Chereads / Be a Little Wife / Chapter 24 - Berbohong

Chapter 24 - Berbohong

"Lo tahu apa yang harus lo lakuin kalau udah selesai?" Fahri bertanya sinis.

"Iy-iya, Mas. Terima kasih banyak, Ica pamit dulu."

Haisha punguti buku-buku pendukung juga lembar tugasnya, semua sudah selesai dan jawabannya memang tidak jauh berbeda dengan hasil fikiran Haisha sendiri.

Tidak ada sahutan sampai pintu ruang kerja itu tertutup rapat kembali, Fahri fokus pada layar laptop dengan wajah acuh, sedang Haisha bersandar pada pintu dengan nafas yang memburu.

Mata Fahri entah kenapa seperti ada yang magnet di dalam sana, tidak mungkin kalau dia mulai suka, dari semua perlakuan Fahri tidak ada yang bisa Haisha katakan baik dan lembut, bahkan membantunya tadi saja dengan suara yang meninggi dan berulang kali memukul meja.

"Non," sapa Bik Mira, wanita itu tampak khawatir.

Haisha tersenyum, ia masih memeluk buku-buku kuliah itu, mulai melangkah pelan dan menahan kakinya sendiri yang meras melayang.

"Non nggak apa-apa kan tadi di dalam sama Mas Fahri?"

"Iya, Bik. Ica nggak buat kesalahan hari ini, jadi Mas Fahri nggak marah kok."

"Tapi, tadi Bibik denger Mas Fahri teriak-teriak, kenapa itu, Non?"

"Emm ... Karena Ica nggak paham-paham aja sama yang dijelasin, sulit materinya, Bik."

"Yaudah, Non buruan istirahat ya ...."

Haisha mengangguk, ia setengah berlari masuk ke kamarnya. Ruang kerja Fahri ada dua, kebetulan pria itu menngerjakan tugas di lantai dua, tidak jauh dari kamar yang Haisha tempati.

Haisha kembali bersandar pada pintu kamarnya, ia sontak merosot, mendadak teringat tatapan tajam Fahri yang menusuk retina matanya sampai ke lapisan terkecil di dalam sana, Fahri seolah masuk dan tenggelam di dalam sana.

"Ada apa sama Ica ini? Sadar Ica, sadar!" Haisha tepuk-tepuk pipinya.

Tidak mungkin kalau secepat itu Haisha mengalami debaran pertama sama seperti yang pernah Kayang dan Kiano gambarkan, selama ini dia kerap bicara berdua dengan Kiano, bahkan mereka saling memandang, tapi baru kali ini ada debaran lain yang Haisha rasakan, tidak pernah ia rasakan saat bersama Kiano.

Setelah bisa menguasi diri, Haisha bergegas merapikan buku tugas dan bersiap untuk istirahat.

Hari ini dirinya masih beruntung, satu kunci yang Haisha pegang bila ingin sedikit lebih baik berbicara atau bertemu dengan Fahri yaitu masalah pria lain, dia harus menjaga diri meskipun itu Kiano, amarah Fahri akan rasa sakit hatinya bersama Klareta bisa terlampiaskan pada Haisha bila dia berani membahas atau terlihat dekat dengan pria lain.

Hanya Fahri, tidak ada dan tidak boleh ada pria lain yang Haisha bahas. Mau tidak mau untuk sementara ini agar Meri tidak curiga dengan hubungan asli rumah tangganya bersama Fahri, otak kecil Haisha harus dipaksa untuk hanya mengagungkan satu nama pria saja, Fahri, hanya Fahri, itu saja.

"Mana dia?" tanya Fahri pada Bik Mira yang bersiap menutup pintu.

Bik Mira menoleh, kedua alisnya terangkat bingung, tidak biasanya Fahri mencari Haisha.

"Non udah tidur setengah jam yang lalu, Mas. Apa perlu sesuatu?"

"Nitip gelang ini, terlepas tadi." Fahri ulurkan gelang berwarna merah milik Haisha yang tertinggal di ruang kerjanya.

Bik Mira mengambil gelang itu, "Baik, Mas. Nanti biar saya yang kasih ke Non."

"Hem," sahut Fahri.

Fahri berlenggang masuk ke kamarnya, kembali ke kamar tamu yang kemarin sempat Meri tempati, ia kembali terpisah dari Haisha.

Bik Mira melirik sebentar, ia angkat gelang berwarna merah itu, otaknya mulai berfikir apa yang mereka lakukan di dalam tadi sampai gelang Haisha terlepas.

