Keputusan Fahri sudah bulat, dia akan mengajak Haisha ke pesta lepas proyek itu sebagai penunjang posisinya di sana.
Benar apa yang Gilang katakan, dengan membawa seorang istri bersamanya di pesta itu bisa dipastikan semua orang akan memberi pengakuan pada Fahri, dia tidak diragukan lagi wibawanya.
Tetap dengan satu syarat, Fahri meminta Bik Mira memeriksa baju yang Meri kirimkan untuk Haisha, ia tidak mau Haisha lebih tersorot publik karena penampilannya.
"Lo takut Ica kelihatan cantik kayak waktu nikah kan?" tuduh Gilang, satu alisnya naik turun seirama dengan milik Gio.
"Bodo'," balas Fahri acuh, ia ingin mabuk, tapi Gio larang.
Tidak untuk saat ini karena Fahri harus menyelesaikan banyak sisa pekerjaan bersama Gilang juga harus mulai bisa mengendalikan diri, itu tugas yang Gio emban dari Meri.
Menjauhkan Fahri dari minuman keras yang jelas merusak tubuhnya suatu saat nanti, Meri juga tidak mau ketika Fahri mabuk, dia berlaku buruk pada Haisha yang menunggunya di rumah, hal itu bisa saja terjadi mengingat kondisi Fahri ketika mabuk selalu teringat pada rasa sakitnya terhadap Klareta.
"Nih, lihat fotonya Ica waktu nikah, pakek kebaya sama gaun simple aja udah kelihatan manis, cakep tuh Ica ... Bisa cuci mata nih kita-kita," celoteh Gilang.
Sengaja mereka membuka file foto yang diambil saat pernikahan Fahri berlangsung, kebetulan mereka mengambilnya pribadi dan tepat pada wajah Haisha yang tampak berbeda dari biasanya.
Fahri sahut ponsel itu, menghapus file yang ada di sana dengan sangat cepat, ia lempar kembali dengan wajah ketus.
"Elah, kok lo hapus, Ri'?" Gilang memprotes.
"Lo nggak rela kan kalau Ica dilihat banyak orang, mulai goyahkan lo sama tuh cewek, Ri'? Ngaku lo kalau emang Ica itu beda dan lebih spesial dari tuh mantan, ya kan, Lang?"
Gilang mengangguk setuju pada Gio, sementara Fahri hanya berdecak menyahutinya.
***
Haisha coba beberapa baju yang Meri kirimkan, memakai lalu mengambil gambar untuk ia kirimkan pada sang ibu mertua, Bik Mira ikut menjadi juri di sana.
"Yang ini Non kelihatan anggun terus cantik, nggak terlalu terbuka juga, roknya juga pas sama kakinya Non," simpul Bik Mira.
Haisha berbalik, "Iya, ya ... Ica juga dari tadi udah ngelirik yang ini, Bik. Kita nunggu keputusannya Ibu juga ya," balasnya.
Bik Mira mengangguk, ia lipat rapi kembali beberapa baju yang tidak jadi Haisha kenakan, setelah ini dia harus berganti menyiapkan kemeja dan jas yang senada untuk Fahri, tentunya dengan melibatkan Haisha di sana.
Gadis muda dengan wajah manis itu mampu menyihir siapa saja, dan Bik Mira yakin setelah ini Fahri akan tersadar, Fahri akan membuka hati dan dekat dengan Haisha. Selain itu, kekurangan Fahri seolah tidak menjadi hal yang Haisha benci, gadis itu tampak menerima dan tulus.
"Bik, Ibu juga suka aku pakek yang warna salem ini!" seru Haisha, ia tampak senang.
"Syukur deh, Non. Bibik yakin Mas Fahri juga nggak suka kalau Non pakek yang terbuka."
Bik Mira bantu Haisha melepas baju itu cepat, mereka bergegas masuk dan membuka lemari Fahri untuk mencari baju dengan warna senada.
"Yang ini gimana, Bik?"
"Pas, Non."
Haisha ambil satu set sampai pada dasi yang akan Fahri kenakan, Fahri harus tampil penuh wibawa di sana, mengesampingkan semua masalah yang bisa membuat karirnya terancam.
"Biasanya Mas Fahri dateng sama siapa ya, Bik?"
