti berbuat kasar dan mengatakan kalau dia berselingkuh.
"Lepasin!" Haisha tidak mau kalah, dia juga bisa bergaya menyebalkan seperti Fahri, melepas sikap lemah-lembutnya.
"Harus berapa kali gue ingetin ke lo, hah? Jangan sekali-kali jadi murahan, ngerti!" satu tarikan lebih kuat.
"Lepasin rambutnya Ica! Ica laporin ke Ibu kalau Mas Fahri kasar gini nanti," ancamnya.
Fahri lepaskan cengkraman itu, selama ini dia tidak pernah berani bermain tangan pada Klareta, tapi luka yang Klareta buat mampu membuatnya berbuat kasar pada gadis lain.
"Jangan kira Ica bakal diem ya kalau Mas kayak gitu, Ica juga bisa nyebelin kayak kamu!" ucap Haisha, ia mengumpulkan semua keberaniannya meskipun dia tahu ini salah, tapi melawan Fahri harus sama kuatnya.
"Berani banget lo ngomong!"
"Berani dong, emang Mas aja yang bisa ngoceh begini, Ica juga bisa. Kalau Mas Fahri nggak mau Ica jalan sama Kiano, Mas juga jangan mikirin cewek lain dong, yang adil," papar Haisha.
"Apa maksud lo?"
Apa ya? Mati aku, kan Ica spontan aja ngomong tadi. Apa ya?