Itu namanya tindak kekerasan dalam rumah tangga, benar, tapi Haisha tidak akan melaporkan suaminya yang sedang dalam kondisi labil itu.
Lagipula, Fahri seperti itu karena ucapannya yang memang dibilang berani.
"Ca, lebih baik kamu konsul ke dokter itu," cetus Kiano.
"Bener, Ca. Akan lebih baik kalau kamu yang tinggal satu rumah sama dia tahu cara nanganinnya gimana," timpal Kayang.
"Tapi, mana tahu Ica dokternya," ucap Haisha.
Ah, benar.
"Tunggu, aku bisa bantu kamu buat tanya ke doktet yang ada di rumah sakit deket sini, dia buka praktek di rumah dan kebetulan aku pernah anter saudara ke sana, entar pulang kuliah kita bisa ke sana," jelas Kiano.
"Yang bener, Ki. Tapi, Ica boleh nggak?" Kayang menoleh pada Haisha.
"Boleh, asalkan kamu ikut, biar aku nggak sama Kiano aja."
Sontak Kiano memutar matanya, "Kamu dimarahin masalah itu juga?"
Haisha mengangguk, mereka adalah tempat berbagi Haisha selama ini. Masalah yang Haisha hadapi ini tidak mungkin dia selesaikan sendiri, apalagi melibatkan Meri yang kebenarannya sendiri saja belum Haisha temukan jelas, dia mau mencari bukti dulu.
Selama waktu perkuliahan berlangsung, mereka terpisah, beruntung hari ini tidak ada jadwal tambahan sehingga mereka bisa mengunjungi psikiater yang membuka praktek tidak jauh dari wilayah kampus ini.
Haisha berada di boncengan Kayang, sedangkan Kiano seorang diri. Mereka tutup rapat masalah ini untuk Haisha, tidak terbayangkan bila Haisha seorang diri, mungkin dia bisa stress dan menjadi korban kekerasan yang tidak jelas.
"Maaf, tapi jam praktek sudah habis," ucap petugas pendaftaran.
"Bu, saya sudah janjian lewat Bu Jihan." Kiano maju, menunjukkan pesan di ponselnya.
Sekali lagi, Haisha merada tertolong dengan keberadaan Kiano.
Kayang mendampingi Haisha yang mendapat izin masuk, menggenggam erat tangan Haisha yang mulai dingin.
Haisha gugup, baru kali ini dia bertemu psikiater dan itu untuk membahas masalah orang lain, bahkan dia tidak mengajak orang yang bermasalah itu ikut.
"Fahri Yudistira, sepertinya saya tidak asing dengan nama ini, tunggu!" ucap dokter Jodi.
Beberapa file ia ke luarkan dan mulai membuka satu per satu, matanya terbuka lebar saat menemukan nama yang sama di sana, ia putar lembaran berisi biodata lengkap Fahri ke depan Haisha.
"Coba kau lihat, apa mereka orang yang sama?"
"Benar," jawab Haisha cepat, ia hafal tanggal lahir Fahri dan terlebih lagi nama orang tua kandungnya.
"Apa Dokter kenal dan pernah menanganinya?" tanya Kayang.
Dokter Jodi mengangguk, "Dia kehilangan kepercayaan diri karena satu kekurangan yang mungkin kau juga tahu." menunjuk Haisha yang mengaku istri Fahri. "Dari awal dia menyugesti dirinya hanya Klareta yang bisa menerima semua kekurangannya itu, tidak akan ada wanita lain yang mau, tidak ada wanita setulus Klareta, dan apapun akan dia lakukan agar bersama meskipun Klareta berulang kali selingkuh juga membuat dia marah, itu hanya sementara dan dia bisa menerima Klareta lagi di waktu berikutnya," jelasnya.
Haisha tertegun mendengar penjelasan dokter itu, pria seperti Fahri dengan semua latar belakang yang sempurna, bisa jatuh dalam lubang penderitaan seperti itu.
"Apa tidak bisa disembuhkan, Dok? Tingkahnya selalu berubah-ubah," tanya Haisha.
"Bisa, kabar menikah denganmu cukup membuat saya terkejut, itu satu kemajuan, ada niat dalam dirinya meskipun itu kecil untuk berpaling dari Klareta. Tapi, mungkin dia sedikit hancur karena kau tahu kekurangannya, dia menjadi terlihat tidak sempurna di depanmu."
"Apa kekurangan itu juga permanen?" Haisha berusaha keras untuk memahami.
"Dia sudah sembuh, dia pulih normal, mungkin sebelum menikah denganmu. Kalau tidak salah, dia bercerita terakhir lamarannya ditolak," jelas dokter Jodi.
Sembuh dan sudah pulih normal?
Lamaran ditolak? Lamaran yang mana?