Bik Mira sontak berhenti menata baju Fahri dan Haisha, wanita itu terlihat bingung mau menjawab apa.
"Ah, Ica tahu."
"Tapi, Non ... Dia nggak ada apa-apanya sama Non kalau misal dampingin Mas Fahri ke acara itu, Non lebih berkelas menurut Bibik."
"Kok gitu?"
"Non menjaga betul apa yang memang menjadi haknya Mas Fahri," jawab Bik Mira.
"Maksudnya? Ica bener-bener nggak ngerti," balas Haisha bingung.
"Maaf sebelumnya, Non Klareta kan bajunya lebih banyak yang terbuka, itu udah biasa di depan banyak orang. Kalau Non lebih ke seorang istri yang nggak mau orang lain menikmati apa yang cuman Mas Fahri aja yang punya hak."
Penuturan Bik Mira itu di dengar langsung oleh Fahri yang kebetulan baru datang, langkahnya tidak terdengar sama sekali karena kedua wanita itu sibuk berbicara, Fahri berhenti di ambang pintu kamarnya, ia mendengar semua dan ada cubitan kecil di hatinya.
Klareta dengan tubuh bagus dan menariknya, siapa yang tidak tahu, hampir semua yang terlibat dalam usaha ini dan pengguna media sosial pasti tahu bagaimana tubuh dan kecantikan Klareta.
Sedang Haisha, siapa yang tahu selain Fahri dan keluarganya? Tidak ada.
"Eh, Mas udah pulang?" Haisha tersadar ada Fahri di depan pintu.
Fahri melirik singkat, lalu melangkah masuk acuh.
"Mas ini bajunya udah Ica pilihin bareng Ibu sama Bik Mira, menurut kamu gimana?" tanya Haisha.
"Terserah lo, nggak peduli gue!"
Haisha melirik Bik Mira, meminta lirih agar wanita itu pergi lebih dulu, dia tidak mau Bik Mira mendengarkan ocehan Fahri yang mungkin bisa saja membuat wanita itu ikut sakit hati.
Baju-baju itu pun Haisha minta Bik Mira bawa ke luar dan menyimpan di kamarnya.
"Mas duduk bentar deh, Ica mau tunjukin sesuatu." Haisha beranikan diri menarik tangan Fahri, mengajak pria itu duduk di tepi ranjang.
"Apaan coba?"
"Issh, jangan galak gitu, Ica mau ngasih tahu beberapa baju pilihan Ibu yang udah Ica coba. Mas lihat, siapa tahu pilihan Ica nggak cocok sama Mas," jelas Haisha.
Sungguh, harus punya kesabaran dan mental baja bila berhadapan dengan pria labil seperti Fahri ini.
Fahri rebut ponsel Haisha, sebuah ponsel bekas milik Meri yang lebih bagus dari milik Haisha sebelumnya, Meri ingin membelikan baru, tapi Haisah menolak sopan.
Bisa Haisha lihat mata Fahri berulang kali terbelalak melihat fotonya, mulai dari baju yang kurang kain sampai yang tertutup semua sampai batas mata kaki.
"Mana yang lo pakek?"
"Yang ini, salem." Haisha tunjuk yang tadi sudah mendapat persetujuan Meri. "Mas kalau nggak suka nggak apa, Ica bisa pakek yang lain, gimana?"
Fahri lihat sekali lagi, semua dia akui bagus dan memang mempesona, dia yakin akan banyak mata yang tertuju pada Haisha.
Dan ia tidak mau itu, wajah Haisha yang tampak manis dengan rambut terburai waktu itu entah kenapa ia akui sebagai hak miliknya diam-diam.
"Terserah lo pakek apa," putus Fahri, ia kembalikan ponsel Haisha.
"Yauda, Ica nggak ganti ya."
Haisha berjalan ke luar, tapi langkahnya terhenti karena Fahri memanggilnya.
"Iya, Mas?"
"Nggak perlu dandan kayak nikahan!"
Haisha tersenyum tipis, "Iya."
Ada yang membuncah di dalam dadanya, Haisha senyum-senyum sendiri sampai salah masuk ke kamar kosong samping kamarnya, satu lagi dia hampir terpeleset mengingat lirikan acuh Fahri.
Dia itu acuh, tapi sebenarnya sangat peduli.