***

Fahri berusaha memejamkan matanya, wajah Haisha ada di langit-langit kamar itu, berusaha ia tepis dan hilangkan, tapi gagal berulang kali.

"Ngapain juga gue inget cewek itu, bocah lagi!" ocehnya kesal.

Rambut Haisha yang terburai saat dirinya melempar satu buku dan gadis itu berusaha menepis, ujung buku itu terkena karet rambut tipis milik Haisha dan putus. Perlahan Haisha sibakkan rambutnya, gadis itu sempat tersungkur karena kursinya tidak imbang, dia tidak duduk dengan posisi yang baik hingga satu gerakan spontan bisa membuatnya terjatuh.

Fahri gosok-gosok wajahnya, mata tulus dan wajah tenang Haisha lagi-lagi memenuhi pandangannya.

"Maaf, karetnya Ica belum ganti jadi putus. Ica gulung aja gini ya, maaf ya, Mas."

Suara itu, bulu kuduk Fahri sampai berdiri tegang. Tidak ada kemarahan di sana meskipun dia berlaku kasar, coba saja Haisha tidak menghindar, bisa Fahri pastikan ada luka goresan di wajah manis itu.

Wajah manis?

"Haaassh!" Fahri tendang gulingnya, dia tidak pernah seperti ini pada Klareta.

Wajah Klareta cantik, bertubuh bagus, semua orang tahu itu tanpa Fahri harus melihatnya diam-diam seperti tadi ia mencuri pandang pada Haisha. Sedangkan, wajah Haisha adalah sebuah rahasia, tidak ada yang tahu raut manis itu selain dirinya, tentu di luar sana tampilan Haisha sudah terpoles bedak, di rumah masih natural.

***

"Ibu mau kamu jawab jujur, Ica."

Haisha angkat wajahnya, ini pasti soal Fahri, ia mulai waspada bila Meri membahas masalah malam itu.

Bik Mira tadi mengatakan dirinya harus berhati-hati, bisa saja dan ada kemungkinan Meri sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Kamu dan Fahri tidak tidur satu kamarkan sebelum Ibu datang?"

Deg,

"Kamu nggak perlu takut Ibu marahin Fahri, apa yang salah memang harus diluruskan, tapi bukan Ibu marah ke dia, Ibu hanya akan mengajaknya bicara baik-baik," jelas Meri.

"Sebenarnya memang iya, Bu. Mungkin Ica sama Mas Fahri masih perlu adaptasi, tapi Ibu nggak perlu khawatir, kami udah mulai dekat dan malam itu menjadi awal kita tidur satu kamar," ungkap Haisha.

"Kalian udah niat tidur satu kamar, begitu?"

Haisha mengangguk, "Iya, semua Ibu tahu pasti ada prosesnya, Ibu nggak perlu khawatir Mas Fahri berlaku buruk ke Ica. Mas Fahri itu baik, dia hanya belum terbiasa, Ica juga masih harus banyak belajar."

Meri mengusap dada, ia merasa lega dengan jawaban Haisha. Masalah cinta bisa datang kapan saja asalkan dari mereka sama-sama mau membuka pintu hati yang sudah lama terkunci mati hanya untuk satu orang atau bahkan belum pernah.

'Maafin, Ica.' batin Haisha.

Ia terpaksa berbohong kepada Meri. Hubungannya bersama Fahri mulai sedikit membaik meskipun belum sepenuhnya, masih sangat sedikit celah yang ia dapatkan, Haisha ingin Fahri tidak tertekan dan bisa percaya kepadanya penuh.

"Kamu itu masih muda, tapi fikiran kamu lebih dewasa dibandingkan Fahri," simpul Meri.

"Ica kelihatan tua nggak sih, Bu?" Haisha takup pipinya.

"Ih, ya nggak dong. Masih kencang semua, beda sama Ibu yang udah mulai keriput!" balas Meri ikut menakup pipinya. "Ibu ini sayang sama Ica, kita ke rumah sakit jenguk Ibu kamu yuk ... Nanti, Ibu anter pulang sekalian, untung kamu pulang cepet kuliahnya."

Haisha mengangguk dengan senyum penuh, ia teramat rindu dengan ibunya, Fahri belum mengajaknya ke rumah sakit, dia juga masih belum berani meminta izin, hanya sekedar meminta tolong Kayang dan Kiano untuk menggantikannya.

[Ica ke rumah sakit bareng Ibu, Mas.]

Fahri buka pesan itu, tapi tidak ia balas.