Tidak ada gadis lain yang mungkin Fahri lamar selain Klareta.
Jadi, selama ini dia berobat lalu sembuh, dan ketika dia ingin membuktikan keseriusan pada Klareta dengan kondisinya yang sudah normal selayaknya pria gagah di luar sana, tapi niatan baik itu ditolak.
Klareta masih selingkuh dengan banyak alasan sama seperti disaat Fahri masih dalam masa pengobatan.
Astaga, tidak ada yang tahu masalah ini selain Fahri dan mereka yang duduk di depan dokter Jodi sore ini.
"Kalau Mas Fahri udah sembuh, kenapa dia masih uring-uringan gitu?" Kayang merasa heran.
"Ditolak Klareta bisa ngebuat dia drop dan down lagi, merasa sia-sia, itu yang aku tangkep," jawab Kiano.
Sementara Haisha masih memikirkan pesan terakhir dokter Jodi untuk dirinya. Dia harus menjadi orang yang paling percaya pada Fahri, memberi dukungan dan mengikuti pola Fahri entah apapun itu.
Orang seperti Fahri hanya butuh orang yang mau mengerti dan mendengarkan, bukan melawan.
Selama ini, walau Fahri dekat dengan Gilang dan Gio, tidak ada pembahasan intim di antara mereka.
Fahri terbiasa terlihat kuat dan hanya soal sakit hati pada Klareta, kekurangan dan kegilaan ini mereka tidak ada yang tahu, mungkin Fahri akan menjauh dan malas berbicara pada kedua temannya bila mereka tahu sama seperti Haisha sekarang.
Rumit.
***
"Bik, Mas Fahri udah pulang?"
"Udah, Non. Ada di ruang kerjanya sana, lagi ngerjain apa gitu tadi, Bibik lupa."
"Ini Bibik mau anterin apa?"
"Owh, tadi Mas Fahri minta kopi susu hangat sama pisang goreng. Mau Non anterin?"
Haisha mengangguk, semua harus ia mulai hari ini, memberanikan diri dengan bekal seadanya dan apa adanya, memakai karakter pribadinya yang tulus dan jujur untuk membuat Fahri luluh, setidaknya suasana rumah ini tidak seperti di hutan penuh singa.
Entah nanti mereka berpisah atau tidak, sekarang yang terpenting adalah kembalinya hubungan baik mereka seperti dulu saat Haisha masih menjadi gadis kecil yang ikut bekerja orang tuanya di rumah keluarga Fahri.
Tok, tok, tok ....
"Masuk!" sahut Fahri, suara yang hampir membuat Haisha menumpahkan kopi susu hangat itu.
Haisha tarik nafas dalam-dalam, ia harus siap dengan apapun yang Fahri katakan.
"Lo?"
Haisha tersenyum, ia berjalan ringan tanpa beban, menutup rasa gugup yang sudah mencapai level maksimal itu sebaik mungkin.
Haisha simpan nampan berisi satu cangkir kopi susu dan pisang goreng itu di sisi kiri meja kerja Fahri.
"Bik Mira masih bersihin Dapur, jadi Ica yang anter," ucap Haisha, menginjak kakinya sendiri yang gemetar.
Fahri hanya melirik, matanya kembali menatap layar laptop, belum menyentuh apapun yang Haisha bawakan.
"Ngapain lo di sini, hah?"
"Mau nemenin Mas kerja, Ica juga mau tanya tugas kuliah tadi, kesulitan masalah bisnis, eheheheh ...." cengar-cengir Haisha menjawab.
"Gue sibuk."
"Bentar aja, Mas. Ica beneran nggak ngerti," balas Haisha memohon.
"Mana?"
Ah, beruntung, harus meninggikan diri Fahri dulu agar mendapat persetujuan.
Haisha berlari ke luar menuju kamarnya, mengambil cepat lembar tugas yang memang benar adanya, dia sudah mengerjakan di lembar lain, tapi tetap ia tunjukkan pada Fahri, kesempatan ini tidak mudah ia dapatkan.
"Segini doang otak lo nggak bisa, khayal lo jadi pengusaha!"
"Eheheheh, siapa tahu Mas ajarin jadi aku bisa."
Fahri lirik sekilas, memastikan kesungguhan Haisha, mata itu sama seperti pagi tadi di mana Fahri melihat hal yang berbeda dari Haisha yang tentu tidak pernah ia lihat dari Klareta
"Gue cuman ajarin sekali, kalau lo nggak paham, lo ke luar dari ruangan ini!"
"Iya, Ica bakal dengerin baik-baik."
"Lo tadi pulang sama?"
"Supir taxi, Mas."
Fahri manggut-manggut, Haisha bisa bernafas lega, beruntung kedua temannya tidak mengantar, terutama Kiano, tentu sangat sensitif malam ini.