"Udah, nggak perlu kamu dengerin omongan senior, ini hidup kamu!" Kayang baru saja melakukan pembelaan.
Haisha mengangguk, dia tidak masalah dengan mereka yang mengumpat di belakang atau di depannya selama dia masih bisa bekerja di tempat ini.
Tapi, sebagai teman tentu tidak terima bila melihat Haisha diperlakukan tidak baik, apalagi ini menyangkut urusan pribadi yang seharusnya tidak berhak mereka bahas.
"Syukurlah, Ica pikir keluarga Bapak nggak ada yang mau dateng ke sini, jujur aja waktu itu Ibu pernah bilang ke Ica kalau mereka udah lama nggak saling kontak, Bu." Haisha usap dadanya lega.
Kabar dari Meri hari ini begitu melegakan, pasalnya wanita itu bisa menemukan dan mengupayakan keluarga kandung dari orang tua Haisha.
"Ibu mau Ica pijitin?" tawar Haisha yang memang sudah akrab dengan Meri.
Diam mendengarkan....
"Iya, besok hari libur Ica kerja, Ica ke rumah Ibu ya...," ujar Haisha sebelum mengakhiri panggilannya.
Dia tidak peduli dengan aturan yang Fahri buat sebagai perjanjian pra nikah, itu semua tidak ada hubungannya dengan kebaikan dan balas budi Haisha pada Meri.
Walau harus menjadi orang asing nanti di depan Fahri, tidak masalah, fikiran sederhananta berkata dia harus tetap senang melakukan semua ini demi senyum wanita baik hati yang telah membantu hidupnya dan keluarga.
"Ca, kalau aku boleh tahu ... Mas Fahri itu udah putus dari pacarnya yang sempet terkenal di media sosial itu?" Kayang temani Haisha makan sebelum melanjutkan shiftnya.
Haisha angkat kedua bahunya, "Ica ngak ngerti sih, cuman kalau dia mau nikah, itu artinya dia udah putus kan?"
"Bisa jadi, tapi bisa aja nggak, Bu Meri nggak suka sama dia, terus akhrinya dia terpaksa mau nikah sama kamu atau mungkin ada masalah," sahut Kayang.
Haisha teringat ucapan Meri waktu itu tentang kekasih Fahri, bahkan di ruang kerja Fahri ada foto gadis berparas cantik itu juga.
Tapi, entah mereka sudah putus atau belum, Haisha tidak mungkin berani bertanya masalah itu pada Fahri, pria itu sudah melarangnya ikut campur.
"Gimana kalau dia jalan sama pacarnya, dan itu juga udah nikah sama kamu?"
"Ssstt ... Kamu jangan ngomong gitu, kamu mau apa aku jadi kayak yang dimedsos kamu itu," sela Haisha setengah membekap mulut temannya.
Sontak Kayang tergelak, yang Haisha maksud adalah berita tentang para artis yang berselingkuh, Haisha tidak mau menjadi seperti di dalam sana di mana saling menarik rambut atau mungkin menangis di depan umum.
Terbayang kalau Fahri itu sangat terkenal di media sosial berkat usaha keluarganya.
Malam merangkak naik, Haisha pertahankan senyumnya di tengah banyak umpatan dari senior dan teman yang lain.
Kabar perjodohan ini sudah sampai di halaman utama media sosial mereka, mau tidak mau Haisha harus membalas lirikan tajam yang berulang kali mengirisnya itu.
"Kamu pasti pakek ajian magic ya?" tuduh salah satu senior di sana.
"Aj-ajian apa?" ulang Haisha merasa asing.
"Halah, pura-pura nggak tahu ... Mana mungkin anak orang kaya kayak dia mau nikahin anak dari mantan pembantunya, mikir pakek otak banyak juga nggak bakal nyampe!"
Haisha pejamkan mata singkat, ia tahu yang dimaksud adalah ajaran tidak benar, mendapatkan dengan cara buruk.
"Sadar diri kali, Ca, kamu itu cuman apa ... Atau kamu buat perjanjian ya mau jadi istri sementara, bayarannya bisa buat berobat Ibu kamu, iya kan?"
Tidak ada jawaban, Haisha memilih fokua pada rak-rak kosong yang harus ia isi ulang dan menata rapi agar pelanggan mudah mencarinya.
"Akh," pekik Haisha, kepalanya sontak miring.
