"Aku-aku pulang naik sepeda aja, nggak perlu dianter," ucap Haisha, ia setengah menunduk menghadapi Fahri.
Pagi buta pria itu sudah bertandang ke kamar tamu yang ia tiduri semalam, Haisha menginap di sini karena permintaan Meri yang tidak bisa ditolak, wanita baik itu tidak mungkin Haisha rusak senyumnya.
"Yaudah, entar kalau Mama tanya lo kenapa pulang sendiri, jawab yang jujur, jangan bilang gue nggak nawarin, bisa rame entar seharian!"
Haisha mengangguk, ia melewati Fahri, lebih baik dia segera pergi dari rumah ini daripada nanti terlambat masuk kerja, potongan gaji itu lumayan kalau untuk tambahan beli makan.
Haisha ucapkan semua dengan jujur pada Meri yang jelas khawatir, bahkan wanita itu sempat meminta Fahri untuk mengikuti sepeda Haisha, tapi dengan tutur kata yang lembut dari bibir gadis itu berhasil membuat Meri percaya
"Besok Ibu jemput buat jengukin Ibu kamu ya, Ca...."
"Iya, Ibu tinggal nelpon Ica aja," sahut Haisha.
Ia kayuh sepedanya ke luar dari teras rumah besar itu, jarak rumah dan gapura komplek pun cukup jauh, penuh perjuangan Haisha melewatinya hingga sampai ke jalan raya.
Keringat sudah bercucuran di mana-mana, setelah ini dia harus segera mencuci baju dan bersiap untuk bekerja, tubuhnya lelah walau semalaman terbaring di kasur empuk dan luas.
Dia tidak bisa tidur mengingat isi surat perjanjian pra nikah yang Fahri berikan, susah payah Haisha pahami seorang diri, dia ingin bertanya pada kedua temannya.
Tapi, sengaja Haisha urungkan, ini menyangkut penilaian Kiano dan Kayang pada calon suami juga keluarganya, Haisha tidak mau merusak citra baik seseorang di sana, terlebih lagi selama ini Meri dikenal baik, hanya saja ada masalah kecil dari Fahri yang di luar kendali.
"Heh, Ica!" suara teriakan seorang wanita.
Haisha taruh sepedanya sebentar lalu ia kembali ke luar, itu tetangga yang kemarin malam berkumpul di depan rumah ketika lamaran dadakan itu terjadi.
"Iya, ada tagihan listrik ya, Buk?" tanya Haisha seperti biasa.
"Tagihan nggak tahu malu yang ada, kamu itu hamil di luar nikah apa kok sampe dilamar semalam, kita semua denger dan tahu loh, ada juga buktinya mereka bawa seserahan, kamu hamil atau godain anak orang kaya?" cerca orang itu.
Haisha bergeleng cepat, "Ica nggak hamil atau apa, Buk, kemaren itu keluarga dari mantan-"
"Mantan pacar kamu kan? Kita tahu kamu butuh uang buat hidup sama biaya rumah sakit, tapi nggak gitu juga jual diri, nggak bener nih anak Ibuk-ibuk, dia bisa jadi racun di kampung ini, rusak didikannya!" orang itu masih mengoceh, dia termasuk vocal di kampung ini.
Haisha berusaha menjelaskan pada ketua RT setempat yang datang berlarian, hampir saja Haisha diarak kampung dan disiram air kotor juga telur oleh para tetangga, beruntung ketua RT segera datang.
"Jangan salah sangka, kalian sudah dengarkan kalau yang kemaren datang itu mantan majikan orang tua Ica, mereka memang mau melamar Ica buat anaknya, nggak ada jual diri atau hamil di sini!" tegas ketua RT.
"Tapi, kenapa harus dia, Pak RT? Dia itu masih baru lulus, kalau nggak hamil atau godain, nggak mungkin ngelamar tanpa berita, tetangga aja nggak tahu, pasti ada apa-apanya, usir dia aja!"
"Tidak bisa, kita nggal boleh main hakim sendiri, saya ketua RT di sini, jadi ... Tolong hormati keputusan saya!" tegas ketua RT sekali lagi, ia lindungi Haisha yang memang dikenal baik selama ini.
Haisha jelaskan semua duduk persoalannya, dia memohon pada ketua RT agar tidak mengusirnya dari kampung ini, rumah itu banyak sekali menyimpan kenangan bersama sang ayah yang telah tiada.
"Kamu tenang aja, kalau ada apa-apa tinggal hubungi Bapak atau lari ke rumah Bapak, ya? Bapak bawa nomor telpon Bu Meri, bagaimanapun ini prosedur biar mereka nggak mikir jelek dan semua jelas."
Haisha menurut, sembari terisak ia masuk ke rumah untuk membersihkan diri, baju kerjanya hanya ada dua dan sekarang sisa satu.
