"Boleh aku bicara dengan suamiku sebentar?" Haisha muncul di antara Fahri dan Klareta.
Meri tengah sibuk memesan dan mengantri di sana, wanita itu juga menerima panggilan dari sang suami yang terdengar sangat penting. Kesempatan untuk Haisha bisa menemui Fahri sebentar.
Pria itu asik memandangi wajah Klareta, ia benar-benar terjatuh pada lubang yang sama, dengan bodohnya mau bertemu dan menemani Klareta setelah gadis itu menolak lamarannya dan berselingkuh juga menghina keluarganya.
"Mau apa lo?" balas Fahri ketus.
Kedatangan Haisha hanya membuat pandangannya terganggu, dia tidak bisa lama berbicara dengan Klareta.
Fahri seperti orang yang telah dicuci otak saja, semua perhatian itu tertuju pada Klareta, batinnya selalu labil dan goyah ketika berhadapan dengan Klareta, sebentar marah karena sakit hati, lalu kembali lemah seperti ini.
"Mas ikut Ica sebentar!"
"Udah ikut aja, Fah. Aku tunggu di sini, lagian anak kecil mau ngomong apa juga, palingan dia mau minta uang buat beli baju," celoteh Klareta.
Penyakit ini benar-benar menakutkan, hanya dengan ucapan saja bisa membuat Fahri se-labil ini, cinta seperti apa yang mereka tanam sebenarnya.
Haisha tarik tangan Fahri, dia tidak pernah berani seperti ini, tapi terpaksa dia lakukan mengingat ada Meri di mall ini juga, wanita itu bisa menegur Fahri dan mempermalukan dirinya sendiri.
Fahri topi hitamnya berjalan menjauhi meja Klareta demi mengikuti langkah Haisha, gadis kecil yang ia remat jemarinya karena kesal telah mengganggu waktu pertemuan penuh cinta bersama Klareta itu.
"Ica nggak masalah sekali pun Mas masih suka sama Klareta, tapi tolong jaga diri Mas, bukan demi Ica, tapi demi Ibu ... Demi nama Ibu yang Mas pertaruhin di sini, semua orang bisa kenal siapa kamu dan buat Ibu hancur karena berita miring kamu, Mas!"
"Emang gue ngapain?"
Apa!
"Mas nggak sadar apa yang Mas lakuin sekarang?"
"Ngapain sih?" Fahri garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Mas itu lagi ke luar bareng Klareta!"
"Emang masalahnya di mana? Sekalian aja mereka tahu dan hancur pernikahan kita!"
"Mas!"
Astaga, Haisha ingin memukul suaminya saja.
Meri berjalan mendekati Haisha, gadis itu mematung dengan kedua tangan terkepal, memandang lurus sebuah cafe yang tampak sepi, meja yang Haisha tuju pun kosong.
"Kamu lagi lihatin siapa?" Meri tepuk bahu Haisha dua kali.
Gadis itu tersadar, memastikan ulang apa yang ia lihat tadi. "Nggak ada," ucapnya lirih.
"Kamu kenapa sih? Lihatin siapa? Ada artis di sana?" cerca Meri.
Jadi, semua itu hanya khayalannya bertemu Fahri dan bertengkar dengan pria itu, pasti Fahri tadi sadar dengan pandangannya dan memilih pergi bersama Klareta karena tahu tidak mungkin Haisha pergi seorang diri.
"Ica?"
"Eh, iya, Bu. Tadi, kayak ada artis yang biasanya Ica lihat di sinetron, mirip aja sih. Eeheheheh," jawab Haisha berbohong.
Meri terkekeh, "Kamu ini bikin Ibu takut aja, kirain lihat orang jahat atau gimana, habis Ibu tebak ada artis kamu masih bengong."
"Maaf ya, Bu. Kita ke depan ya," ajak Haisha, ia bawakan semua kantong belanja Meri.
Haisha bisa bernafas lega, Meri tidak tahu kalau ada Fahri dan Klareta di sana, beruntung mereka sadar cepat sebelum drama di khayalan Haisha tadi terwujud.
Entah kemana perginya Fahri dan Klareta saat ini, yang terpenting Meri tidak melihat dan Haisha bisa membicarakan hal ini dengan Fahri berdua saja.
Sepertinya Haisha terlalu takut Fahri terkena gangguan mental karena ketakutan dan perasaannya pada Klareta, sampai-sampai dia berfikir Fahri terkena guna-guna atau hal magic lainnya dari Klareta.
'Ini pasti karena Ica sering lihat tv, jadi khayal,' gerutu Haisha dalam hati.