Senior itu menarik rambutnya sedikit kencang, Haisha tepis pelan lalu merapikan rambutnya lagi
"Jangan sok tertindas, wajah polos kayak kamu itu diem-diem suka nerobos ... Hasil ngerebut itu nggak bakal bertahan lama, Ca, kamu pasti diceraiin tuh sama Fahri!"
Haisha hela nafas, tidak cukup di kampungnya, di toko tempat ia mencari nafkah sepanjang hari juga sama, dia dipandang sebelah mata dan dianggap tidak benar.
Dengan cepat ia buang fikiran buruknya, hampir saja sakit hati itu masuk dan merasuki dirinya, Haisha jadi ingat wajah acuh milik Fahri waktu itu, entah kenapa sama seperti dengan yang orang-orang bicarakan di mana dia hanya terpaksa diterima.
"Ah, Ica nggak boleh mikir jelek gitu ... Bu Meri itu baik, jadi nggak mungkin kalau Mas Fahri itu jahat, dia pasti juga sebaik Bu Meri, sabar Ica!" gumam Haisha menyemangati dirinya sendiri.
***
Hari ini, Haisha mulai mengurus surat-surat untuk keperluan pernikahannya.
Sejak pagi sudah bertandang ke rumah ketua RT sampai pada lurah setempat, ia usahakan sepagi mungkin agar nanti bisa lebih lama di rumah Meri.
"Nggak sabar Ica ketemu keluarganya Bapak," ucap Haisha lirih, adik dari bapaknya yang akan menikahkan Haisha nanti.
Haisha rapikan berkas yang siap diteruskan itu, sesuai dengan arahan ketua RT, Haisha bisa memasrahkan dan meminta bantuan kepengurusan sampai tuntas pada ketua Mudin RW setempat sembari menunggu surat dari calon suaminya.
"Ica naik apa ke sini?" Meri mengedarkan mata, hanya ada sepeda pasar lama yang terparkir rapi di rumahnya.
"Ica naik-"
"Kamu kayuh sepeda ke rumah Ibu?" gadis itu mengangguk. "Kenapa nggak naik ojek online atau taksi mungkin, biar Ibu yang bayar, kan ini jauh!" tambah Meri khawatir, ia peluk Haisha singkat lalu mengajak gadis itu masuk, banyak camilan yang sudah ia siapkan.
"Nggak apa, Bu, Ica seneng naik sepeda, bisa nyanyi-nyanyi di jalan."
"Kamu bisa naik sepeda motor?"
Haisha mengangguk, "Bisa sedikit, dulu pernah Kayang ajarin, tapi udah lama nggak coba," jawabnya.
"Yauda, sekarang kamu makan sama minum yang banyak, nanti kalau Fahri pulang sore, biar ajarin kamu naik motor ya...," ujar Meri, tidak bisa ia bayangkan lelahnya mengayuh sepeda dari rumah Haisha ke komplek rumah ini, dari rumah ini ke gapura komplek saja sudah terbayangkan gilanya.
Haisha lahap sopan camilan yang Meri hidangkan, menemani wanita itu bercerita dan menonton televisi sembari Haisha laporkan sejauh apa surat pengurusan nikah itu berjalan.
"Fahri udah semua, nanti dia bawa buat kasih ke kamu, atau kamu mau dianter dia aja buat lanjutin ke pengurus lain mungkin?"
"Nggak perlu, Bu ... Kebetulan Ica di kampung itu ada yang bantu, jadi setelah berkas Mas Fahri dibawa, bisa Ica kasih ke beliau buat urusan lanjutan," jelas Haisha.
Meri merasa lega, memang tidak ada acara lamaran di rumah Haisha, nanti pun pernikahan ini juga diadakan sederhana, hanya untuk keluarga.
Bukan karena ada alasan buruk, keputusan ini untuk menghormati ibu Haisha yang masih dalam kondisi koma, tidak mungkin bisa mereka bersenang-senang tanpa kehadirannya.
Semua rencana pernikahan besar keluarga ini diubah oleh Meri, rasanya lebih enak acara pernikahan yang sederhana dan sah, yang paling penting keluarga tahu dan tetangga kanan-kiri tahu.
"Udah nggak ada kan yang ngeledek kamu di sana?" Meri pastikan ulang.
Haisha gelengkan kepala, dia berkata aman-aman saja, ia memilih tidak melaporkan para senior di toko itu.
Biarlah, selama dia masih bisa bekerja.