Entah bagaimana dia harus berganti baju bila bekas coretan itu tidak bisa hilang, tadi sempat ada tetangga yang menarik baju dan mencoret dengan spidol besar, tulisan yang buruk tentang Haisha, tidak mungkin bisa ia bekerja dengan baju itu.
Seperti inilah kehidupan yang selama ini Haisha jalani, tidak luput dari pandangan buruk para tetangga, kesenjangan ekonomi yang ia rasakan sangatlah nyata sejak dulu.
Mungkin banyak orang cerdas, tapi orang yang baik dan mengerti itu sangat sedikit.
"Kerja yang bener, jangan-jangan dia mau negelayanin anak orang kaya lagi itu, gayanya aja pakek seragam toko!"
Haisha tutup telinganya rapat-rapat, ini resiko yang harus ia tanggung, bisa saja ia mengajak tetangganya itu berdebat, tapi bila ia fikir ulang tentu yang ia dapat hanyalah rasa lelah, mereka tetap akan menilai sesuka hati.
Sesampainya di toko,
"Ya ampun, Ica!" suara Kayang sudah melangit, mata sembab Haisha menjadi sasarannya.
Kayang dekap temannya itu, "Kamu sakit atau belum makan, hem, mau makan?"
"Ica udah makan, cuman tadi-"
Haisha ceritakan apa yang ia terima dari orang-orang di kampungnya, sesenggukan Haisha mengulang semuanya.
Sungguh, jangankan menjual diri, membuka hati untuk lawan jenis saja Haisha tidak pernah.
Aksi protes di kampungnya akan terus berjalan sampai ketua RT mengabarkan keterangan yang mungkin didapat dari Meri, mereka bahkan ingin wanita itu menjelaskan terang-terangan walau dirasa tidak perlu ikut campur.
"Dasar ya, emang mulut mereka itu minta dijahit!" ucap Kayang berapi-api. "Emang masalah kalau anak muda mau nikah terus dia anak orang nggak punya? Emang masalah kalau orang miskin nikah sama orang kaya, nggak kan? Mereka aja yang sirik soalnya nggak bisa dapet atau jadi orang kaya, muter aja sama tetangga jodohnya, terus pada nikah tua, sebel!" tambah Kayang dengan wajah memerah.
"Kamu nggak perlu khawatir, aku bakal temenin kamu pulang nanti, aku nginep rumah kamu, kalau mereka berani ngomel lagi, aku kasih cabe biat kapok! Orang pada nggak ada otak apa semua, sekolah apa nggak mereka itu." Kayang berjanji tidak akan membiarkan Haisha sendirian, kalau perlu dia akan menginap lama di sana kedua orang tuanya pasti datang membantu.
Bahkan, kalau mau Kayang menawarkan agar Haisha tidur di rumahnya.
"Bukan masalah capek aja, tapi mental, kamu tahukan orang kenak gangguan mental gara-gara nggak kuat nanggepin omongan orang, aku nggak mau kamu kayak gitu!" Kayang tunjuk tegas Haisha.
Temannya itu memang selalu banyak berfikir, banyak yang Haisha pertimbangkan, bahkan untuk sekedar marah saja harus difikir berulang kali.
Mungkin dia tidak sedewasa Kayang atau pengetahuannya terbatas dalam pergaulan, tapi percayalah kalau Haisha adalah kunci di mana Kayang dan Kiano bisa mengendalikan emosi mereka.
Fikiran sederhana dan lembut Haisha menjadi kunci mereka.
"Mereka nungguin kamu rupanya, silakan demo, biar aku yang hadapi!"
Benar, malam ini beruntung Haisha membawa baju ganti dan Kayang juga, mereka di kampung itu menunggu Haisha.
Bukan masalah lamaran dadakan saja yang mereka tidak terima, tapi teguran dari RT dan RW yang mereka terima juga menjadi alasan protes tidak terima malam ini.
"Kurang ajar!" umpat Kayang.
Baju dan rambut mereka sudah tidak berupa, apa yang tadi pagi tidak bisa mereka lempar pada Haisha, malam ini terlempar semua.
Air keruh, telur dan tepung, malam ini sudah seperti ajang kejutan ulang tahun jaman anak sekolah saja.
"Maafin aku ya," ucap Haisha lirih, mereka berhasil masuk ke rumah dan ketua RT datang untuk membubarkan tetangga.
"Udah, kamu nggak perlu gitu, kita ini teman ... Puas aku tadi, yang ngomel paling depan, si Ibu-ibu gendut itu, aku remes mulutnya!" Kayang angkat tangannya tinggi, dia puas.
Persiapan tenaga untuk esok hari di mana mereka pasti akan disambut dengan hal yang sama.
"Aku nggak nyangka di jaman sekarang masih ada orang sirik kayak gitu, mana yang lain ngikut bodoh lagi!" omel Kayang sebelum memejamkan mata.