Sepanjang perjalanan ia tidak banyak bicara, takut salah menjawab dan justru membuat Meri curiga, Haisha memilih memejamkan matanya, berpura-pura tidur dan tampak kelelahan.
***
"Apa! Apa aku nggak salah denger, Fah?"
"Nggak, yang kamu denger semuanya benar dan pasti. Maaf, Ta ... Tapi, aku nggak bisa bikin hancur nama orang tua," jelas Fahri.
"Oke, nggak masalah kalau aku nggak bisa duduk bareng kamu di acara itu, aku bisa duduk di kursi lain, kalau kamu butuh aku dan jenuh sama Ica, kamu bisa dateng ke aku!"
Fahri berbalik, "Ide apa itu?"
"Aku mencintaimu dan kamu juga masih mencintaiku kan, itu kenyataan yang harus Haisha terima, aku yakin pernikahan ini nggak akan bertahan lama dan kamu bakal kembali padaku, Fah!"
Fahri memicingkan matanya, ia tertawa lirih dan berat, ini keputusan yang ia ambil dan terdengar berat baik untuk dirinya atau orang lain, termasuk Klareta.
"Kalau nanti aku berpisah dengan Ica, nggak berarti aku kembali ke kamu. Kita udah selesai, Ta, bubar!"
"Nggak mungkin! Aku yakin kamu masih sangat mencintai aku kan?"
Fahri mengangguk, "Sampai detik ini, aku masih cinta sama kamu, banget meskipun kamu udah selingkuh dan nolak lamaran aku waktu itu, bahkan kamu jelekin orang tuaku, aku masih cinta, tapi-"
"Apa?"
"Lebih baik aku nggak sama kamu, aku mau sendiri, Ta!"
"Bohong! Pasti ada cewek lain yang udah masuk daftar incaran kamu selain Ica, iya kan?"
Fahri mengelak tuduhan itu, dia benar-benar ingin sendiri, daripada dia tersiksa hidup dengan rasa sakit hati bersama Klareta dan hidup tanpa cinta dengan Haisha, lagipula belum tentu Haisha bisa menerima kekurangan yang pernah ia miliki.
Tidak ada yang tahu penyakit itu masih bersarang atau tidak, Fahri tidak mau menyusahkan siapapun.
Hidupnya labil dan orang yang bersamanya harus ekstra sabar.
"Inget, Fahri! Aku nggak akan lepasin kamu gitu aja, kalau aku nggak bisa dapetin kamu, itu artinya siapapun nggak akan pernah bisa dapetin kamu. Aku harus dapetin semua yang kamu punya dulu, setelah itu terserah kamu mau mati atau bagaimana, aku butuh uangmu dan semuanya, harus!" gumam Klareta setelah Fahri pergi meninggalkannya.
Kelemahan Fahri itu akan Klareta buka saat acara lepas proyek besok, di sana setelah semua mendengarkan, tidak akan ada satu gadis pun yang mau bersama Fahri, selain dirinya.
"Hallo, Dokter Jodi ... Akan aku transfer jasamu, terima kasih!" Klareta menyeringai tipis.
***
Fahri berhenti tepat di depan pintu kamarnya, Haisha melarang pintu itu terbuka, ia sengaja menunggu Fahri pulang.
"Minggir!"
"Ica nggak mau minggir sebelum Mas ngaku habis ke luar sama siapa," ucap Haisha bertekad tegas.
"Apaan sih!"
"Mas ngaku aja, jawab yang Ica mau!"
Fahri menghindar, ia dorong tubuh Haisha menjauh, tapi gerakan gadis itu lebih cepat dari yang Fahri duga.
"Mau lo apa? Lo udah tahu juga kalau gue ke luar sama Klareta, pakek nanya lagi."
"Ica nggak larang Mas ketemu sama dia, beneran! Tapi, Mas harus tahu kalau ada nama Ibu yang Mas pertaruhin di sini, seenggaknya jaga nama Ibu, jaga hatinya Ibu ... Ica janji nggak akan halangin Mas sama dia, Ica sadar Ica itu siapa, tapi demi Ibu, Ica mohon Mas lebih jaga diri. Berita di luar sana bisa nyakitin hatinya Ibu," jelas Haisha, ia merasa sesak mengatakan semua itu.
Bodoh kalau dia ingin pernikahan ini berakhir, tapi untuk saat ini dia harus mengikuti pola fikir Fahri.
Fahri lihat sorot mata tulus di wajah polos itu, Haisha dengan umurnya yang masih muda dan tubuhnya yang kecil berbicara panjang lebar kepadanya dan itu tentang orang tua.